Osamu Minoru
Kendo, adalah olahraga nasional Jepang, dengan tingkat penyebaran yang sangat luas di dalam negeri. Walaupun belum dijadikan sebagai salah satu cabang olahraga resmi yang dipertandingkan dalam Olimpiade, namun sudah sejak lama Kendo menjadi tren di seluruh dunia.
Akan tetapi, di bawah dorongan budaya olahraga modern, pada saat menyaksikan pertandingan Kendo, yang diamati oleh mayoritas penonton hanyalah faktor eksternal seperti kemampuan fisik, performa, teknik sang atlet, dan menang kalahnya saja, acap kali mengabaikan bahkan melupakan inti spiritual dari Kendo.
Contohnya, dalam Kendo ditetapkan: Pemenang pertandingan tidak boleh menyampaikan kegembiraannya atas kemenangannya dengan sikap tangan mengepalkan tinju, jika tidak akan didiskualifikasi. Karena, gerak tangan tersebut tidak hanya berarti tidak menghormati lawan dalam pertandingan dan sikap kurang sopan, terlebih juga melanggar semangat tradisional dalam Kendo, ini bertentangan dengan prinsip yang dianjurkan oleh seni bela diri tersebut.
Asal Muasal Kendo
Kendo walaupun disebut sebagai ilmu Jalan Pedang, sejatinya adalah ilmu golok, yakni teknik penggunaan Katana Jepang.

Katana yang paling awal muncul adalah pada masa akhir periode Heian Jidai (794~1185 Masehi), ciri khasnya adalah: Dibuat dengan teknik peleburan yang kental berkharakter Jepang, sisi tajam tunggal, melengkung, dan sangat tajam.
Kegunaan Katana Jepang, pertama untuk membela diri, kedua untuk bertarung, dan ketiga adalah untuk kultivasi diri. Selain itu, Katana juga merupakan simbol bagi kekuasaan kaisar dan kaum samurai. Bahkan sebagai objek kepercayaan, sekaligus juga memiliki nilai keindahan seni yang tinggi, oleh sebab itu banyak Katana terkenal yang menjadi pusaka nasional Jepang.

Sejak masa pemerintahan Ashikaga Shogunate (1392~1573), seluruh negeri dilanda kerusuhan, pertempuran terjadi dimana-mana. Dalam kondisi seperti ini, teknik penempaan golok mengalami kemajuan yang sangat pesat, berbagai teknik pedang dan ilmu bela diri pun bermunculan, sehingga terbentuklah berbagai aliran perguruan seperti “Shinkage-ryū”, “Ittō-ryū” dan lain sebagainya.
Hingga masa pemerintahan Edo atau Tokugawa (1603~1868), seluruh negeri damai, perang nyata dengan pedang pun semakin berkurang. Oleh sebab itu, ilmu pedang menjadi salah satu cara berkultivasi diri bagi para samurai, mereka tidak hanya memperdalam ilmu pedang, namun lebih mendalami metode kultivasi mentalnya.
Sejak saat itulah muncul buku “Heihō Kadensho” (A Hereditary Book on the Art of War) karya Yagyū Munenori, Fudochi Shinmyo Roku karya Takuan Soho, “Go Rin no Sho” (The Book of Five Rings) karya Miyamoto Musashi, dan lain sebagainya, yang hingga kini menjadi mustika teori Kendo. Maksud dan tujuan buku-buku tersebut adalah agar para samurai memahami: Sebagai seorang samurai, harus ketat berkultivasi diri, rajin berlatih ilmu bela diri, mengasah kemampuan, bisa membedakan baik buruk, dan pada saat dibutuhkan bersedia berkorban demi negara. Pemikiran ini terbentuk secara bertahap di masa damai selama dua abad lebih, dan dipandang sebagai salah satu sumber spiritual samurai, yang kemudian menimbulkan pengaruh yang amat mendalam terhadap budaya Jepang.

Di masa ini, ilmu pedang juga beralih dari yang dulunya praktis digunakan dalam pertempuran bertransformasi menjadi keterampilan yang luar biasa, dalam proses ini, aliran “Kashima Shinden Jikishinkage-ryū” telah memainkan fungsi mendirikan pondasi.
Untuk dapat mempelajari ilmu pedang, sekaligus dapat membela diri, pada masa Raja Nakamikado (1711~1715), Naganuma Shiro menciptakan peralatan untuk berlatih Kendo guna pertahanan diri, dan telah menetapkan peraturan baru menggunakan golok bambu menggantikan golok asli dalam pertarungan.
Setelah itu, pada masa Kaisar Momozono (1751~1764), Shitake Nakanishi dari Nakanishi Dojo aliran “Ittō-ryū” kembali melakukan perubahan dan penerapan lebih lanjut, membuat metode ini meluas ke banyak aliran lain, dan mulai melakukan pertandingan lintas aliran. Hingga masa akhir periode Edo Jepang, Kendo semakin mendekati sempurna.

Setelah Restorasi Meiji (1868), Kasta Samurai dihapuskan, dan juga rakyat jelata dilarang memiliki Katana, ilmu Kendo pun ikut meredup karenanya. Tahun ke-10 Restorasi Meiji (1877), dengan dikepalai oleh Biro Kepolisian, ilmu Kendo dibangkitkan kembali.
Tahun ke-28 Restorasi Meiji (1895) berdirilah Dai Nippon Butoku Kai sebagai organisasi nasional yang bermisi membangkitkan kembali seni bela diri tradisional Jepang termasuk ilmu pedang dan lain sebagainya, yang cukup kuat dalam mendorong kebangkitan Kendo.
Di era Taisho (1912), kata Kendo mulai digunakan, peraturan Kendo ditetapkan dalam “Dai Nippon Teikoku Kendo Kata”, yang meliputi etika, sorot mata, postur tubuh, pernafasan, “Zanshin”, dan berbagai metode kultivasi lainnya, dengan dasar menggabungkan semua aliran, didoronglah penyebaran Kendo dengan katana bambu.
Pasca PD-II, Jepang yang waktu itu di bawah kekuasaan pasukan PBB, Kendo mengalami tekanan, hingga tahun ke-27 kekaisaran Showa (1952) setelah Jepang memulihkan kemerdekaannya, Kendo baru sepenuhnya dibangkitkan kembali, All Japan Kendo Federation pun lahir pada masa itu.
Pelajaran Wajib Kepolisian dan Sistem Dan Dalam Kendo
Sejak zaman Meiji, Kendo sama seperti halnya Judo, telah menjadi pelajaran bela diri wajib bagi kepolisian, dan di setiap kantor polisi terdapat sebuah Dojo, selain digunakan oleh polisi juga dibuka untuk umum sebagai kelas Kendo bagi kawula muda. Di antara para atlet Kendo yang terjun dalam pertandingan nasional di Jepang maupun kejuaraan dunia, mayoritasnya adalah polisi.
Pada bulan ke-12 tahun ke-18 era Heisei (2006), Jepang telah merevisi undang-undang pendidikannya, dengan tujuan agar para pelajar menghormati kebudayaan dan tradisi, cinta negara, dan menghormati orang lain, serta memberikan kontribusi bagi perkembangan perdamaian dunia.

Pada bulan ke-3 tahun ke-20 era Heisei (2008), pedoman belajar sekolah menengah yang telah direvisi menetapkan: mata pelajaran olahraga untuk siswa tahun pertama dan kedua, ilmu seni bela diri adalah pelajaran wajib. Tahun ke-24 era Heisei (2012) mulai resmi diberlakukan. Ilmu bela dirinya meliputi Judo, Kendo, Sumo, Kyūdō, Karate dan lain-lain. Diantaranya, sekolah yang memilih Judo dan Kendo mencapai 90% dari keseluruhan. Karena pengaruh ini, kalangan warga, perusahaan, perguruan tinggi di Jepang banyak sekali yang mempelajari Kendo. Di tengah organisasi masyarakat pun, kekuatan Kendo yang terbesar adalah kepolisian, tentara, dan sipir penjara.
Dewasa ini, tingkatan dalam Kendo, terbagi menjadi Kyu dan Dan, terdapat enam tingkatan dalam Kyu, berawal dari Kyu enam yang paling rendah, dan Kyu satu yang paling tinggi. Sedangkan Dan terbagi menjadi delapan tingkatan.
Tadinya terdapat Dan Sembilan dan Dan Sepuluh, tapi sejak 1974 Dan Sepuluh mengalami kekosongan, dan setelah 2000 dihentikan penilaiannya, sebenarnya telah dihapuskan. Dan Sembilan juga tidak dinilai lagi sejak 2000.
Oleh sebab itu, tingkatan Dan tertinggi sekarang adalah Dan Delapan. Kyu merupakan tahapan di bawah Dan, hanya pemegang tingkat Kyu satu yang bisa memperoleh Dan tingkat awal, begitu seterusnya. Dan Delapan yang tertinggi, dituntut untuk memahami makna mendalam dari Kendo, penguasaan seni dan teknik, serta harus telah menyandang tingkatan Dan Tujuh selama 10 tahun ke atas, dan usianya harus sudah di atas 46 tahun.
Selain tingkatan Dan, ada pula gelar atau Shōgō. Tingkatan Dan menandakan tingkat kemampuan Kendo seseorang, sedangkan Shogo melambangkan wawasan dan kepemimpinan yang bersangkutan. Gelar tersebut terbagi atas tiga tingkatan yakni “Renshi” (Instructor), “Kyoshi” (Teacher), dan “Hanshi” (Master), “Renshi” adalah tingkatan awal, “Kyoshi” adalah tingkat menengah, dan “Hanshi” adalah tingkat tertinggi. Tuntutan bagi “Renshi” adalah harus mencapai kriteria Dan 6 atau Dan 7, memahami prinsip katana, serta memiliki pengetahuan Kendo yang baik.
Tuntutan bagi “Kyoshi” adalah harus mencapai kriteria Dan 7 atau Dan 8, menguasai prinsip ilmu golok, serta pengetahuan Kendo yang tinggi. Tuntutan bagi “Hanshi” adalah harus mencapai kriteria Dan 8 dan menjiwai prinsip pedang, keahlian yang mapan, pengetahuan Kendo yang tinggi, bermoral tinggi, serta berkepribadian mulia. Tingkatan dalam Dan maupun Shōgō diberikan dengan berdasarkan prosedur evaluasi, rekomendasi, dan tinjauan.
“Prinsip Kedewasaan” dan “Zanshin”
Apa yang dimaksud dengan Kendo, All Japan Kendo Federation mendefinisikan sebagai berikut: “Kendo, adalah prinsip jurus pedang yang mengilhami para samurai lewat perang nyata, mempelajari Kendo adalah berarti mempelajari prinsip pedang.”
Dengan kata lain, esensi dari Kendo adalah mempelajari semangat dan kultivasi yang mendalam dari jurus pedang, dan latihan jurus pedang yang ketat adalah salah satu caranya. Ini juga sebabnya Kendo disebut pula sebagai “prinsip kedewasaan”.
Pada 1975, All Japan Kendo Federation mengeluarkan “Ide Kendo” dan “Persiapan Mental Berkultivasi Kendo”, dengan menetapkan Ide Kendo sebagai “Kendo adalah jalan menuju kedewasaan yang dikultivasikan lewat jurus pedang”.
Persiapan mental berkultivasi Kendo adalah: “Belajar Kendo dengan benar, mengasah jiwa dan raga, memupuk stamina yang kuat, lewat berkultivasi Kendo, rajin kultivasi diri menghormati etika, mementingkan kepercayaan, kesetiaan, dan kejujuran, cinta negara dan masyarakat, berkontribusi secara luas untuk menciptakan perdamaian dan kemakmuran umat manusia.”
Jurus dalam Kendo, terbagi menjadi jurus tubuh, jurus pedang, dan kultivasi jiwa, jika dibandingkan dengan wujud pada tubuh dan teknik, kultivasi jiwa pada tingkat spiritual bahkan lebih penting dan ketat, “Zanshin” adalah salah satu jenis manifestasinya.
Berdasarkan penjelasan pada “Kamus Bahasa Nasional Jepang”, makna kata “Zanshin” adalah niat hati terhadap sesuatu hal yang belum tercapai, aplikasinya pada Budō (seni bela diri) dan prinsip seni, adalah harus mencapai semacam kondisi jiwa dan raga yang selalu waspada.
Manifestasi yang nyata pada Kendo adalah: Usai pertandingan, apapun hasilnya, seorang atlet harus selalu menjaga diri agar tidak kendur, tidak takut, tidak sombong, tidak sesumbar dan sebagainya. Harus menghormati lawan, selalu tidak melupakan untuk saling membantu. Tidak peduli tinggi rendah ilmu dan pengalaman lawan, harus selalu diperlakukan dengan tulus, dan diharapkan dapat mempelajari kelebihan lawan, demi meningkatkan diri. Konsep ini menuntut seorang kultivator Kendo juga menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Seorang Kendoka terkenal, yakni seorang polisi prefektur Kanagawa yang bernama Masahiro Miyazaki, adalah seorang Kyoshi Kendo Dan 8, ia pernah 6 kali meraih juara pertama dalam pertandingan nasional Kendo Jepang, juga pernah meraih belasan gelar juara perorangan maupun berkelompok dalam ajang dunia Kendo, ia disebut-sebut sebagai seorang Kendoka legendaris yang tiada tandingannya.
Saat ditanya yang menyebabkan dirinya bisa mencapai tingkatan itu, ia menjawab: Meraih kemenangan, adalah hasil dari kemampuan diri sendiri, bersama dengan para pendukung, guru, para tetua, dan orang-orang di sekitar kita. Ia juga mengatakan, dibandingkan dengan meraih juara 6 kali, ia merasa lebih terhormat pada saat bisa masuk ke babak final selama 5 tahun berturut-turut. Taraf mentalitas seperti ini, mungkin merupakan refleksi dari kultivasi hati dalam Kendo.
Dalam seni bela diri atau Budō seperti Kendo, Judo, Karate, dan lain-lain, seusai adu jurus atau peragaan teknik, harus selalu menjaga sikap tubuh dan kondisi mental tertentu, bersiaga menghadapi serangan balasan lawan juga bersiap melakukan serangan lebih lanjut, dan menyisakan kesannya. Ini juga merupakan bagian yang penting dari “Zanshin”.
Oleh sebab itu, dalam pertandingan Kendo, ada atau tidaknya “Zanshin”, juga sangat menentukan suatu standard efektif atau tidaknya serangan. Contohnya, walaupun secara tepat menghantam lawan, jika terlihat tidak memiliki “Zanshin”, maka serangan itu dapat dianggap tidak sah. Karena, telah kehilangan sikap tubuh dan mental yang paling fundamental dan paling penting dalam Kendo.
Syair pada lagu dari Kendo yang terkenal itu “bunga yang dipetik berada dalam genggaman namun janganlah lengah, dengan siaga menghadapi kedatangan angin ribut” adalah mengingatkan: Jangan pernah melupakan Zanshin.
Sejatinya, “Zanshin” tidak hanya terlihat dalam pertandingan, terlebih lagi juga terlihat pada keseluruhan proses dimulai dari sebelum bertanding, sedang bertanding, dan pasca bertanding.
Seperti pada Kyūdō (seni panahan), sebelum panah diluncurkan, saat diluncurkan, dan setelah diluncurkan, harus selalu mempertahankan “Zanshin” sesuai aturan. Khususnya setelah panah dilepaskan, pemanah harus tetap menjaga hati dan tubuhnya tidak bergerak, seluruh perhatiannya terfokus, serta mengamati titik tertancapnya anak panah.
Menariknya adalah dalam Sadō (upacara minum teh) juga ditekankan “Zanshin”, nyanyian Tao karya Sen no Rikyū yang cukup dikenal itu menyebutkan: “Di saat tangan melepaskan peralatan teh, harus ada sisa gerakan. Lembut, perlahan, ringan, stabil dan bulat, seakan-akan berpisah dengan sang kekasih.” (Kumpulan syair Rikyu Hyakushu)
Ini adalah semacam interpretasi terhadap tingkatan “Zanshin” dalam Sadō. Dalam Sadō juga ditekankan “Zanshin” harus dilakukan dari awal hingga akhir, serta mengutamakan spirit dalam batin.
Selain itu, dalam dunia seni tari Jepang juga ditekankan “Zanshin”, tampak pada gerakan tubuh, yakni gerakan tangan dan kaki dalam tarian harus ada pesona, meninggalkan kesan yang mendalam. Sebenarnya konsep “Zanshin” yang sarat akan nuansa Zen ini, terdapat di seluruh aspek budaya Jepang, merupakan semacam manifestasi pikiran estetika tradisional Jepang.
Sekian dan terima kasih atas perhatiannya! Sampai jumpa dengan tema lainnya. (Sud/Whs)