Seorang pemuda berusia 24 tahun yang baru lulus kuliah, dengan penuh rasa antusias terjun ke dunia kerja. Karena gemar berenang, maka dia pun bekerja sebagai seorang lifeguard (perenang penyelamat, red.), yang sehari-harinya harus duduk berlama-lama di bangku pengawas kolam renang. Tak lama kemudian, ia merasa tidak puas dengan kondisi tersebut. Lalu banting setir membantu pamannya mengelola sebuah toko kecil, yang menjual segala macam pernak-pernik. Pemuda itu cukup cerdas, juga sangat gesit, di usia muda sudah menjadi manajer toko.
Bisnis yang dikelola pemuda itu tergolong baik, pagi hari sangat sibuk, malam hari setiba di rumah, hal yang paling disukainya adalah menonton bioskop dan serial film. Suatu malam, di saat sedang asyik menonton film yang penuh dengan suara menggelegar dari adegan baku tembak antara polisi dengan penjahat, tiba-tiba dirasakannya pada telinga kanannya ada suara tembakan, tetapi telinga kirinya sunyi sepi, ada apakah gerangan?
Lima jam kemudian, berganti telinga kirinya mulai berdengung. Pemuda itu dulu suka berenang, setiap bulan selalu saja merasakan telinga berdengung 1-2 kali, namun hal ini tak dihiraukannya. Keesokan harinya ia mendatangi dokter spesialis THT, setelah 3 hari mengonsumsi obat, telinga kirinya belum kembali normal juga.
Pemuda itu merasakan ada yang aneh, maka memeriksakannya ke rumah sakit pusat. Hasilnya cukup mengagetkan, ia ternyata mengalami gangguan pendengaran 100 dB, tergolong kategori gangguan pendengaran yang parah. Dokter mengatakan, dia mengalami kehilangan pendengaran mendadak (sudden sensorineural hearing loss, SSNHL), dan harus segera opname di rumah sakit untuk disembuhkan.
Klasifikasi Gangguan Pendengaran
Menurut definisi standar internasional:
Pendengaran normal: 25 dB.
Gangguan pendengaran ringan: 26-40 dB.
Gangguan pendengaran menengah: 41-60 dB.
Gangguan pendengaran serius: 61-80 dB.
Gangguan pendengaran parah: di atas 81 dB.
Kehilangan pendengaran mendadak, mayoritas terjadi pada orang berusia 40-60 tahun, pemuda itu baru berusia 24 tahun, tapi pendengarannya sudah masuk dalam kelompok usia ini. Probabilitas terjadinya hilang pendengaran mendadak adalah antara 5-20 per 100.000 orang, jadi pemuda ini tergolong langka yang mendapat gangguan semacam ini. Masa keemasan dalam kasus hilang pendengaran mendadak adalah 7 hari, makin lama dan makin jauh dari masa keemasan itu, maka akan semakin dekat dengan gangguan pendengaran parah dan tuli. Di usia yang masih begitu muda, mengapa bisa terjerumus sedalam ini? Apa pun itu penyebabnya, kesehatan adalah nomor satu. Pemuda itu pun untuk semetara harus berhenti dari pekerjaannya, dan diopname di rumah sakit.
Sang pemuda tidak habis pikir, mengapa ia bisa mengalami kehilangan pendengaran mendadak? Bukan hanya tidak habis pikir, bahkan kalangan medis pun hingga kini belum mengetahui penyebab kehilangan pendengaran mendadak. Faktor penyebab penyakit yang disimpulkan oleh kalangan medis, juga hanya aplikatif pada 10%-15% penderita saja, selebihnya 85%-90% penderita tidak bisa ditemukan penyebabnya.
Tiga faktor yang paling sering dikemukakan sebagai penyebab kehilangan pendengaran mendadak adalah: Penyumbatan pembuluh darah kecil di telinga, pecahnya gendang telinga, dan terjangkit virus. Dokter tidak kunjung menemukan penyebab apa pun pada pemuda itu, hasil pemeriksaan menunjukkan dirinya baik-baik saja. Dokter melakukan dua kali pembedahan, dan langsung menyuntikkan steroid ke dalam telinga. Pertama kali disuntik, pemuda itu merasa pendengarannya agak membaik.
Di dalam rumah sakit, pemuda itu setiap hari diinfus yang mengandung steroid dan obat untuk memperlancar aliran darah. Setelah 5 hari diopname, kondisinya statis tidak ada kemajuan. Apalagi bertepatan dengan pandemi, dengan tingkat kewaspadaan level 3. Pemuda itu langsung keluar dari rumah sakit, dan pada saat keluar dari rumah sakit gangguan pendengaran yang dialaminya mencapai 85 dB. Dokter menganjurkan agar dilakukan CT Scan, untuk memeriksa apakah di bagian kepalanya tumbuh Neuroma Akustik (sejenis tumor otak jinak yang tumbuh antara saraf penghubung telinga dan otak, red.). Karena pandemi, pemuda itu tidak kembali memeriksakannya.
Begitu keluar dari rumah sakit, ia pun langsung berobat ke klinik saya. Penyakitnya telah melewati masa emas, untuk mempersingkat waktu, maka penulis segera melakukan terapi tusuk jarum.
Penanganan Akupunktur
Terapi akupunktur dimulai dari kemungkinan titik timbulnya penyakit, ketika si pemuda menonton di bioskop, mungkin AC- nya terlalu dingin, dan berhembus langsung ke bagian kepalanya, untuk menghilangkan angin, tusuk di titik Baihui dan Fengchi. AC yang terlalu dingin, mungkin telah menyebabkan penyusutan, dan mengakibatkan sirkulasi tidak lancar, untuk memperlancar peredaran darah, tusuk di titik Xuehai, Sanyinjiao, dan Hegu.
Biasanya apabila kawula muda mengalami gejala flu, kebanyakan tidak menghiraukannya. Gejala flu di awal timbulnya penyakitnya, pemuda itu mungkin mengalami infeksi bakteri pada saluran pernafasan atas, maka tusuk di titik Hegu dan Zhongzhu. Dalam kitab Wei Pi Lun (Teori tentang Lambung dan Limpa) disebutkan, “Defisiensi limpa, akan mengakibatkan Sembilan Pelepasan (Jiu Qiao: Kedua mata, kedua lubang hidung, kedua lubang telinga, mulut, lubang kemaluan, dan anus) tidak lancar.” Menyehatkan limpa, adalah langkah memperbaiki pondasi kesehatan yang sangat penting, tusuk di titik Sanyinjiao dan Gongsun. Telinga adalah jalur yang terhubung dengan ginjal, pemuda itu sering begadang, sehingga amat melemahkan darah liver dan cairan ginjal, maka untuk menguatkan ginjal, tusuk di titik Yongquan; dan untuk menyelaraskan liver, tusuk di titik Taichong.
Memperlancar peredaran darah sekitar telinga, tusuk di titik Yifeng dengan metode temporal tiga jarum. Yang dimaksud metode temporal tiga jarum adalah dari ujung atas telinga memasuki batas rambut sampai 2 inci, membuka 1 inci di samping kiri-kanannya, dari atas ditusuk ke bawah.
Membuka jalur telinga, tusuk titik Tinghui, Tinggong, dan Ermen, terkadang bergiliran antara tiga titik, terkadang tiga titik sekali tusuk. Kedua sisi telinga termasuk meridian Shao- yang, untuk memperlancar jalur meridian, tusuk di titik Yangchi, Zulinqi, dan Xiaxi.
Saya menganjurkan pemuda itu agar memanfaatkan waktu yang ada, sebaiknya 10 hari pertama setiap hari diterapi tusuk jarum, setelah itu seminggu 2 kali. Tetapi karena situasi pandeminya parah, seminggu cukup tusuk jarum 1-2 kali. Pemuda itu tidak sabaran, takut penyakitnya semakin parah, maka pada 15 hari pertama, tanpa menghiraukan situasi pandemi, ia setiap hari berkunjung untuk diterapi tusuk jarum, kondisi telinganyalah yang lebih penting.
Pesan Khusus
•Banyak mengonsumsi makanan yang berongga, diutamakan bawang dan akar teratai.
•Jangan mengonsumsi es serta makanan dan minuman yang bersifat dingin.
•Harus mapan tidur sebelum pukul 11 malam, di saat tidur sebaiknya memakai celana panjang dan kaos kaki.
•Lakukan pemijatan: Kedua telapak tangan agak menekan datar kedua telinga dengan posisi kedua pusat telapak menempel kedua telinga, jari telunjuk menekan jari tengah ke bawah, sambil mengetuk pelan bagian belakang kepala, dari atas turun ke bawah hingga tulang oksipital, di dalam telinga akan terdengar seperti suara genderang ditabuh, diketuk sebanyak 9 kali. Setiap hari dilakukan sebanyak 3 set.
•Metode peniupan: Lakukan pernapasan yang dalam 10 kali, berhenti sejenak, lalu tarik napas dalam-dalam 1 kali langsung menutup mulut. Jempol dan jari telunjuk menjepit cuping hidung, lalu hembuskan udara, agar udara yang ada di kerongkongan menekan ke arah telinga, terasa gendang telinga terasa bersuara berdesir. Sehari dilakukan sebanyak 3 kali.
•Memijat ujung atas dan ujung bawah telinga sebanyak 36 kali, lalu memijat luar dan dalam daun telinga 9 kali. Setiap hari dilakukan sebanyak 3 set.
Setelah 4 kali terapi tusuk jarum, hasil pemeriksaan kekuatan pendengarannya menjadi 70 dB. Setelah itu, karena pandemi, dia tidak berani memeriksakan diri ke rumah sakit.
Pendengarannya dirasakan jauh membaik, tapi di malam hari masih sering mengalami dengung telinga. Setelah sebulan tusuk jarum, setiap kali saya berbicara dengannya, dapat langsung dijawabnya, tidak seperti sebelumnya agak tersendat yang tanpa disadari badannya dicondongkan ke depan karena hendak mendengarkan lebih jelas.
Setelah tanda bahaya pandemi diturunkan ke level 2, pemuda itu kembali mengunjungi rumah sakit, dan kerusakan pendengarannya telah turun hingga 40 dB, dokter mengatakan jika sudah turun ke angka 50 dB, sebetulnya sudah tidak berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari. Pemuda itu ingin mencapai kondisi lebih baik lagi, maka makanan dan minuman dingin pun dihentikan, dan tidak lagi begadang. Begitu terus perawatan diri selama 3 bulan, hingga menjadi seminggu hanya tusuk jarum sekali.
Suara angin, suara hujan, suara membaca, semua suara merasuk ke telinga. Ia telah menemukan kembali mekanisme suaranya, mendengarkan dengan tenang suara hati sanubari. (sud)