Ternyata Duduk Diam Lebih Bermanfaat daripada Berjalan?

Li Luming

Duduk untuk waktu yang lama telah menjadi epidemi global. Ada otot seperti ini di tubuh: Beratnya hanya menyumbang 1% dari berat badan, tetapi selama dilatih, ia dapat membakar gula darah dan lemak di dalam darah, mengurangi pula dampak duduk lama, bahkan konsumsi energinya mirip dengan berjalan kaki.

Duduk lama telah menjadi epidemi dan kurang gerak adalah penyebab utama ke-4 kematian

Duduk (dalam waktu) lama adalah masalah umum dalam gaya hidup manusia modern. Entah itu dikarenakan tuntutan sifat pekerjaan atau perubahan gaya hidup, pendek kata, waktu duduk orang-orang semakin lama. Pada 2012, majalah The Lancet dengan jelas menunjukkan bahwa kekurangan aktivitas fisik dan perilaku duduk lama adalah semacam “epidemi” lain di dunia.

Tren survei menunjukkan bahwa sejak 2007 hingga 2016, waktu duduk setiap hari dari auto-report masyarakat meningkat rata-rata sekitar 1 jam. Sedangkan data dari Survei Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi Nasional di Amerika Serikat dan meta-analisis tinjauan sistematis menunjukkan bahwa rata-rata waktu duduk harian untuk orang dewasa sebenarnya jauh lebih tinggi daripada perkiraan yang dilaporkan sendiri, yakni berkisar antara 7 hingga 11,5 jam.

Malas bergerak meningkat seiring dengan bertambahnya usia, angka wanita lebih tinggi daripada pria, dan di negara-negara berpenghasilan tinggi lebih parah.

Salah satu konsekuensi dari kurangnya olahraga teratur dan duduk berlama-lama adalah peningkatan risiko penyakit kardiovaskular yang signifikan. Dibandingkan dengan orang-orang di semua kelompok usia lainnya, mereka yang berusia di atas 65 tahun memiliki tingkat aktivitas fisik terendah dan dengan demikian memiliki risiko penyakit kardiovaskular tertinggi.

Selain itu, kurangnya aktivitas fisik dapat menyebabkan penyakit-penyakit seperti stroke, diabetes tipe 2, kanker payudara dan kanker usus besar. Menurut artikel yang diterbitkan The Lancet pada 2017, di antara orang dewasa di atas 25 tahun, tingkat kematian akibat kurangnya aktivitas fisik adalah 17 per 100.000 orang. Menurut perkiraan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kekurangan aktivitas fisik kini telah menjadi penyebab utama keempat kematian manusia, dengan sekitar 3,2 juta kematian setiap tahun disebabkan oleh kekurangan aktivitas fisik.

Otot yang hanya menyumbang 1% dari berat badan dapat meningkatkan metabolisme seluruh tubuh

Marc Hamilton, profesor kesehatan dan kinerja manusia di University of Houston, dan timnya baru saja menerbitkan penemuan terobosan di iScience.

Otot soleus pada betis, meskipun beratnya hanya sekitar 1 kg, yang hanya menyumbang sekitar 1% dari berat badan, tetapi memiliki kemampuan magis. Jika dilatih dengan benar, ia dapat membakar banyak lemak darah dan gula darah, serta meningkatkan metabolisme oksidatif tubuh manusia. Sedangkan tingkat pembakaran yang tinggi ini dapat bertahan selama beberapa jam.

Otot normal biasanya mendapatkan energi dengan memecah glikogen. Sedangkan otot soleus kurang bergantung pada glikogen, ia lebih banyak mengandalkan pada lemak dan gula untuk menyediakan energi, yang membuat otot ini dapat meningkatkan dengan maksimal metabolisme tubuh manusia.

“Kami tidak pernah mengira otot ini memiliki kemampuan seperti ini,” ujar Hamilton.

Otot soleus pada kaki bagian bawah manusia adalah sepotong otot pipih dan panjang yang berbentuk seperti silhouette ikan.

Ia memanjang dari belakang lutut hingga ke pergelangan kaki dan bergabung dengan dua otot lain untuk membentuk trisep kaki bagian bawah. Soleus memiliki luas penampang fisiologis terbesar dari otot betis dan memberikan hingga 71% dari kekuatan betis trisep, ia juga memungkinkan kita untuk dapat mempertahankan postur berdiri.

Ia memiliki kapiler pembuluh darah yang melengkung, menyusut relatif lambat tapi tahan lelah. Dalam otot soleus, mayoritasnya adalah serat berkedut lambat, dengan proporsi rata-rata 80%. Jika dibandingkan, proporsi rata-rata serat berkedut lambat terhadap otot gastrocnemius dan vastus lateralis yang berdekatan adalah sekitar 57%.

Tidak seperti serat berkedut cepat, yang membakar banyak energi dengan cepat selama berolahraga untuk kemudian merasa lelah dan perlu mengaso, berbeda dengan serat berkedut lambat yang membakar energi secara perlahan dan merata, ia dapat membantu serat tersebut bisa tetap beroperasi untuk jangka waktu lama, tidak dapat menghabiskan energi dengan cepat.

Push-up Soleus untuk mengontrol gula darah dan menahan efek dari duduk lama

Terkadang kita mungkin tidak menyadari telah duduk lama, tetapi lebih sering kita tidak dapat menahan diri, seperti perlu bekerja berlama-lama di meja atau memulihkan diri karena sakit, atau daya gerak orang tua atau orang cacat yang memburuk, yang sudah tidak bisa berjalan mantap dan mandiri.

Hamilton secara khusus merancang latihan untuk karakteristik otot soleus yakni: Push-up soleus. Ia memberikan solusi baru bagi orang-orang yang ingin mengubah kebiasaan buruk duduk lama dan orang yang tidak leluasa untuk berdiri dan bergerak.

Dalam percobaan Hamilton, subjek dibagi menjadi dua kelompok, dan mereka masing-masing meminum cairan yang mengandung 75 gram glukosa. Satu kelompok utamanya duduk diam, sementara kelompok lain terus melakukan push-up soleus. Dalam tiga jam berikutnya, dengan menguji indikator yang relevan, peneliti menemukan bahwa orang yang melakukan push-up soleus, homeostasis glukosa-nya meningkat tajam, dengan rata-rata penurunan 52% dalam fluktuasi glukosa darah postprandial dan penurunan rata-rata 60% pada hiperinsulinemia.

Dalam eksperimen Hamilton lainnya, subjek yang melakukan push-up soleus, keseluruhan energi yang dihabiskan adalah 2.25 kali lipat dari kelompok yang hanya duduk diam.

Selain itu, konsumsi oksigen tubuh dalam kelompok push-up soleus, juga dua kali lipat lebih banyak dari kelompok duduk manis. Hal ini dikarenakan push-up soleus ternyata banyak mengonsumsi lemak dan gula dalam darah.

Oleh karena itu, dibandingkan dengan kelompok duduk diam, kelompok orang yang melakukan push-up soleus juga memiliki trigliserida darah yang lebih rendah secara signifikan.

Para peneliti juga menguji konsumsi oksigen otot-otot ekstremitas bawah tertentu dan pengeluaran energi otot-otot ekstremitas bawah dari subjek. Ditemukan bahwa melakukan push-up soleus memungkinkan otot mengonsumsi lebih banyak oksigen daripada berjalan dan berlari di treadmill.

Selain itu, secara keseluruhan, melakukan push-up soleus memiliki rentang gerak yang lebih kecil daripada berjalan, tetapi pengeluaran energinya hampir sama dengan berjalan.

Hal ini lantaran otot soleus dapat menggunakan oksigen secara langsung untuk membakar lemak dan gula dalam darah, dan tidak perlu melalui pemecahan glikogen dalam jumlah besar untuk mendapatkan energi.

Dapat dikatakan bahwa gerakan otot soleus berefek seperti tuas, mengandalkan titik tumpu kecil dapat meningkatkan metabolisme seluruh tubuh.

Bagaimana caranya melakukan push-up soleus?

Push-up soleus sebenarnya sangat sederhana, hanya butuh dilakukan dalam posisi duduk melakukan gerakan mengangkat tumit:         

  1. Pertahankan posisi duduk dengan kaki rata di lantai, kaki selebar bahu, dan rilekskan otot; lutut secara alami dapat membentuk sudut 90 derajat atau kurang.
  2. Angkat tumit Anda ke atas dan bagian depan kaki Anda masih menyentuh tanah, posisi badan tetap diam.
  3. Setelah tumit mencapai titik tertinggi, secara alami jatuhkan hingga menyentuh lantai.

Itulah metode push-up soleus lengkap, ia membuat otot soleus berkontraksi secara efektif.

Perlu diperhatikan, ketika mengambil posisi duduk, lutut ditekuk sekitar 90 derajat, dan pada saat tumit diangkat, otot gastrocnemius di betis hampir tidak bergerak, sedangkan beban hampir sepenuhnya dipikul oleh otot soleus. Dengan cara ini, otot-otot soleus mendapatkan pelatihan yang paling efisien.

Para peneliti juga menjelaskan bahwa meskipun push-up soleus terlihat mirip dengan berjalan, namun mekanisme latihannya berlawanan: Karena struktur tubuh manusia, ketika berjalan pengeluaran energi soleus paling diminimalisir, yakni penggunaan otot soleus justru adalah paling sedikit. Sedangkan gerakan yang dirancang oleh para peneliti ini, justru membalikkan keadaan otot soleus yang mengkonsumsi lebih sedikit energi saat berjalan, dan dengan metode ini otot soleus dapat mengkonsumsi energi secara maksimal. (lin/whs)

FOKUS DUNIA

NEWS