Analisis : ‘Revolusi Kertas Putih’ di Seluruh Tiongkok, Krisis Xi Jinping yang Belum Pernah Terjadi Sebelumnya

Hong Yu

Baru-baru ini, aksi protes anti-blokade skala besar meletus di seluruh Tiongkok. Aksi protes ini menjadi populer.  Bahkan, merupakan sebuah insiden langka.  Kini meningkat menjadi tuntutan politik. Orang-orang meneriakkan slogan-slogan seperti “Partai Komunis mundur, anti- kediktatoran, dan kebebasan.” Beberapa analis percaya bahwa “revolusi kertas putih”  telah membuat krisis Xi Jinping yang belum pernah terjadi sebelumnya dan kesulitannya semakin meningkat.

Sejak kasus COVID-19 meledak, pemerintahan Partai Komunis Tiongkok (PKT) telah mengadopsi kebijakan “kebijakan Nol COVID-19” yang ekstrim, memberlakukan blokade yang parah di setiap kesempatan. Beberapa hari  lalu, terjadi kebakaran  di Urumqi, Xinjiang menyebabkan tragedi korban jiwa. Insiden itu memicu gelombang protes anti-blokade banyak kota di daratan Tiongkok. Orang-orang  mengungkapkan kemarahan mereka atas pembatasan kebebasan pribadi dan berkabung untuk korban kebakaran di Urumqi.

Para pengunjuk rasa ini meningkatkan tuntutan mereka dari “membuka blokir seluruh negara, tidak ada tes asam nukleat” menjadi tuntutan politik, meneriakkan slogan-slogan seperti “Partai Komunis mundur”, “Xi Jinping mundur”, “anti-kediktatoran”, “ingin kebebasan”, dan ” beri aku kebebasan atau biarkan aku mati.” 

Pada saat yang sama, mahasiswa dari lebih dari 50 perguruan tinggi dan universitas, termasuk Universitas Peking dan Universitas Tsinghua, mengikuti Institut Komunikasi Nanjing, para mahasiswa meluncurkan gelombang protes “revolusi kertas putih” yang berkembang luas di mana-mana.

Pendapat publik umumnya percaya bahwa protes ini dianggap sebagai perlawanan sipil terbesar di Tiongkok sejak insiden “4 Juni” pada tahun 1989. “Gerakan kertas putih” juga menambah penderitaan bagi Xi Jinping.

Bagaimana perjuangan ini berakhir? Cai Xia, mantan profesor di Sekolah Partai Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok, memiliki tiga solusi dalam analisanya dengan Radio Free Asia (RFA). Yang pertama adalah pemerintah mematuhi opini publik: sepenuhnya membuka blokir dan mengakhiri kebijakan “nol kasus”. Namun demikian, dia pesimis. Pasalnya, hal paling sulit dicapai di bawah kepemimpinan Xi Jinping. Dikarenakan, kebijakan nol kasus infeksi adalah pengambilan keputusan Xi dan terkait dengan otoritas kepemimpinan Xi.

Jalan kedua adalah menekan demonstrasi secara paksa, tetapi justru akan mengekspos PKT pada tekanan kuat dari dalam dan luar negeri. Cai Xia percaya bahwa kini PKT terjebak dalam dilema. Jika ada lagi penindasan militer dan pengerahan polisi secara besar-besaran terhadap rakyat, tekanan  internasional akan semakin kuat, dan bahkan akan lebih terisolasi daripada tragedi ” 8964″.  Sebuah angka  mengacu pada insiden pembantaian di lapangan Tiananmen yang terjadi pada 4 Juni 1989. Berbicara di dalam negeri, penindasan bahkan  akan mempercepat keruntuhan pemerintahan Xi sendiri.

Menurut analisis Cai Xia, jalur yang paling mungkin bagi pejabat PKT adalah “solusi semi-lunak dan setengah keras.” Atau, melalaikan tanggung jawab, mengalihkan perhatian, dan metode tekanan tinggi untuk mencegah orang-orang berkumpul dan membubarkan gerakan. 

Akan tetapi,  Cai Xia mengatakan bahwa ketika “Gerakan Kertas Putih” meneriakkan “dua langkah mundur”, maka itu berarti penguasa telah kehilangan legitimasi pemerintahannya di hati rakyat.

Dia mengatakan, ketika warga turun ke jalan, mereka sudah memiliki mentalitas mengorbankan diri mereka sendiri, dan berjuang untuk mengeluarkan suara hati mereka, bahkan jika perlu mereka bisa berjuang sampai mati. Mereka tak lagi memiliki angan-angan dan tidak lagi percaya. Mereka akan bertarung dengan nyawa mereka.

Saat ini, PKT tidak hanya menghadapi krisis di dalam negeri, tetapi di luar negeri.  Diplomasi prajurit serigala PKT dan kebijakan ekspansi hegemonik telah membuat risih semua negara. Suara orang-orang yang menentang rezim PKT semakin keras.

Nikkei Asia Review  menerbitkan sebuah artikel analisis oleh scholar Tiongkok-Amerika, Minxin Pei pada  28 November, mengatakan bahwa “revolusi kertas putih” ini adalah krisis politik terbesar dalam sepuluh tahun kekuasaan Xi Jinping.

Reuters melaporkan pada 29 November bahwa sejak insiden Lapangan Tiananmen pada tahun 1989, tidak banyak orang-orang Tiongkok yang turun ke jalan untuk satu masalah pun dengan risiko ditangkap. Publik telah menyatakan ketidakpuasan mereka terhadap kebijakan Nol COVID-19 Xi Jinping dengan meninggalkan pesan di media sosial, memposting poster besar di kampus dan meluncurkan aksi protes.

Menurut laporan, gerakan kertas putih telah memperburuk kesulitan Xi Jinping yang semakin besar. Apalagi, kebijakan pencegahan epidemi saat ini secara bertahap menjadi beban. Jika dia tunduk kepada tekanan rakyat dan membatalkan kebijakan nol kasus, dia menunjukkan kelemahan dan mungkin mendorong orang-orang untuk turun ke jalan di masa depan ketika mereka ingin kebijakan itu berubah.

Teng Biao, seorang pengacara hak asasi manusia Tiongkok, mengatakan bahwa jika Xi melepaskannya, maka itu berarti kebijakan nol COVID-19 di masa lalu telah gagal total, dan dia harus bertanggung jawab.

Tetapi para analis mengatakan sikap mundur bukanlah karakter Xi.

Bates Gill, seorang ahli Tiongkok di Asia Society, mengatakan aksi protes yang meletus adalah perwujudan kemarahan warga yang paling umum dan tersebar luas terhadap kebijakan pemerintah dalam satu dekade kekuasaan Xi. (hui)

FOKUS DUNIA

NEWS