Wang He
Pertama, latar belakang politik kunjungan Kanselir Jerman Olaf Scholz ke RRT — menghadapi “multi tekanan”
Tekanan pertama, berasal dari pemerintah Jerman sendiri. Dalam pemilu Scholz menang tipis, setelah ada perundingan rahasia tiga partai, dibentuklah pemerintah bersama “merah-hijau-kuning” (SPD, Bündnis 90/Die Grünen, FDP).
Menteri Ekonomi dan Menteri Luar Negeri yang berasal dari Partai Hijau (Die Grünen) bersikap keras terhadap PKT (Partai Komunis Tiongkok), menyeimbangkan jalur kebijakan Scholz yang “pragmatis dan seimbang”. Di saat yang sama tiga badan intelijen Jerman juga memperingatkan agar tidak “terlalu naif” dalam memperlakukan PKT yang otokratis.
Tekanan kedua, berasal dari internal Uni Eropa. Pada KTT Uni Eropa Oktober lalu, kebijakan terhadap RRT (Republik Rakyat Tiongkok) menjadi topik utama, dan muncul perselisihan yang sangat besar. Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan, dulu Eropa menjual infrastruktur strategis bagi PKT adalah kesalahan besar. Akan tetapi, pada 26 Oktober lalu, pemerintah Scholz justru mengizinkan perusahaan negara milik PKT memiliki 24,9% saham kepemilikan atas dermaga peti kemas Hamburg yang merupakan “tanah penuh berkat” bagi Jerman itu. Terhadap kunjungan Scholz seorang diri ke RRT, PM Latvia Arturs Krišjānis Kariņš berpendapat, mengenai masalah RRT “yang terbaik adalah menyelesaikannya saat 27 negara ada, dan bukannya ….di saat kami berhadapan satu per satu”
Tekanan ketiga, berasal dari AS (Amerika Serikat) dan negara G7. Di masa pemerintahan Trump, hubungan Jerman dan AS agak canggung. Pemerintah Biden menyesuaikan kembali kebijakan terhadap Jerman, Kanselir Jerman juga telah berganti dari Merkel diserahkan kepada Scholz, hubungan kedua negara pun membaik. Akan tetapi, “persaingan strategis yang ekstrem” antara Barat yang dipimpin oleh AS dengan PKT, agak dikritik Jerman.
Sebelum Scholz berkunjung ke RRT, AS secara terbuka menentang PKT memiliki lebih banyak saham pada Pelabuhan Hamburg, seorang pejabat senior Kemenlu mengatakan, Washington terus menjalin kerjasama dengan Eropa sebagai rekanan, untuk memastikan setiap investasi PKT di bidang strategis dan keamanan diperiksa secara seksama, serta diambil tindakan antisipasi. Menlu negara G7 menggelar rapat pada 3-4 November lalu di Jerman, dan menetapkan PKT sebagai musuh untuk diwaspadai, serta menyerukan agar PKT tidak menyelesaikan masalah dengan menggunakan ancaman atau kekuatan militer.
Tekanan keempat, berasal dari para aktivis HAM. Sebanyak 70 organisasi HAM termasuk World Uyghur Congress mengeluarkan surat terbuka, yang isinya menuntut Scholz agar mempertimbangkan kembali kunjungannya ke Beijing.
Pada 31 Oktober lalu, ratusan tokoh oposisi Tiongkok yang mengasingkan diri di luar negeri menandatangani surat terbuka, dan mempertanyakan Scholz, “Sekarang pemerintahan Xi Jinping sedang mengalami kesulitan luar dalam, konflik internal dan keluhan warga terus bermunculan. Sebagai seorang pemimpin negara bebas di dunia yang pertama akan berkunjung ke RRT, pandangan apa yang hendak Anda sampaikan kepada PKT?”
Semua tekanan di atas berasal dari masyarakat Barat. Tekanan kelima, adalah berasal dari PKT sendiri. Perbincangan internal baik di pihak PKT maupun di pihak Jerman terkait kunjungan Shcolz ke RRT tidak bisa kita ketahui pasti, tapi PKT menunda-nunda konfirmasi atas rencana kunjungan tersebut, dirasa cukup aneh.
Sejak Juli dan September lalu, media cetak Hong Kong South China Morning Post telah menyebutkan Scholz akan berkunjung ke Tiongkok pasca “Kongres Nasional ke-20”, tapi pihak PKT justru menyebutnya sebagai hoax. Bahkan pada Oktober lalu saat Scholz sendiri menyatakan akan berkunjung ke RRT, PKT pun menolak untuk membenarkannya. Hingga pada 28 Oktober, Kemenlu RRT baru mengumumkan hal tersebut. Dari sini dapat dilihat, PKT dengan Jerman, siapa sebenarnya yang posisinya berada di atas angin? Bagi PKT, perang Rusia-Ukraina berdampak serius terhadap Uni Eropa, perekonomian Jerman telah merosot, neracanya jelas berpihak pada PKT.
Kedua, Mari Kita Lihat Hasil Kunjungan Scholz ke Tiongkok
Secara resmi kunjungan Scholz membuahkan dua hasil secara material. Pertama, perusahaan BUMN China Aviation Supplies Holding Company telah memesan 140 unit pesawat kepada Airbus, dengan total nilai USD 17 Milyar (266 triliun rupiah, kurs per 08/11). Ini adalah trik lama diulang kembali, sebelumnya pada Juli lalu, maskapai BUMN seperti Air China, China Eastern, dan China Southern juga telah mengumumkan pesanan dengan total nilai mencapai USD 37 Milyar (579 triliun rupiah). Kedua, PKT mengizinkan vaksin BioNTech untuk diaplikasikan pada warga asing yang tinggal di Tiongkok. Tetapi, ini hanya langkah mengalah yang sangat kecil, warga Daratan Tiongkok tetap tidak berjodoh dengan vaksin Jerman.
Dalam hal kebijakan, Scholz meraih hasil: Xi Jinping telah memperingatkan Putin agar tidak menggunakan senjata nuklir di Ukraina (kantor berita Xinhua News menyebutkan: Xi Jinping… menyatakan bersama-sama menentang penggunaan atau ancaman menggunakan senjata nuklir, menganjurkan senjata nuklir tidak bisa digunakan dan perang nuklir tidak bisa dikobarkan, untuk mencegah timbulnya krisis nuklir di Benua Eurasia). Namun, tuntutan Scholz — agar PKT menekan RUsia untuk segera mengakhiri perang Rusia-Ukraina, malahan tidak membawa hasil sama sekali.
Scholz telah menyampaikan dua sikap Jerman yakni: Pertama, mengupayakan lingkungan persaingan yang adil, “Kesulitan yang dialami oleh perusahaan Jerman di Tiongkok tak seharusnya lebih besar daripada kesulitan yang dialami oleh perusahaan Tiongkok di Eropa”.
Scholz berkata, “Saya percaya tidak lama lagi di masa mendatang hal ini akan menyebabkan perkembangan sejumlah kasus konkrit”. Ia juga menyatakan tidak hanya menyangkut perusahaan Jerman, juga menyangkut seluruh perusahaan Eropa. Kedua, mengulangi kembali tetap menjalankan kebijakan satu Tiongkok, di saat yang sama Scholz “secara jelas menyatakan, perubahan apapun terhadap kondisi Taiwan sekarang harus dengan cara damai atau disepakati oleh kedua belah pihak”. Tetapi apakah PKT mau mendengarnya, dan menghargai Jerman atau tidak, itu adalah persoalan lain.
Kesimpulan: Lebih Seimbang daripada Agresif
Scholz membawa berbagai tekanan datang berkunjung ke Tiongkok, tentu saja karena ada pertimbangan sendiri, ia berusaha keras untuk tidak rendah diri tapi juga tidak arogan. Di satu sisi, kunjungan ke RRT diatur setelah kunjungannya ke Jepang, itupun sembari setelah menghadiri KTT G20, dengan jadwal kunjungan hanya satu hari, pada saat yang sama Presiden Federal Jerman juga akan berkunjung ke Jepang dan Korea Selatan. Di sisi lain, sebelum kunjungan Scholz berunding secara intens dengan Prancis dan AS, sempat menerbitkan artikel dengan nama samaran pada media cetak AS Politico, dengan menjelaskan lima faktor pertimbangannya berkunjung ke RRT: Tiongkok sedang berubah; dunia sedang berubah; Tiongkok tetap merupakan rekan dagang dan bisnis penting dari Jerman dan Eropa; dalam diskusi tidak menghindari masalah sensitif (seperti Xinjiang, dan Taiwan); berkunjung ke Beijing dengan status sebagai kanselir dan Jerman, juga dengan status sebagai warga Eropa.
Seharusnya dikatakan, Scholz telah mencurahkan banyak upaya dan pikiran demi kunjungan tersebut, menonjolkan gayanya yang “pragmatis dan seimbang”. Jika disebutkan dengan kata-kata Scholz, “Berlin tidak ingin decoupling dengan Beijing, tapi juga tidak akan terlalu bergantung pada Beijing”.
Maka, apakah Scholz telah mencapai tujuan yang diharapkannya? Melihat hasil yang terbatas dari kunjungan ini, seharusnya ada kesenjangan tertentu. Secara keseluruhan, pertama kali berdialog dengan pemimpin PKT, Scholz lebih menekankan keseimbangan daripada agresivitas. Scholz tidak dapat secara efektif menyampaikan berbagai tekanan dari masyarakat Barat itu kepada PKT, untuk memenangkan posisi negosiasi yang menguntungkan bagi dirinya, akibatnya semua tekanan itu dia yang menanggung sendiri.
Akan tetapi, bangsa Jerman dipenuhi dengan rasionalitas. Pengalaman Scholz kali ini, mungkin akan berpengaruh pada kebijakan baru Jerman terhadap RRT yang diperkirakan akan dipublikasikan pada 2023 nanti. Bagaimanapun, “seluruh dunia mengepung PKT” sudah menjadi tren. (sud)