Eternal Spring, Kisah Tentang Perlunya Negara Menghargai Manusianya dan Kebebasan yang Tak Bisa Dikekang

ETIndonesia- Bercerita tentang kegigihan orang-orang yang membela kebebasan berkeyakinan, film dokumenter epic Eternal Spring mengisahkan tentang kegigihan melawan narasi-narasi propaganda kediktatoran partai Komunis Tiongkok (PKT). Sebenarnya, sebuah negara dalam prakeknya sudah semestinya menempatkan manusia sebagai manusia yang sebenarnya.

“Menurut saya dalam sebuah negara, negara itu perlu menghargai manusianya dengan membebaskan manusianya dari praktek-praktek kekerasan,” kata Syahar Banu dari Divisi Impunitas Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) usai turut menyaksikannya di Erasmus Huis (Pusat Kebudayaan Belanda) Jalan H.R Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, Senin (2/10/2023).

Ia menuturkan dirinya tak menyangka adanya tindakan kekerasan skala luas tersebut. Apa yang dialami oleh praktisi Falun Gong, kata dia, justru mengukuhkan bahwa pemimpinnya mendeklarasikan diri dari bagian para pemimpin diktator yang pernah ada di dunia.

“Saya tidak menyangka seperti itu, tetapi ada sebuah garis putih, kekerasan itu identik dengan diktator-diktator yang ada di seluruh dunia,” ujarnya.

Sebuah negara, kata Banu, perlu memahami bahwa dia tak berhak memberikan kekerasan. Jika tindakan tersebut dilakukan dengan dalih penyimpangan yang dipahami oleh negara, seharusnya negara harus mampu melihat bahwa penyimpangan sebenarnya justru terjadi dari alam pikiran negara tersebut.

Sejatinya, jelas Banu, kebebasan manusia tak bisa dikekang. Jusru dalam hal ini, pemerintah sudah seharusnya memfasilitasi bagaimana warga negaranya lebih berbahagia dengan  mengekspresikan apapun yang mereka menyukai. Apalagi, jika bukan eskpresi kekerasan. Oleh karena itu,  ekspresi kekerasan yang seharusnya diperangi dalam diri sebuah negara.  

“Kalau seandainya sebuah ekspresi sebuah kelompok dari warganya bukan kekerasan, kenapa pemerintah harus khawatir dengan soal stabilitas,” tegas si Bunda tangguh itu.

Lebih jauh Banu sambil menggendong Sang putri  menerangkan sebuah negara yang mau beralih dari sistem diktator  ke sistem demokrasi seperti di masa order baru, maka ada tugas-tugas penting dari negara  melakukan pemulihan dan pengungkapan fakta kebenaran. Hal-hal ini seperti inilah, kata dia, yang belum didapatkan oleh para praktisi Falun Gong.

Bahkan bagi para praktisi Falun Gong, ujar Banu, sebenarnya perlu mengetahui bahwa mereka berhak mendapatkan pemulihan dari negara seperti dalam bentuk permintaan maaf, pembuatan monumen yang menandakan  terjadinya sebuah pelanggaran HAM Berat masa lalu.  Tak sebatas itu, pemerintah juga mengakui kesalahan mereka, kemudian pemerintah itu wajib merevisi sejarah-sejarah yang berkaitan dengan propaganda yang pernah diluncurkan.

Lebih luas lagi, kata dia,  kompensasi, restitusi serta rehabilitasi yaitu rehabiltiasi nama baik juga hal yang perlu didapatkan oleh praktisi Falun Gong. Pasalnya, ketika kelompok tersebut diserang oleh pemerintah dan kemudian dipropagandakan bahwa mereka itu sedang melakukan sesuatu “sesat” sehingga wajib dimusuhi dan diwaspadai. Tindakan seperti inilah yang mana mendatangkan pengrusakan secara serius.

Damagenya tak cuman kepada orang-orang tesebut tapi keluarganya, bahkan kepada orang-orang yang mereka kenal, rehabilitasi nama baik, rehabilitasi rumah yang dibakar, karena tadi ada pengrusakan, rehablitasi  di dalam buku Sejarah itu harus dilakukan karena selama belum dilakukan, itu menjadi utang dari pemerintah tersebut,” lanjutnya.

Terakhir, melihat kembali kondisi pemerintah di Indonesia tentang menyikapi Falun Gong, faktor menjalin hubungan baik antara negara semestinya tak serta merta menjegal pemuliaan Hak Asasi Manusia (HAM). Walaupun sudah umum menjadi praktek nyata yang sudah dilakukan oleh sejumlah negara, jika menyangkut penindasan maka sudah sepatutnya dibela oleh pemerintah.

“Biasanya dalam sebuah hubungan bilateral ekonomi, ada tawar menawar, bisa jadi kita investasi ke kalian sebanyak ini tapi kalian harus bla bla bla. Saya tak bisa bilang karena harus ada dokumen yang memperkuatnya. Kalau orang yang mendapatkan penganiayaan ataupun penyiksaan atau mendapat kriminalitas, itulah yang harus dibela,” tegasnya. (asr)

FOKUS DUNIA

NEWS