Fu Yao
Beberapa tahun terakhir ini pergerakan lempeng tektonik menjadi semakin aktif. Khususnya pada 15 Januari 2022 lalu, negara kepulauan Tonga di selatan Samudera Pasifik mengalami letusan gunung berapi bawah laut, membuat seluruh dunia menyaksikan kedahsyatan letusan gunung berapi super hebat. Badan antariksa AS menyatakan, kekuatannya setara dengan 650 buah bom atom Hiroshima. Gunung berapi Tonga tidak hanya telah menimbulkan awan jamur raksasa di langit, juga menimbulkan tsunami di Samudera Pasifik.
Sebenarnya, beberapa tahun terakhir ini media massa pernah memberitakan munculnya kondisi pergerakan aneh pada gunung berapi Fuji di Jepang, dan Kaldera Yellowstone di AS, keduanya sepertinya sedang memendam letusan yang mengejutkan. Apakah kedua gunung berapi ini akan meletus? Apa akibat yang akan ditimbulkannya?
Ada Apakah Di Bawah Lapisan Permukaan?
Sebelum berbicara soal penyebab munculnya gunung berapi, mari kita pahami lebih dulu struktur bumi kita ini. Menurut pemahaman ilmu pengetahuan modern, bumi terutama terdiri dari sejumlah lapisan, dan lapisan yang paling luar adalah kerak bumi, nah, dataran dan samudera yang kita ketahui berada di atas lapisan ini. Kerak bumi juga bukan selempeng kerak luar yang utuh, melainkan terdiri dari susunan banyak lempeng tektonik, seperti: Lempeng Eurasia, Lempeng Amerika Utara, Lempeng Pasifik dan lain sebagainya, masih ada banyak lagi lempeng kecil dan lempeng mikro. Sedangkan antara lempeng-lempeng ini selalu terjadi pegerakan yang saling mendekat atau saling menjauhkan.
Lapisan di bawah kerak bumi disebut mantel bumi. Sementara itu, lapisan atas mantel bumi terutama terdiri dari bebatuan cadas, sedikit ke bawah adalah astenosfer, di dalamnya mengalir magma, karena suhu di dekat inti bumi semakin tinggi, maka bebatuan itu akan dilumerkan menjadi bentuk cairan. Sedangkan di bawah lapisan mantel, terdapat lagi lapisan batu cadas. Karena walaupun semakin mendekati inti bumi suhu semakin tinggi, tetapi tekanan juga semakin besar, oleh karena itu bebatuan pun kembali menjadi padat.
Lebih ke dalam lagi adalah pusat atau inti bumi. Lewat transmisi gelombang gempa manusia memperkirakan, inti luar berada pada kondisi cair, komposisi utamanya adalah logam seperti besi, nikel dan jenis logam lainnya, inilah yang menyebabkan adanya medan magnet pada bumi, yang melindungi mahluk hidup pada permukaan bumi. Sementara inti dalam diperkirakan besar kemungkinan adalah besi padat. Harus disebut pula, pemahaman terhadap bumi seperti ini berasal dari ilmu fisika, seismologi, dan sejumlah bukti yang didapat dari meteorit langit, penalaran atas dasar ini, struktur bumi yang sesungguhnya, belum pernah ada orang yang menyaksikannya, karena kegiatan pengeboran manusia di bumi saat ini, bahkan belum mampu menembus lapisan kerak bumi. Ada pula yang mengatakan bahwa inti bumi sebenarnya berongga, apakah ini hanya sekedar legenda urban, atau fakta yang ditutupi?
Bagaimanakah Terbentuknya Gunung Berapi?
Ilmuwan menyatakan, ada banyak penyebab terbentuknya gunung berapi.
Pertama, gerakan lempeng yang saling menjauh, bagian lapisan kerak bumi menjadi tipis, sehingga magma bisa menyembur keluar membentuk gunung api lewat bagian yang tipis ini, contoh yang paling tipikal adalah gunung berapi yang terbentuk di tengah samudera, yang disebut “punggungan tengah samudera”. Islandia yang merupakan salah satu dari lima negara Nordik, sebenarnya terbentuk dari tumpukan materi mantel atas yang meluap dari retakan punggungan tengah Samudera Atlantik, dan tergolong sebagai pulau vulkanik. Di Islandia masih terdapat banyak gunung berapi aktif, yang sekali waktu mengalami letusan kecil, seolah mengingatkan pada manusia tentang eksistensinya.
Jenis kedua adalah disebabkan oleh pergerakan saling berlawanan antara lempeng samudera dan lempeng benua. Pada umumnya lempeng samudera letaknya lebih rendah daripada lempeng benua, dengan demikian lempeng samudera akan menerobos masuk ke lempeng benua. Bebatuan pada lempeng samudera dilelehkan kembali oleh magma di bawah lempeng benua, menimbulkan uap air bertekanan tinggi, dengan demikian tekanan magma menjadi besar, setelah menemukan lubang terobosan pada lempeng benua, maka terbentuklah pulau vulkanik. Gunung Fuji di Jepang adalah salah satu contohnya.
Jenis ketiga adalah gunung berapi hot spot (titik panas), yaitu sejumlah gunung berapi tidak berada pada sambungan dua lempengan, seperti Kaldera Yellowstone di AS, juga Kepulauan Hawaii. Para ahli vulkanologi gunung berapi ini berada di atas “titik panas”. Mekanisme aksi dari titik panas belum diketahui sampai sekarang, namun ilmuwan pada umumnya menganggap titik panas ditimbulkan oleh “pilar panas” yang naik dari bagian bawah mantel. Ketika lempeng terjadi pergerakan horizontal di atas titik panas, karena pergerakan tersebut, sementara “titik panas” tidak bergerak, tetapi membentuk serangkaian gunung berapi. Setelah efek semacam itu terjadi terus menerus, dapat menimbulkan serangkaian gunung berapi, dan gunung berapi yang letaknya semakin jauh dari titik panas usia terbentuknya juga semakin tua.
Akibat Letusan Gunung Berapi
Seperti halnya gempa yang mempunyai tingkat kekuatan berbeda, letusan gunung berapi juga memiliki indeks tingkat kekuatannya, yang disebut VEI (Volcanic Explosivity Index). Kriteria pengukurannya berdasarkan material yang disemburkan dari gunung berapi. Setiap naik 1 angka indeks berarti kekuatan letusan gunung berapi naik 10 kali lipat.
Skala 0 sampai 4, dianggap tingkat ringan. Mulai dari skala 5, tingkat kerusakannya melonjak setingkat demi setingkat. Misalnya skala 5, material erupsi gunung berapi mencapai 1 km3, yakni material erupsi memiliki volume 1.000 meter panjang, lebar, dan tingginya. Kisah tragis Kota Pompeii yang dibangun pada 600 SM, berada di tepian Sungai Sarno di Italia. Pada 79 Masehi, Gunung Vesuvius meletus, abu vulkanik menenggelamkan kota Pompeii dalam tempo semalam. Kemudian masyarakat menemukan, abu vulkanik yang menyelimuti kota Pompeii mencapai hampir 7 meter kedalamannya. Padahal indeks VEI meletusnya Gunung Vesuvius pada waktu itu adalah skala 5. Pada zaman modern ini, pernah juga terjadi letusan gunung berapi berskala 5. Pada 18 Mei 1980, Gunung Saint Helens di Skamania Negara Bagian Washington mendadak meletus, longsor berskala besar yang diakibatkan oleh letusan gunung itu menyebabkan gunung tersebut yang sebelum meletus tingginya mencapai 2.950 meter telah menyusut menjadi hanya 2.550 meter, serta membentuk kawah berbentuk tapal kuda dengan lebar 1,5 km dan kedalaman 125 meter. Jadilah gunung yang hanya meletus satu-satunya itu telah menyebabkan kematian terbanyak dalam sejarah AS, dan kerugian ekonomi yang paling parah.
Letusan gunung berapi skala 6 VEI, material erupsi gunung berapi mencapai 10 km3. Yang paling representatif adalah letusan Gunung Huaynaputina di Peru pada 1600. Itu adalah letusan gunung berapi terbesar sepanjang sejarah Amerika Selatan, yang berlangsung selama 10 hari, dan menimbulkan dampak teramat besar bagi seluruh dunia. Menurut pengukuran lingkar pohon, letusan tersebut menyebabkan suhu udara pada 1601 menjadi luar biasa dingin. Di Rusia terjadi kelaparan paling parah antara 1601 – 1603, sekitar sepertiga penduduknya meninggal akibat kelaparan. Masa panen minuman anggur di Prancis pun menjadi panjang, industri minuman anggur di Jerman dan Peru pun hancur. Sementara dalam catatan sejarah Tiongkok, juga disebutkan fenomena terlambatnya bunga persik mekar.
Lalu mengapa letusan gunung berapi berukuran besar dapat menyebabkan cuaca menjadi dingin? Karena pada saat gunung berapi meletus, ia menyemburkan gas vulkanik dalam jumlah besar, yang mengandung sulfur dioksida.
Jika sulfur dioksida masuk ke dalam lapisan Troposfer di atmosfer bumi, maka di udara akan terbentuk hujan asam, akhirnya turun ke tanah, ini sangat berbahaya bagi manusia. Tapi yang lebih berbahaya lagi adalah jika sulfur dioksida itu masuk ke lapisan Stratosfer. Menurut ilmuwan, sulfida dapat membentuk aerosol pada Stratosfer, serta menetap disana selama 1 hingga 3 tahun. Aerosol ini dapat memantulkan sinar matahari dalam intensitas besar, sehingga menyebabkan suhu udara di bumi menurun.
Sementara semakin tinggi indeks VEI, kekuatan gunung berapi semakin besar, material erupsi semakin banyak, dan aerosol yang terbentuk di Stratosfer semakin tebal, maka dampak menurunnya suhu udara di seluruh dunia juga akan semakin drastis. Contohnya di saat terjadinya ledakan gunung berapi Tambora yang berskala terbesar dalam sejarah umat manusia di Indonesia pada 1815, menyemburkan material lebih dari 100 milyar kubik meter, dengan indeks VEI mencapai skala 7. Ledakan tersebut menyebabkan iklim seluruh dunia menjadi tidak normal, bahkan juga berpengaruh terhadap iklim di Amerika Utara dan Eropa, tahun 1816 pun menjadi “tahun tanpa musim panas”. Panen pertanian di belahan bumi utara menurun drastis, hewan ternak banyak yang mati, menyebabkan wabah kelaparan terparah pada abad ke-19, di Tiongkok juga mengalami wabah kelaparan yang parah di wilayah Yunnan pada masa Dinasti Qing, sejarah menyebutnya wabah kelaparan Jiaqing Yunnan.
Seandainya jika terjadi letusan gunung berapi dengan VEI skala 8, maka kemungkinan bumi akan memasuki zaman es, dan seluruh umat manusia akan berada di ambang kepunahan. Ada pakar yang memperkirakan, pada 75.000 SM di Indonesia telah terjadi ledakan gunung berapi Toba dengan VEI skala 8, menyebabkan populasi dunia menyusut dalam skala besar, dan hanya tersisa sekitar 10.000 orang saja.
Sebenarnya, letusan gunung berapi tidak hanya akan menyebabkan suhu bumi menjadi dingin, juga mungkin mengakibatkan suhu bumi menjadi panas. Karena pada saat gunung berapi meletus, magma dalam jumlah besar yang disemburkan akan melepaskan karbon dioksida yang sangat banyak, jika karbon dioksida tersebut tidak dapat diserap atau dikeluarkan, maka akan menimbulkan efek rumah kaca yang sangat serius.
Apa yang akan terjadi jika Vulkano Yellowstone meletus?
Saat ini Vulkano Yellowstone dianggap sebagai satu-satunya gunung berapi super yang aktif, yaitu gunung berapi yang mampu menimbulkan letusan dalam skala besar.
Sepanjang sejarah Vulkano Yellowstone pernah meletus 3 kali. Terbentuknya lokasi Taman Nasional Yellowstone AS adalah dari tiga kali letusan gunung berapi berskala besar itu. Vulkano Yellowstone pertama kali meletus adalah pada 640.000 tahun silam, dengan VEI skala 8, yang telah membentuk kaldera Yellowstone yang ada sekarang di Taman Nasional Yellowstone, semburan abu vulkaniknya sampai mencapai Teluk Meksiko.
Beberapa tahun terakhir kondisi geologi di kawasan tersebut mengalami perubahan yang sangat intens, ini meliputi gempa, permukaan bumi terangkat, permukaan air naik dan turun tidak normal, dan lain sebagainya serta semuanya itu menarik perhatian kalangan ilmu pengetahuan seluruh dunia. Pakar memperkirakan jika Yellowstone kembali meletus, kekuatannya akan mencapai 2.500 kali lipat dibandingkan dengan letusan gunung berapi Saint Helens pada 1980. Apa akibat yang akan ditimbulkannya? Kalangan ilmu pengetahuan telah membuat simulasi bahwa iklim bumi akan menjadi dingin.
Pertama, abu vulkanik akan menutupi ¾ dari seluruh wilayah AS, abu vulkanik akan memicu hujan lebat, terjadi banjir bandang dan longsor, yang menimpa perumahan warga, serta abu vulkanik dapat menyebabkan instalasi listrik menjadi abnormal, komunikasi dan transportasi akan lumpuh. Mayoritas orang akan menghirup gas beracun, atau meminum air serta makanan yang tercemar, dan tewas. Kemudian, aerosol akibat gas sulfida dalam jumlah besar akan menyelimuti seluruh dunia dalam tempo 2 minggu, yang menyebabkan suhu udara di bumi turun 12-15 0 C. Di sekitar khatulistiwa mungkin akan mengalami 2-3 tahun turun salju. Mayotias umat manusia dan flora fauna akan punah akibat kedinginan dan kelaparan.
Walaupun kalangan ilmiah menyatakan, tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan Yellowstone akan meletus dalam beberapa tahun mendatang, sehingga semua orang agak bernafas lega, namun kalangan ilmuwan juga menyatakan, pada saat ini manusia belum mampu memprediksi kapan Vulkano Yellowstone akan meletus kembali, dan sampai saat ini tidak ada teknologi yang mampu mencegah meletusnya Yellowstone.
Sampai disini sungguh sangat miris. Seiring dengan perkembangan teknologi, hati manusia kian hari kian pongah, banyak orang memperlakukan segala sesuatunya dengan sikap mental “manusia pasti akan mengalahkan Tuhan”, mereka berpendapat manusia adalah penguasa alam semesta, bahkan sesumbar memainkan peran sebagai Sang Pencipta. Akan tetapi, Tuhan hanya perlu menyalakan sumbu penyulut Yellowstone, maka sejarah umat manusia akan dengan mudah dihapusnya. Seperti kota Pompeii yang kita kemukakan pada awal artikel, waktu itu kota tersebut sangat makmur, masyarakat Pompeii merasa manusia adalah seonggok materi yang tidak berjiwa, harus selalu bersenang- senang. Maka manusia pun melewati kehidupan yang mengumbar nafsu dan kesenangan. Seperti karena merasa belut laut yang telah makan daging manusia rasanya sangat lezat, maka budak pun dibunuh untuk diumpankan kepada belut laut. Di seluruh kota terdapat lukisan graffiti yang bertema pornografi dan kecabulan, lokalisasi pun bisa ditemui dimana-mana. Masyarakat Pompeii menyaksikan pertarungan manusia melawan hewan buas di Colosseum, dan sama sekali tidak mrmpunyai rasa kasihan. Mereka mungkin merasa kehidupan akan terus berlanjut seperti itu, akibatnya suatu ledakan gunung api dengan VEI skala 5 pun mengakhiri segalanya…
Menilik kembali sejarah manusia pada saat terjadi bencana destruktif seperti itu, tidak sulit untuk menemukan bahwa di hadapan alam semesta umat manusia sama sekali tidak berdaya apa-apa, sebenarnya setiap hari dalam kehidupan kita adalah karunia dari Tuhan kepada kita, satu-satunya cara adalah dengan menghargai dan mensyukurinya, agar kita dapat melangkah lebih jauh lagi. (sud)