Mencari Sang Penyelamat Dunia : Rahasia Ilahi Tersembunyi di Kuil Kuno Tibet

Fuyao

Cerita kita hari ini, dimulai dari sebuah kuil yang luar biasa di dataran tinggi bersalju. Inilah lokasi shooting film berjudul “A World Without Thieves” yang populer pada 2004 lalu, yakni Kuil Labrang yang terletak di Kabupaten Xiahe Provinsi Gansu di daerah Amdo tradisional Tibet. 

Dalam film itu sepasang “suami istri pencuri” seusai berkunjung ke Kuil Labrang mendapat pencerahan dari ajaran Buddha, dan bertekad untuk bertobat, serta memulai hidup baru. Kemudian meninggal dunia demi melindungi seorang buruh tani yang polos dan baik hati bernama “Sha Gen”. Kisah itu mengharukan banyak orang, dan Kuil Labrang yang sebelumnya sama sekali tidak dikenal itu pun sontak menjadi destinasi wisata yang ramai dikunjungi turis.

Tapi di wilayah Tibet, Kuil Labrang yang memiliki sejarah lebih dari 300 tahun yang telah berdiri sejak masa kekuasaan Kaisar Kangxi Dinasti Qing itu sebenarnya sangat terkenal reputasinya. Kuil tersebut merupakan satu dari enam kuil besar ajaran Buddha Tibet aliran Gelug, memiliki budaya klasik Tibet yang paling kaya dan paling lengkap di Tibet, serta dijuluki sebagai “Institut Buddha Tibet terbesar di dunia”. Para warga Tibet selalu membanggakan anak-anak mereka yang berhasil lulus ujian seleksi untuk diterima belajar ajaran Buddha di Kuil Labrang.

Mungkin untuk menyebarkan ajaran Buddha, Kuil Labrang terus menerima banyak murid, dan juga sangat bersahabat kepada para turis yang datang berduyun-duyun, ada Lama (sebutan untuk biarawan Tibet, red.) yang menjadi pemandu membawa para turis melihat-lihat sekeliling kuil, menjelaskan dengan lancar dan hidup semua kisah di balik setiap patung Buddha. Dan bagi para turis dari Daratan Tiongkok, yang membuat mereka paling terkejut adalah Buddha Maitreya yang disucikan di kuil tersebut.

Bicara soal Buddha Maitreya, apakah yang pertama terlintas di pikiran pembaca adalah Buddha yang “selalu tertawa dan berperut besar”? Sebenarnya patung Buddha Maitreya yang gemuk dengan perut agak buncit yang acap kita lihat adalah Bhikkhu Bu Dai (bhikkhu tas kain, red.) yang hidup di masa Dinasti Liang Akhir (Zhu Liang, 907-923), yang selalu membawa sebuah karung dari kain meminta sedekah kemana-mana, selalu tertawa riang gembira tak peduli apapun. Pada saat wafatnya ia meninggalkan sebait syair: “Maitreya, oh Maitreya, Maitreya sejati, berubah jutaan kali, acap kali memperlihatkan diri pada manusia, namun manusia tidak mengenalinya”. Karena di dalam syair itu disebut Maitreya, maka masyarakat pun mengira dia adalah tumimbal lahir dari Buddha Maitreya, jadi kemudian membentuk Buddha Maitreya dengan wujudnya, yakni dengan sosok yang berjiwa lapang berperut buncit untuk menganjurkan manusia agar memperlakukan orang lain dengan toleran dan berbuat kebajikan.

Akan tetapi Buddha Maitreya yang disucikan di Kuil Labrang ini justru memiliki sosok yang sama sekali berbeda. Di dalam kuil terdapat aula khusus Buddha Maitreya, patung perunggu Buddha Maitreya berlapis emas yang disucikan di dalam aula tersebut tinggi besar, dengan tinggi sekitar 8 meter, berekspresi serius dan sangat berwibawa.

Dalam jurnal yang ditulis seorang warganet pada 2010 lalu, Lama pemandu disana menjelaskan, “Buddha Maitreya disebut juga ‘Buddha Masa Depan’, patung Buddha ini dicor (casting, red.) oleh seorang perajin dari Nepal yang diundang oleh kepala kuil generasi kedua. Patung Buddha Maitreya ini membawa sebuah Roda Dharma (Falun, atau Dharmacakra, red.), yang melambangkan Buddha Masa Depan akan membawa Roda Dharma dan Delapan Vajra turun ke dunia menyelamatkan umat manusia.”

Turis pun bertanya, isyarat tangan ini terlihat sangat unik, apa maknanya? Lama itu menjawab, “Maknanya adalah memutar Roda Dharma kepada umat manusia.”

Kemudian sang Lama menunjuk patung Buddha yang agak kecil di depan Buddha besar dan berkata, “Ini adalah Buddha Sakyamuni, disebut juga ‘Buddha Masa Kini’, secara berurutan dengan ‘Buddha Masa Depan’ Dia turun lebih dahulu ke dunia untuk menyelamatkan makhluk hidup.” Ini agak sedikit aneh. Dalam ajaran Buddha aliran Tibet sekalipun, Buddha Sakyamuni juga sangat dihormati. Belum pernah terlihat di kuil atau vihara manapun membentuk patung Buddha Sakyamuni jauh lebih kecil daripada patung Buddha lainnya.

Patung Buddha Dipankara (Masa Lampau), patung Buddha Sakyamuni (Masa Kini), dan patung Bud- dha Maitreya (Masa Depan).

Bagaimanakah seharusnya penjelasannya? Lama itu dengan tenang menjawab, “Buddha Sakyamuni hanya dapat menyelamatkan murid-muridNya saja, dan pada saat akan wafat Dia berkata pada murid-muridNya bahwa umat manusia masa mendatang akan diselamatkan oleh Buddha Maitreya yang turun ke dunia, Buddha Maitreya adalah Buddha yang memiliki kuasa supranatural terbesar di alam semesta, dan merupakan satu-satunya penyelamat makhluk hidup di alam semesta.”

Sepertinya Kuil Labrang cenderung sangat mencintai Buddha Maitreya. Di aula kitab suci terbesar dalam kuil itu, di belakang ruangan barat Institut Wensi, juga terdapat sebuah patung perunggu besar Buddha Maitreya yang bersepuh emas. Pemandu berkata, “Patung Buddha ini adalah Buddha Maitreya yang sama dengan yang ada di Aula Dajinwa (Genteng Emas) tadi, yang membedakan adalah patung Buddha ini dalam posisi setengah jongkok dan setengah berdiri, yang melambangkan Buddha Masa Depan akan bangkit datang ke dunia menyelamatkan mahluk hidup.”

Mendengar penuturan ini, tidak sedikit turis mulai bergumam. Karena ini sangat berbeda dengan sosok Buddha Maitreya yang selama ini ada di benak masyarakat luas. Namun dengan reputasi Kuil Labrang dalam ajaran Buddha aliran Tibet, sepertinya pihak kuil sama sekali tidak perlu menciptakan informasi yang sensasional semacam ini hanya untuk menarik wisatawan. Lalu benarkah Buddha Maitreya adalah Sang Pemimpin yang menguasai masa depan alam semesta?

Buddha Masa Depan Maitreya

Perlu dijelaskan, sebenarnya dalam ajaran Buddha aliran Mahayana ada penjelasan mengenai “Buddha Tiga Masa”, yakni Buddha Dipankara yang merupakan Buddha Masa Lampau, Buddha Sakyamuni yang merupakan Buddha Masa Kini, dan Buddha Maitreya yang merupakan Buddha Masa Depan. 

Buddha Dipankara adalah Buddha masa lampau sebelum Buddha Sakyamuni, pernah memberikan nubuat tentang Buddha Sakyamuni pada kehidupan masa lalu, meramalkan Sakyamuni akan menjadi Buddha. Dan Buddha Sakyamuni saat berada di dunia juga pernah mengatakan, pada saat DharmaNya sudah tidak mampu lagi menyelamatkan umat manusia, maka Buddha Maitreya akan turun ke dunia menyelamatkan umat manusia, Ia bahkan memerintahkan murid tertuanya yakni Mahākāśyapa untuk menantikan Buddha Maitreya di Gunung Kukkutapāda, dan menyerahkan jubah sucinya kepadaNya, untuk merampungkan serah terima. Lalu kapan Buddha Maitreya akan turun ke dunia menyelamatkan manusia? Dalam kitab suci Buddha dikatakan, ini menunggu Raja Agung Pemutar Roda (Cakkavatti, red.) menguasai dunia manusia.

Seperti pada kitab “Dīrghāgama” jilid keenam disebutkan, “Di masa yang akan datang akan ada Buddha terlahir ke dunia, namanya adalah Buddha Maitreya… Murid-muridNya tak terhitung jumlahnya, tidak seperti murid saya sekarang yang hanya ratusan orang. … ”  Dari bait Sutra ini dapat dilihat, Buddha Sakyamuni sendiri menilai membawa murid-muridNya meninggalkan keduniawian untuk berkultivasi, hanya dapat menyelamatkan ratusan orang, sedangkan murid Buddha Maitreya begitu banyak, mencapai “tak terhitung jumlahnya”. Bagaimana bisa dilakukan? Menurut “Maitreya-vyākaraṇa” dikatakan, caranya adalah dengan mewujudkan “tanah suci di tengah manusia”. Ada yang menafsirkan, seharusnya adalah dapat berkultivasi di tengah manusia, tanpa harus meninggalkan keduniawian. Bersamaan dengan berkultivasi sekaligus meningkatkan moralitas di tengah manusia, hingga akhirnya menjadi sebidang tanah suci. Dan pada saat itu, siapakah yang akan menguasai dunia manusia? “Raja Agung Pemutar Roda” (Cakravarti-rāja, red.).

“Cakravarti-rāja” adalah raja yang menyatukan dunia dalam legenda India. Pada waktu itu di langit akan muncul sebuah tanda berbentuk roda emas yang berputar. Sang pemilik roda emas berputar ini, akan menjadi penguasa dunia dan seluruh alam semesta, Dia akan mengatur dunia ini dengan belas kasih dan kebijaksanaan. Dulu ketika Buddha Sakyamuni lahir, ada peramal mengatakan, di masa yang akan datang jika sang pangeran tidak meninggalkan keduniawian, akan menjadi “Raja Roda Emas”. Kemudian dalam penyebaran Dharma, Buddha Sakyamuni juga beberapa kali menyebut “Raja Agung Pemutar Roda”, dan acap kali disebutkan bersamaan dengan Buddha Maitreya masa depan.

Jadi dalam penjelasan generasi selanjutnya, khususnya di kawasan Asia Timur, beranggapan ketika Buddha Maitreya turun ke dunia menyelamatkan manusia, akan berpadu menjadi satu dengan Raja Agung Pemutar Roda, dengan kata lain satu orang dengan dua identitas yang berbeda, Buddha akan beridentitas sebagai raja menyebarkan ajaran Buddha di tengah manusia, dan menyelamatkan manusia. Kuil Labrang sepertinya juga menerima penafsiran semacam ini, maka patung Buddha Maitreya memegang Roda Dharma, memutarnya dengan menghadap pada manusia.

Bunga Buddha Udumbara

Lalu kapan saatnya Raja Agung Pemutar Roda akan menguasai dunia manusia? Dalam kitab suci Buddha dikatakan, pada saat itu bunga keberuntungan yakni Udumbara akan bermekaran.

“Udumbara” adalah bahasa Sansekerta, memiliki makna pertanda keberuntungan dari Langit. Udumbara adalah bunga suci Kerajaan Buddha, bunga yang “putih bersih tanpa noda duniawi”, dalam kitab “Fahua Wenju (Saddharma Pundarika Sutra)” disebutkan: “Munculnya bunga Udumbara, ini adalah pertanda keberuntungan dari Langit. Tiga ribu tahun hanya muncul sekali, kini tibalah Sang Raja Roda EMas.” Tiga ribu tahun baru mekar sekali. Diameter bunga hanya 1 milimeter, berbentuk seperti lonceng, berwarna putih bersih, dengan tangkai bunga sangat halus seperti benang emas. Mekar di malam hari, wangi semerbak, dikelilingi pendaran keberuntungan.

Dalam kitab “Huilin Yinyi” jilid ke-delapan disebutkan: “Bunga Udumbara, … adalah bunga surga. Di dunia tidak ada bunga ini. Jika Buddha dan Raja Roda Emas turun ke dunia, karena kekuatan moral dan berkah yang begitu besar, akan menggugah bunga ini untuk muncul.” Dengan kata lain, ketika Buddha dan Raja Roda Emas muncul bersamaan untuk menyelamatkan umat manusia, maka Bunga Udumbara baru akan muncul di tengah manusia.

Tahun 1997, seorang kepala biara sebuah kuil yang terletak di Kota Gwangju Provinsi Gyeonggi Korea Selatan telah menemukan munculnya 24 kuntum bunga putih mungil di bagian dada sebuah patung Buddha perunggu emas di kuil tersebut. Setelah diteliti secara seksama dinilai bunga itu adalah Udumbara seperti yang tercatat dalam kitab Buddha. Berita tersebut dipublikasikan dan menimbulkan kegemparan, dengan cepat banyak orang pun datang untuk melihatnya. Setelah itu, pemberitaan mengenai temuan bunga Udumbara pun kerap bermunculan, tidak hanya dari negara yang menganut agama Buddha saja, bahkan di Tiongkok pun banyak bermunculan.

Menariknya adalah, seakan membuktikan asal usulnya yang tidak lazim, bunga-bunga Udumbara tersebut bermekaran di patung Buddha, di pipa besi, di kaca, dan tempat-tempat yang tidak lazim ditumbuhi oleh tanaman. Tanpa perlu dirawat sama sekali, tumbuhnya bunga begitu lamanya sehingga membuat orang tak habis pikir. Banyak yang hidup hingga beberapa bulan bahkan beberapa tahun tidak pernah layu. Maka saat ada yang menyangkal bahwa itu adalah telur dari Serangga Jala Hijau, pernyataan ini terbantahkan dengan sendirinya. Pertama, karena kutu daun yang merupakan makanan utama bagi Jala Hijau ini hidup di antara berbagai jenis tumbuhan. Serendah apapun IQ serangga kecil ini, tidak mungkin akan bersarang di tempat yang tidak ada makanan bagi keturunannya. Kedua, telur dari Jala Hijau juga memiliki batang yang halus panjang, bentuknya juga seperti bunga, tapi warnanya adalah hijau pucat, dan tidak harum. Dan akan menetas dalam 4-6 hari, begitu telur menetas serangga kecil itu dengan cepat berubah menjadi abu-abu, jadi sebenarnya sangat mudah dibedakan.

Mesias Sang Penyelamat Dunia

Sebenarnya tidak hanya agama Buddha, pada banyak agama di dunia juga terdapat ramalan tentang Sang Penyelamat Dunia. Dalam agama Nasrani Sang Penyelamat Dunia bernama Mesias. Menurut penelitian yang dilakukan oleh pakar bahasa terkenal yakni Ji Xianlin dan muridnya yakni Profesor Qian Wenzhong dari Fudan University, Tiongkok, besar kemungkinan bahwa Mesias dan Maitreya adalah orang yang sama.

Maitreya dalam bahasa Sansekerta memiliki makna belas kasih, dan di Tiongkok disebut “Mi Le”. Ji Xianlin menilai, sebutan “Mi Le” ini kurang tepat penerjemahannya. Bhikkhu Xuanzang (dikenal sebagai Bhikkhu Tom Sam Cong dalam Novel Perjalanan ke Barat) yang pergi ke Barat untuk menuntut ilmu agama juga telah menyadari hal ini.

Sedangkan Sang Penyelamat Dunia “Mesias” di Barat berasal dari bahasa Ibrani yakni Mashiach (המשיח). Antara Maitreya dengan Mashiach pengucapan keduanya sangat mirip.

Sementara riset Profesor Qian Wenzhong mengatakan, kurang lebih pada tahun 1000 SM, sekitar 500 tahun sebelum kelahiran Sakyamuni, mulai dari Asia Barat, Afrika Utara, Anatolia (Asia Minor), Mesopotamia, juga Mesir, telah menjadi tren semacam kepercayaan akan Sang Penyelamat masa depan, Mesias dalam agama Kristen dan Maitreya di India juga lahir pada masa ini.

Dengan kedua riset tersebut, Buddha Maitreya masa depan dari Timur dengan Mesias Sang Penyelamat dari Barat mungkin adalah satu orang yang sama. Dan Dialah yang mampu menyelamatkan seluruh dunia. Lalu dimanakah dia akan muncul?

Peramal tersohor asal Prancis yakni Nostradamus dalam karya terkenalnya “Les Prophéties” meramalkan demikian:

Seorang Timur meninggalkan kampung halamannya,

Menembus Pegunungan Appenini tiba di Prancis,

Dia akan melewati langit, samudera dan salju,

Setiap orang akan tergerak oleh tongkat saktinya.

Entah karena suatu kebetulan, salah satu festival terpenting bagi masyarakat Barat adalah Hari Paskah, dalam bahasa Inggris disebut Easter Day. Terlihat tidak ada kaitannya dengan Paskah. Tapi jika diteliti lagi, bukankah kata Easter sangat berkaitan dengan kata “East” (Timur)?

Lalu menurut Anda Buddha Masa Depan yang dinantikan oleh murid Buddha Sakyamuni, Mahākāśyapa, di Gunung Kukkutapāda akan berasal dari manakah?

Kadang kala, “Mencari-cari dia di segenap pelosok, yang dicari ternyata berada di tempat yang remang-remang.” Bhikkhu Bu Dai pernah berkata, “Sang Maitreya acap kali menampakkan diri, hanya saja manusia tidak mengenalinya”. Mungkin saja Buddha Maitreya yang akan menyelamatkan dunia telah tiba, dan berada di tengah-tengah kita, mungkin juga seperti seorang yang biasa, mungkin kita saja yang tidak mengira bahwa dialah orangnya. (sud)