oleh Lin Yan
Protes terhadap kebijakan pencegahan epidemi yang ekstrem ketat di berbagai tempat di Tiongkok menempatkan Beijing dalam situasi dilema. Jika rezim bersedia kompromi lalu membatalkan kebijakan tersebut, mereka khawatir warga sipil di lebih banyak tempat juga melakukan hal yang sama, turun ke jalan untuk memprotes. Tetapi jika menggunakan penindasan untuk merespon demo, khawatir rakyat tidak puas dan semakin marah, sehingga menyebabkan reaksi yang lebih besar.
“Akhir pekan lalu, sebuah kejadian yang dramatis telah terjadi di Tiongkok, yaitu warga sipil mulai melakukan respon keras terhadap pemerintah”, tulis seorang peneliti senior yang memahami urusan Tiongkok.
Kekecewaan masyarakat Tiongkok terhadap kebijakan pencegahan epidemi ekstrem otoritas yang telah berjalan selama 3 tahun telah memuncak. Pekan lalu, protes terjadi di mana-mana. Para warga sipil menuntut diakhirinya kebijakan Nol Kasus dan pembebasan pemblokiran di semua tempat agar masyarakat dalam kembali hidup dan bekerja secara normal. Di ibukota, Beijing, pengunjuk rasa meneriakkan motto : “Kami ingin kebebasan !” Di Shanghai, para pengunjuk rasa menyerukan agar Partai Komunis Tiongkok mundur dan Xi Jinping turun dari jabatannya.
Michael Schuman, seorang peneliti senior di Global China Center dari think tank “Atlantic Council” di Washington, menyebutkan dalam majalan bulanan “The Atlantic” pada Senin (28 November), bahwa ledakan ketidakpuasan warga sipil Tiongkok yang sangat jarang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini telah menjadi tantangan terbesar yang harus dihadapi oleh Xi Jinping dan kekuasaan Partai Komunis Tiongkok.
Peneliti senior yang memahami urusan Tiongkok ini lebih lanjut mengungkapkan bahwa, krisis tersebut adalah buatan PKT sendiri, karena kebijakan Nol Kasus ini telah digembar-gemborkan sebagai tanda pencapaian Xi Jinping dalam kekuasaan dan keunggulan sistem otoriter PKT. Ketika hampir seluruh dunia memilih untuk hidup berdampingan dengan virus, Partai Komunis Tiongkok tetap bersikeras untuk memenangkan pertempuran melawan virus.
“Bagi sebuah partai yang selalu menganggap dirinya paling benar, paling sempurna, pembatalan kebijakan tentu saja dapat ditafsirkan oleh masyarakat Tiongkok sebagai pengakuan kesalahan atau kegagalan. Ini adalah hal yang tidak dapat ditolelir”, tulis Michael Schuman.
“Kebijakan Nol Kasus sekarang berkembang menjadi kontes antara negara otoriter dengan masyarakat yang kompleks”, tambahnya.
Banyak ahli kesehatan masyarakat percaya bahwa Otoritas Tiongkok telah melewatkan periode jendela untuk merumuskan jalan keluar bertahap dari kebijakan Nol Kasus yang ekstrem. Dalam 3 tahun terakhir, otoritas Tiongkok telah menginvestasikan sumber daya yang sangat besar untuk membangun fasilitas penampungan para suspek COVID-19 seperti rumah sakit darurat, dan memperluas kemampuan untuk pengujian asam nukleat, tetapi mereka tidak mencapai kemajuan dalam pengembangan vaksin yang lebih efektif.
“Kami pikir otoritas PKT akan gagal dalam mengendalikan virus (COVID-19) ini melalui strategi Nol Kasus mereka”, kata juru bicara Kementerian Luar Negeri AS yang tidak berwenang untuk disebutkan namanya kepada VOA pada hari Senin (28/11).
Juru bicara ini kemudian mengatakan, pendekatan yang efektif untuk wabah berarti menggunakan alat kesehatan masyarakat, seperti menaikkan tingkat vaksinasi rakyat dan membuat pengujian dan perawatan mudah diperoleh masyarakat.
Para pengunjuk rasa langsung menantang PKT dan Xi Jinping
Pengguna media sosial mengungkapkan bahwa pada hari Senin, polisi di kota besar seperti Beijing, Shanghai dan lainnya melakukan pemeriksaan ponsel terhadap para pejalan kaki, jika terdapat aplikasi seperti VPN, Telegram, Twitter, mereka langsung didata.
Hari Senin malam, sejumlah besar petugas keamanan dikerahkan untuk berjaga-jaga di sejumlah jalan dalam kota Beijing untuk mencegah unjuk rasa warga kembali terjadi.
Tanggapan pihak polisi mengenai pengerahan tersebut adalah bahwa keputusan baru diambil setelah terjadinya unjuk rasa di 17 provinsi pekan lalu yang menuntut diakhirinya kewajiban tes asam nukleat dan pencabutan penguncian.
Sejak Gerakan mahasiswa yang menuntut demokrasi di Lapangan Tiananmen pada tahun 1989, PKT telah menjadikan pencegahan protes politik nasional sebagai prioritas utama. Di masa lalu, protes itu biasanya terjadi karena memuncaknya keluhan atas masalah tertentu di daerah tersebut, seperti tunggakan gaji, sengketa tanah atau polusi, dan unjuk rasa juga terkonsentrasi di wilayah lokal.
“Wall Street Journal” melaporkan pada Senin (28/11) bahwa protes tersebut adalah tampilan yang jelas dari retakan dalam keharmonisan sosial Tiongkok, juga menunjuk bahwa biaya ekonomi dan sosial dari kebijakan Nol Kasus tersebut terus meningkat. Ditambah lagi dengan rezim yang semakin otoriter dan intoleransi terhadap perbedaan pendapat, telah membuat orang-orang dari berbagai latar belakang sosial kewalahan dalam menanggung beban yang ditimbulkan dalam menjalankan kebijakan tersebut.
Dengan mengutip ucapan Pei Minxin, editor triwulan akademik “China Leaders Watch”, disebutkan bahwa protes berskala besar ini adalah krisis politik terbesar yang dihadapi Xi Jinping. Ini adalah pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, pengunjuk rasa dari berbagai kelompok sosial secara langsung menantang pemimpin tertinggi Tiongkok dan PKT.
Pada saat lockdown terjadi berulang telah melumpuhkan bisnis dan menambah jumlah pengangguran, beberapa orang yang sebelumnya berharap kebijakan Nol Kasus ini akan diubah usai Kongres Nasional ke-20 dan Xi Jinping yang telah memenangkan perpanjangan masa jabatan merasa kecewa.
Orang-orang ini berpendapat bahwa setelah pemimpin puncak merasa cukup aman secara politik, dia akan mengubah kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, biarpun kepemimpinan semakin menekankan pentingnya ideologi dan kontrol partai.
PKT terjebak dalam dilema, enggan melonggarkan kebijakan juga takut bertindak keras
Salah satu kemungkinan yang muncul, kata para ahli, adalah bahwa Beijing akan melonggarkan kontrol secara selektif sambil menindak keras terhadap pengunjuk rasa tertentu.
“Wall Street Journal” memberitakan : Para ahli yang mempelajari masalah Tiongkok mengatakan bahwa setidaknya dalam jangka pendek, protes tersebut tidak mungkin menyebabkan perubahan kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok, tetapi cara penanganannya menjadi pelik. Jika pihak berwenang mencabut pembatasan pencegahan epidemi, risikonya adalah dapat menyebabkan munculnya gelombang epidemi berskala besar dan bahkan jumlah kematian yang tinggi yang dapat merusak kredibilitas pemerintah. Jika pihak berwenang memilih untuk menekan para pengunjuk rasa dan bersikeras pada kebijakan Nol Kasus yang tidak dikendurkan, maka masalahnya adalah semakin banyak orang yang akan memprotes kebijakan pengendalian epidemi.
Yuen Yuen Ang, seorang sarjana wanita peneliti urusan Tiongkok di University of Michigan mengatakan kepada Wall Street Journal bahwa jika otoritas Tiongkok bersedia kompromi lalu melonggarkan kebijakan Nol Kasus, mereka khawatir hal itu akan memicu protes warga sipil yang semakin besar, tetapi jika otoritas memilih menekan para pengunjuk rasa, itu akan menimbulkan rasa ketidakpuasan yang lebih besar dan protes yang lebih luas.
Salah satu bahayanya, kata Yuen Yuen Ang adalah jika kepemimpinan PKT memilih untuk mengambil tindakan represif, hal itu dapat membawa Tiongkok masuk ke dalam lingkaran setan seputar urusan pengendalian. Juga memicu lebih banyak kebencian dari rakyat, yang pada gilirannya akan mengarah pada memperbanyak metode pengendalian.
Pada awal November, Dewan Negara Tiongkok mengumumkan 20 butir strategi tentang mengoptimalkan dan menyesuaikan kebijakan pencegahan epidemi. Namun, dengan datangnya musim dingin, jumlah kasus infeksi baru yang dikonfirmasi otoritas langsung melonjak. Lantaran pejabat setempat takut mengambil tanggung jawab, jadi mereka melanjutkan tugas politik untuk memberantas virus, akhirnya lockdown ketat kembali diberlakukan.
Pada 24 November, kebakaran terjadi di sebuah komunitas di Urumqi, Xinjiang, menewaskan sepuluh orang (menurut laporan resmi). Masyarakat menduga bahwa korban sulit diselamatkan karena langkah-langkah pencegahan epidemi. Tragedi tersebut telah mendorong warga yang sudah terkurung selama lebih 100 hari semakin marah dan memberanikan diri untuk turun ke jalan melakukan protes terhadap pemerintah.
Pada 28 November, Kota Ordos, Mongolia Dalam mengeluarkan berita yang menyebutkan bahwa mulai besok tes asam nukleat akan dihentikan karena ada serangan gelombang dingin. Berita tersebut dengan cepat di-retweet oleh sejumlah netizen Tiongkok. (sin)