Fuyao
Hari ini akan kami perkenalkan tentang sebuah eksperimen ajaib di era 1960-an. Dimana letak keajaibannya? Karena objek eksperimen ini hanyalah sekumpulan tikus, dan hasil eksperimen telah meramalkan secara akurat kondisi umat manusia selama beberapa dekade terakhir.
Universe 25
Ini adalah serangkaian eksperimen Semesta Tikus yang dilakukan mulai era 1960-an oleh seorang ahli etologi bernama John Bumpass Calhoun. Salah satu tesisnya yang terkenal adalah eksperimen “Universe 25 (Semesta 25)” yang tertuang dalam “Death Squared: The Explosive Growth and Demise of a Mouse Population (Kuadrat Kematian: Pertumbuhan Ledakan dan Kematian Populasi Tikus)” yang dipublikasikan pada 1973.
Lokasi eksperimen adalah kotak logam di dalam sebuah pertanian dengan ukuran panjang dan lebar masing-masing 2,57 meter dan tinggi 1,37 meter, dapat menampung 3.840 ekor tikus. Dengan titik tengah kotak sebagai pusat dapat dibagi menjadi 16 zona, setiap zona diberikan dispenser air yang independen, lumbung makanan, dan 16 buah sarang untuk tidur, setiap sarang cukup untuk 15 ekor tikus tidur dengan nyaman. Ventilasi di dalamnya sangat baik, suhu udara selalu stabil, ada makanan yang tidak pernah habis, air yang tidak pernah habis, tidak ada musuh alami, juga tidak ada penyakit menular. Dan satu-satunya hal yang harus dilakukan oleh tikus-tikus itu adalah “enjoy life” alias menikmati hidup. Benar-benar suatu negara utopia yang diimpikan oleh setiap tikus. Maka, orang-orang pun menyebut eksperimen tersebut dengan julukan Eksperimen Utopia Tikus atau Mouse Utopia Experiment.
Percobaan “Universe 25” dengan rentang waktu 5 tahun dari awal hingga akhir, mulai Juli 1968 dan berakhir Mei 1973, dibagi menjadi empat tahap A, B, C, D, persis seperti empat fase yang dialami alam semesta seperti yang dikatakan dalam ajaran Buddha yakni terbentuk, eksistensi, destruksi/rusak, kepunahan.
Fase A: Masa Perjuangan
4 pasang tikus kecil yang baru berusia 48 hari dimasukkan. Setiap ekornya lincah dan sehat. Di dunia dengan langit dan bumi yang sama sekali baru, para tikus yang berbahagia dengan cepat menandai wilayah kekuasaannya, memilih sarang masing-masing, dan memulai kehidupan kolonialnya. Hari ke-104, tikus generasi kedua lahir dengan lancar.
Fase B: Masa Perkembangan
Sejak saat itu, jumlah tikus pun bertumbuh pesat, setiap 55 hari akan bertumbuh satu kali lipat. Sarang yang ditempati tikus-tikus jantan yang unggul lebih tinggi tingkat kelahirannya, sedangkan sarang lainnya sangat sedikit atau bahkan tidak berpenghuni. Polarisasi sosial pun mulai muncul.
Fase C: Masa Penyeimbangan
Pada hari ke-315, jumlah tikus mencapai 620 ekor. Sejak saat itu kecepatan berkembang biaknya tikus pun merosot drastis, setiap 145 hari baru bertumbuh satu kali lipat. Pada saat itu, masalah sosial mulai muncul. Kemampuan para tikus jantan mempertahankan wilayah kekuasaannya mulai menurun, tikus betina pada masa menyusui menjadi lebih agresif, dan mengambil alih tugas tikus jantan. Kekerasan kerap terjadi. Para tikus jantan yang berlebih digigiti sampai luka-luka dan terpaksa harus mundur. Saling hibur sesama jenis dan tikus yang terpinggirkan secara sosial mulai bermunculan, tingkat kehamilan tikus betina menurun, ada yang mulai tidak bisa hamil, atau mengusir tikus-tikus kecil yang baru dilahirkan, dan dibiarkan hidup matinya. Masyarakat tikus mulai mengarah pada kekacauan.
Fase D: Masa Kematian
Setelah hari ke-560, jumlah tikus mencapai puncaknya yakni 2.200 ekor, lalu mulai muncul pertumbuhan negatif. Tingkat kelahiran dan tingkat bertahan hidup tikus-tikus kecil menurun drastis. Pada hari ke-600, satu ekor tikus kecil yang bertahan hidup pun dilahirkan.
Lalu fenomena aneh pun terjadi. Para tikus jantan yang mundur tidak lagi saling berkelahi, juga tidak lagi mengejar para tikus betina. Selain rutinitas kehidupan sehari-hari, mereka hanya gandrung melakukan satu hal saja, yakni merapikan bulu-bulu mereka. Pada saat itu, walaupun ada sejumlah sarang yang sudah terlalu padat, tapi masih ada 20% sarang yang masih kosong. Lalu para tikus betina yang tidak lagi memiliki kemampuan untuk berkembang biak itu masuk ke dalam sarang-sarang kosong tersebut dan hidup mengasingkan diri.
Sejak saat itu, karena tidak ada lagi tikus kecil lahir, Universe 25 mulai memasuki masa kematian yang perlahan. Para tikus kecil yang baru tumbuh dewasa tidak lagi memiliki sifat agresif, juga tidak mempelajari perilaku bersosialisasi, tidak tertarik pada lawan jenis, hanya memperhatikan dirinya sendiri, setiap hari menghabiskan banyak sekali waktu untuk merapikan bulunya. Calhoun menyebut tikus-tikus itu “the beautiful ones (si Tikus Cantik)”.
Pada saat Calhoun menulis tesis tersebut, dalam Utopia masih tersisa lebih dari seratus ekor tikus “the beautiful ones”. Dia memperkirakan tikus terakhir akan mati pada Mei 1973, tepatnya pada hari ke-1.780 sejak eksperimen itu dimulai. Universe 25 pun sejak saat itu punah.
Pada awal era 1960-an, Calhoun telah memulai percobaan tikus seperti ini, dan hasilnya selalu hampir sama. Koleganya yang bernama Profesor Halsey Marsden pernah menguji beberapa ekor tikus “the beautiful ones”, yang ditempatkan ke dalam kotak yang sama sekali baru, berharap di lingkungan yang baru mereka akan menemukan kembali kepercayaan diri mereka, dan membangun alam semesta yang baru. Akan tetapi, para tikus “the beautiful ones” itu tetap saja tidak tertarik untuk berkembang biak, model perilaku mereka telah mengalami perubahan yang sifatnya permanen.
Ini pun membuat Calhoun merenung. Karena sebelumnnya dia terus mengira bahwa tekanan yang terjadi akibat terlalu padatnya populasi adalah penyebab timbulnya perilaku tidak lazim pada tikus. Akan tetapi penyebab munculnya para tikus “the beautiful ones” jelas bukan ini. Faktanya pada masa dimana tikus di Universe 25 jumlahnya mencapai paling banyak juga tidak mencapai batas atas 3.840 ekor. Lalu apa yang menyebabkan para tikus tidak mau benar-benar menikmati hidup, dan justru telah membuat surga berubah menjadi neraka?
Analisa terakhir dari Calhoun berpendapat, justru dikarenakan kondisi di dalam utopia terlalu baik, para tikus hidup berumur panjang, generasi yang lebih tua mengangkangi beberapa posisi yang sangat terbatas di tengah komunitas mereka dan tidak mau pensiun, sehingga generasi yang lebih muda mau tidak mau harus bertarung dengan para seniornya untuk memperoleh peran tertentu di tengah masyarakatnya. Akibatnya kedua generasi saling melukai satu sama lain, yang menyebabkan hancurnya tatanan masyarakat. Dengan kata lain, penyebab utamanya adalah karena para tikus muda tidak dapat menemukan peran yang sesuai dengan dirinya di tengah masyarakat. Untuk itu generasi pertama mempergunakan kekerasan, dan generasi kedua langsung saja mundur dari masyarakat itu.
Lalu ia mengatakan, jika di kemudian hari muncul fenomena yang sama di tengah umat manusia, hasil akhir yang sama tidak akan dapat dihindari, yakni punahnya seluruh spesies. Begitu pernyataannya ini dilontarkan, langsung mengundang keraguan di kalangan ilmuwan. Semua orang mengkritik, masyarakat manusia jauh lebih rumit daripada tikus, bagaimana Anda bisa sembrono menyimpulkan begitu?
Ramalan Calhoun
Akan tetapi setelah 50 tahun berlalu ketika kita menoleh kembali, eksperimen Calhoun benar-benar telah meramalkan dengan jitu masa depan umat manusia.
Hampir bersamaan dengan diciptakannya alam semesta bagi tikus oleh Calhoun, yakni di awal era 1960-an, tingkat kelahiran di seluruh dunia menanjak hingga titik puncaknya, rata-rata setiap orang wanita melahirkan 5 orang anak. Pada akhir era 1960-an tingkat kelahiran mulai menurun, dan sejak saat itu tidak pernah menanjak lagi, dibandingkan dengan alam semesta tikus, berarti umat manusia telah memasuki fase C, yakni masa penyeimbangan.
Pada fase ini, timbul perilaku kekerasan di antara tikus. Dan dalam masyarakat manusia di era 1960-an hingga 1970-an, kaum muda di Timur dan Barat hampir bersamaan telah memasuki periode kegelisahan, dan mulai berubah suka bertikai. Tidak perlu membahas Dunia Timur, kita semua sudah mengetahuinya. Sementara pada kalangan masyarakat Barat, mulai dari revolusi jalanan, bangkitnya feminisme, budaya Hippie yang anti sosial dan anti tradisional, serta budaya Punk mulai merajalela.
Namun di era 1980-an, generasi muda yang baru tidak lagi suka bertikai. Pada saat itu, kontak sosial menyusut ke fase dimulainya fenomena “tikus the beautiful ones”. Di awal era 1990-an, setelah meletusnya gelembung ekonomi Jepang, munculnya kaum “pria rumahan” membuat sejumlah fenomena mencuat ke permukaan.
Para “pria rumahan” ini selain tidak mencari pekerjaan, juga tidak ingin bersosialisasi, sama sekali tidak tertarik dengan pernikahan, sejak pagi sampai malam hanya berdiam saja di kamar dan mengasihani dirinya sendiri, kehidupannya sepenuhnya mengandalkan tunjangan orang tuanya. Setelah internet mulai marak, fenomena ini menjadi semakin parah, bahkan merambah ke seluruh dunia. Di Tiongkok kelompok orang seperti ini disebut “kaum pengerat ortu”, di Amerika kaum ini disebut “boomerang kids”, di Inggris mereka disebut kaum “NEET”, dan di Australia mereka disebut “kangaroo tribe”. Pada akhir 2018, pemerintah Jepang pernah melakukan penelitian terhadap fenomena ini, akhirnya ditemukan bahwa penduduk yang hanya berdiam di rumah saja ternyata jumlahnya mencapai jutaan orang. Dan lebih dari 60% di antaranya adalah kaum paruh baya dan manula yang berusia di atas 40 tahun. Dengan kata lain, sebagian dari mereka mungkin telah mulai berdiam saja di rumah sejak era 1990-an, serta telah berdiam saja selama sekitar 23 tahun.
Yang mengiringi fenomena berdiam di rumah dan menggerogoti orang tua mereka, kaum muda yang mau mempunyai anak juga semakin lama semakin sedikit. Tingkat kelahiran pun menurun drastis. Mari kita lihat table tingkat pertumbuhan populasi dunia di tahun 2020 berikut ini. Warga ungu melambangkan tingkat kelahiran tertinggi, lalu seiring dengan menurunnya tingkat kelahiran secara perlahan beralih menjadi biru, warna biru tua yang paling rendah artinya setiap wanita melahirkan kurang dari 1 orang anak. Di bawah warna biru tua kurang dari 2 orang anak, yaitu lebih rendah daripada ambang batas bawah keberlangsungan suatu ras, yakni 2,1 orang anak. Dalam gambar dapat dilihat, mayoritas negara, khususnya kawasan yang berekonomi makmur, pada umumnya berada di zona biru hijau.
Selain itu, menurut perkiraan tingkat kelahiran 2022 oleh CIA, di antara 227 negara di seluruh dunia, hampir 60% negara tingkat kelahirannya kurang dari ambang batas bawah regenerasi yakni 2,1. Hampir tidak satu pun negara makmur luput. Dan negara yang tingkat kelahirannya tinggi mayoritasnya adalah negara kecil Afrika.
Ini berarti, umat manusia telah mulai menghadapi krisis populasi. Bukan populasi yang berlebihan, justru sebaliknya, yakni menyusutnya populasi, keberlangsungan ras memunculkan masalah serius. Jika tidak dihadapi dengan baik, maka akan terjadi seperti ramalan Calhoun, kita akan mengalami bahaya punahnya spesies.
Mengenai hal ini, pemerintah semua negara sudah memahaminya, berbagai cara dikerahkan, tapi kaum muda tidak tergerak, seakan telah kehilangan keyakinan terhadap masyarakat ini. Apakah ini juga seperti utopia tikus, yang diakibatkan oleh kondisi materi yang terlalu baik? Kita tidak tahu. Tapi ada satu hal, pemenuhan materi belum tentu bisa mendatangkan kebahagiaan bagi manusia. Percobaan Calhoun telah membuktikan hal ini. Umat manusia merasa dengan menciptakan sebuah dunia yang sangat kaya dalam hal materi bagi para tikus berarti telah memberikan kebahagiaan terbesar bagi mereka. Seharusnya mereka berterima kasih lalu menikmatinya dengan tenang. Tapi perilaku para tikus justru mengatakan “tidak”.
Lalu di manakah letak kunci untuk menetralisir krisis ini? Dalam tesisnya Calhoun selain meramalkan masa depan umat manusia, bahkan juga telah merekomendasikan metode penyelesaiannya, yaitu Pohon Kehidupan dalam “Alkitab”. Dalam “Kitab Wahyu” dikatakan, di kedua tepi sungai yang mengalirkan air kehidupan telah tumbuh Pohon Kehidupan, “yang menumbuhkan 12 jenis buah-buahan, setiap bulan menumbuhkan buah, daun di pohon dapat mengobati rakyat semua negara”. Calhoun mengatakan, evolusi manusia adalah berjalan melalui sebuah jalan menuju Pohon Kehidupan, dengan menguasai Pohon Kehidupan, maka di sepanjang jalan yang ditempuh pun akan aman.
Walaupun yang dikatakan secara samar, namun maknanya sangat jelas, yaitu ketika terjadi krisis, bersandar pada agama/kepercayaan dapat menerobos melalui kesulitan itu. Walaupun kalangan ilmiah tidak sependapat dengan pernyataan ini, namun pada September di tahun yang sama, Calhoun ditemui oleh Paus Paulus VI, tidak diketahui apakah penyebabnya dikarenakan tesisnya itu atau bukan.
Kita tidak mengetahui apa agama yang diwakili dalam Pohon Kehidupan Calhoun, dan bagaimana pula dapat membantu manusia keluar dari kesulitan. Akan tetapi perihal bahwa agama/kepercayaan dapat mendatangkan kebahagiaan bagi umat manusia, memang terdapat sebuah contoh bagus yang sangat menarik.
Negara Yang Paling Bahagia di Dunia
Di antara negeri Tiongkok dan India, di kaki gunung selatan Himalaya terdapat sebuah negara kerajaan kecil yang disebut Bhutan, yang seluruh warganya memeluk agama Buddha. Negara ini adalah salah satu negara yang paling tidak makmur di dunia, tapi justru merupakan “negara yang paling bahagia” di dunia. Di tengah pemandangan alamnya yang indah itu tidak ditemukan rumah-rumah mewah, juga tidak ada pondok kumuh yang didiami warga miskin. Di jalanan tidak ditemukan pengemis dan gelandangan, hanya ada warga desa yang mengenakan busana tradisionalnya berjalan dengan wajah berseri-seri. Jika Anda bertanya pada mereka mengapa begitu bahagia, mereka akan menjawab, “Saya sangat puas.”
Tahun 1972, Raja Bhutan yang keempat yakni Jigme Singye Wangchuck mempromosikan konsep bahagia seperti ini kepada seluruh dunia, dengan mengemukakan “Gross National Happiness”, yang berpendapat bahwa sebuah negara tidak bisa hanya memperhatikan PDB, tapi yang lebih penting adalah harus menempatkan kebahagiaan warganya sebagai sasaran pemerintahan yang menekankan harmonisasi dengan alam lingkungannya. Nilai-nilai tradisional yang disampaikan dengan sembilan sektor bahagia dan empat pilar yang menopang Gross National Happiness, termasuk pelestarian dan promosi kebudayaan, kesejahteraan psikologis dan lain sebagainya, oleh para pakar dipandang memiliki nuansa ajaran Buddha yang sangat jelas.
Selama 50 tahun terakhir, Gross National Happiness semakin banyak dikenal oleh negara Barat. Tahun 2011, PBB meloloskan resolusi yang mendorong negara anggota PBB agar meniru Bhutan memperhatikan kebahagiaan warganya. Dengan demikian Negara Bhutan yang kecil itu pun menjadi terkenal ke seluruh dunia. (sud)