Iswahyudi
“Memecah belah (polarisasi) rakyat adalah cara yang baik untuk memenangkan pemilihan, Dan juga cara yang baik untuk menghancurkan negara,” kata Molly Ivin.
Polarisasi terjadi ketika satu kelompok merasa tidak aman dengan adanya kelompok lain. Dan perjuangan menegasikan satu sama lain dimulai. Diawali saling memberi label, saling membully, saling mencari- cari kesalahan, saling melaporkan ke pengadilan dan yang terburuk adalah saling baku hantam dan kekerasaan fisik. Terjadi kerasnya polarisasi masyarakat pada 3 kontestasi besar yaitu pilpres 2014, Pilkada DKI 2017, dan Pilpres 2019 seharusnya membuat bangsa Indonesia was-was. Karena polarisasi seperti ini juga terjadi di Indonesia pada 1960-an di akhir pemerintahan Soekarno. Dan setelah itu bencana kemanusiaan yaitu konflik horisontal terjadi antara antikomunis dan komunis. Sekitar lima ratus ribu orang menjadi korban, yang akarnya adalah pertarungan kelas (struggleof class) yang menjadi budaya dasar dari komunisme. Gerakan komunis Indonesia memanen dari benih yang ditabur sendiri, menjadi target pembantaian.
Upaya untuk mengobati polarisasi itu sudah diupayakan dengan masuknya pemimpin oposisi dalam pemerintahan, namun anehnya kebiasaan memolarisasikan segala hal nampaknya sudah terlanjur menjadi kebiasaan masyarakat. Kalau kita awasi tagar di twitter dengan ajeg setiap harinya, sangat nampak jelas bahwa selalu ada perang tagar dalam isu apa pun yang terjadi di negeri ini. Dan upaya membendung api perseteruan dari sisi elite tidak efektif sampai ke akar rumput, yang salah satunya ini disebabkan bisnis menciptakan polarisasi sudah menjadi industri dan menjadi lapak jualan bagi pasukan buzzerRp, dan sebagai sumber penghasilan ketika ekonomi dunia semakin tidak menentu akibat pandemi dan ketidakstabilan geopolitik. Selain itu kehadiran media sosial dengan algoritma yang bisa didesain menjadikan polarisasi menjadi alat kendali, alat manipulasi, dan alat pendangkalan massal serta alat penaklukan.
Akar dari Polarisasi
Dalam sejarah ketika terjadi perubahan ekonomi yang besar, polarisasi politik meningkat. Àlex Ruiz dalam artikel berjudul “The deep roots of polarisation, or on the need to recover the lost narrative”, menemukan polarisasi politik berakar pada perubahan teknologi, globalisasi, dan perubahan demografis. Yang nantinya polarisasi ini pada akhirnya menyerang demokrasi bahkan membusukkan demokrasi sehingga otokrasi bisa menggantikan posisinya dalam membangun peradaban yang dirasa lebih efektif.
Di era digital yang penuh disrupsi ini yang diklaim telah mendisrupsi ideologi seperti kapitaslisme maupun komunisme ternyata tidaklah benar. Contohnya saja, komunisme yang diklaim sebagai ideologi bangkrut ternyata justru di zaman digital ini menemukan momentumnya untuk mewujudkan seluruh utopia komunisme menjadi kenyataan. Dengan AI, Big Data, dan Algoritma, PKT (Partai komunis Tiongkok) sementara ini banyak memengaruhi opini dunia bahwa sosialisme bercirikan Tiongkok (komunisme) adalah bisa dijadikan model bagi pembangunan peradaban menggantikan ideologi dunia bebas dan demokrasi. Big data, AI, dan Algoritma menjadi senjata revolusi baru bagi mewujudkan tujuan-tujuan ideologis.
Yang sebenarnya adalah, teknologi hanya sebagai alat revolusi komunisme. Salah seorang teman sesama aktivis 98 yang berhaluan kiri yang sekarang begitu getol membangun sebuah proyek bukit algoritma, mengonfirmasi bahwa komunisme di era digital ini menuju sebuah kondisi fully automated luxury communism. Inilah komunisme gaya baru itu. Tak terlihat lagi bentuknya tapi sangat terotomatisasi dan bisa mendisrupsi ideologi yang lain. Dan kaum proletar di era digital begitu berselimut kemewahan sehingga tak bisa dikenali ideologi apa yang dianut.
Di era digital ini kita melihat revolusi proletariat digital yang mendisrupsi bisnis konvensional dengan kemunculan bisnis start-up semisal transportasi, marketplace, fintech, dan lain-lain yang ini kalau dirasakan mirip dengan aksi menggayang kelas borjuis, bahkan membuat borjuasi bisnis konvensional tunduk dalam pengaturan para start-up yang didominasi kaum milenial. Sampai muncul ungkapan mellenial kill everything. Namun fenomena ini tak berlangsung lama, dengan kemunculan pandemi para start-up disruptor ini akhirnya menjadi sasaran pembantaian. Bagi pakar komunis ini hanyalah pemanis bagi para kaum proletar digital untuk setia menjadi useful idiot untuk mewujudkan agenda utopis ideologi yang digembar-gemborkan telah bangkrut ini.
Dalam budaya dan gaya hidup juga ada revolusi kebudayaan versi digitalnya. Aplikasi video pendek besutan PKT yang lagi naik daun bisa membuat budaya tingkat jalanan (pinggiran) mendapatkan panggung yang megah dan viralitas, sementara tampilan dari karya professional berjuang berdarah-darah untuk menuju puncak vitalitas dan panggung yang megah. Selera budaya masyarakat dibantai habis-habisan.
Baru-baru ini, catwalk-catwalk kelas menengah ke atas dibantai habis-habisan oleh catwalk zebracross ala Citayam Fashion Week. Tiba-tiba panggung sakral HUT RI ke-77 digoyang habis-habisan oleh sebuah lagu “Ojo Dibandingke” yang dinyanyikan oleh zelenial dari ujung timur Pulau Jawa. Idol-idol hasil ciptaan alat revolusi budaya digital ini tiba-tiba menjadi pusat mandala baru bagi arah budaya digital di masa depan. Tak perlu pinter, sekolah tinggi, dan menaikkan standar karya, cukup berbekal viralitas, maka dunia akan berubah dalam sesaat. “Viralitas nomor 1, kualitas dan tanggung jawab sosial adalah nomer kesekian”.
Selain itu, sebuah lagu berjudul “Joko Tingkir Ngombe Dawet” yang juga viral, yang akhirnya menimbulkan polemik karena dianggap melecehkan seorang ulama sekaligus raja di masa lampau, dan rencananya juga dinyanyikan di HUT ke-77 yang untungnya diurungkan, bisa mengonfirmasi bahwa secara senyap revolusi budaya kaum proletar telah berlangsung.
Arus melupakan sejarah, melupakan masa lalu, dan hanya ada urusan dengan masa depan, sebenarnya adalah bukti bahwa roh lagu Internasionale Komintern sedang dicoba diwujudkan dengan cara yang halus, tak terduga, digital, canggih, dan begitu dekat dan melekat. Yaitu dari saku di mana gawai kita disimpan.
Polarisasi Berujung Kediktatoran Tunggal
Polarisasi adalah bentuk nyata dari filosofi pertempuran atau struggle of class. Dalam perspektif komunis, untuk selalu menggelorakan revolusi, pertarungan kelas harus terus diciptakan tiada henti. Musuh bersama harus diciptakan walaupun itu dalam masa damai. Komunisme sebenarnya menjadikan kaum proletar sebagai sekrup untuk mewujudkan agenda besarnya.
Para proletariat digital diberikan panggung dan senjata yang sangat lengkap untuk mengganyang kaum borjuis. Tapi itu bukan akhir, dan ini hanyalah sebuah longmarch menuju tujuan terakhir yaitu kediktatoran tunggal. Kaum proletariat digital diberikan sebuah label dan mantra baru semisal millenial kill everything. Tapi itu tidak lama, pandemi akhirnya membunuh milenial dengan sangat telak. Perusahaan-perusahaan start-up itu akhirnya juga masuk lubang pembantaian. Menjadikan pandemi atau plandemi sebagai game changer. Pandemi akhirnya membantai milenial juga. Langkah selanjutnya adalah me-restart ulang sistem dan tiba-tiba kediktatoran tunggal terwujud. Itulah Great Reset itu mulai dijalankan.
Polarisasi seolah menjadi laga gladiator yang memuaskan animal spirit public, mengalihkan perhatian mereka dari masalah sebenarnya yang bakal mereka hadapi ke depan.
Hilangnya kebebasan, hilangnya kepemilikan, hilangnya keyakinan, dan terwujudnya “kesetaraan dan kemakmuran bersama”. Polarisasi ibarat obat bius yang melenakan publik dari penjagalan. Penjagalan perhatian, akal sehat, nilai yang akhirnya menjadikan publik hantu lapar yang memangsa satu sama lain tak tersisa bahkan memangsa dirinya sendiri.
Harmoni Adalah Jalan Emas
Harmony makes small things grow; lack of it makes great things decay. Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Sejarah telah mengajarkan bangsa Indonesia pedihnya menjadi bangsa yang lama terjajah. Karena lamanya terjajah, akhirnya penjajahan serasa zona nyaman. Dan DNA keterjajahan itu belum sepenuhnya dikodekan kembali. Dan lingkaran setan penjajahan itu tak kunjung terputus. Bahkan penjajahan bukan hanya dalam artian fisik, malah terjebak dalam penjajahan mimpi pihak lain. Dan bekerja keras untuk mewujudkan mimpi orang lain. Para elite rela membelah bangsa menciptakan polarisasi demi meraih kursi. Dan sesampainya kursi diraih yang diwujudkan ternyata mimpi orang lain. Dan begitu terjaga kembali ke dunia nyata, bahwa kita masih terjajah.
Bhinneka Tunggal Ika sejatinya adalah warisan yang ampuh ketika bangsa ini dilanda polarisasi yang akut. Di luar sana memang ada yang diuntungkan dengan polarisasi bahkan perang sekalipun. Bahkan peperangan yang mengorbankan juta- an nyawa sekalipun bisa dilakukan untuk mengeruk keuntungan. Namun yang jelas itu bukan bangsa kita, bukan karakter bangsa kita yang cinta damai.
Jalan asli kita adalah jalan harmoni. Era Majapahit yang disebut pernah mencapai kejayaan bisa mengharmoniskan dua keyakinan yang berbeda yang bahkan di negeri asalnya berseteru hebat. Harmoni adalah jalan emas. Jika dengan harmoni bangsa ini bisa bahagia dan maju, mengapa harus mengencangkan urat leher untuk berdebat dan berseteru dengan yang lain. Peace come from within, Don’t seek it without. Dan cobalah resep ini ketika dalam polarisasi yang tajam.
“Dari kejauhan dunia tampak biru dan hijau, dan pegunungan yang tertutup salju putih. Dari kejauhan lautan bertemu sungai, dan elang itu terbang. Dari kejauhan, ada harmoni, dan itu bergema melalui tanah. Itu adalah suara harapan, itu adalah suara kedamaian, itu suara setiap pria,” Bette Midler.
The last but not the least. Pihak yang kita rundung, caci, penjarakan, dan bunuh karakternya, tidak lain adalah seorang yang dilahirkan oleh ibu yang sama yaitu ibu pertiwi. (et)