OSAMU MINORU
Jepang adalah sebuah negara yang sangat menjunjung tradisi dan tata krama. Masyarakat Jepang sering kali menggunakan “kankonsōsai” untuk menjelaskan empat peristiwa besar dalam kehidupan yakni: Ritual kedewasaan, ritual pernikahan, ritual pemakaman, dan ritual sembahyang leluhur. “Kankonsōsai” merupakan ritual yang harus dilalui oleh mayoritas orang Jepang dalam kehidupannya, setiap orang harus menaati peraturan dan tata krama. Selain itu, Jepang masih memiliki banyak adat istiadat dan etiket tradisional lainnya, yang juga harus dipatuhi, seperti tradisi “Shichi-Go-San” (7-5-3, red.).
Asal Muasal “Shichi-Go-San”
Menurut tradisi Jepang, anak laki-laki di saat berusia non-riil (ditambahkan 1 tahun dari usia riil) 3 dan 5 tahun, dan anak perempuan saat berusia non-riil 5 dan 7 tahun, harus mengunjungi kuil untuk berdoa, berterima kasih kepada Tuhan yang telah melindungi mereka bertumbuh dengan sehat, dan berdoa memohon kebahagiaan serta umur panjang di masa mendatang. Inilah ritual pertama yang harus dijalani orang Jepang dalam kehidupannya, juga merupakan etiket paling penting dalam masa pertumbuhan seorang anak. Karena ritual dijalani pada saat anak berusia 3, 5, dan 7 tahun, maka disebutlah dengan istilah “Shichi-Go-San” (angka 7, 5, 3, dalam bahasa Jepang, red.).
Hari perayaan “Shichi-Go-San” tadinya dilangsungkan pada setiap tanggal 15 bulan 11, tapi sekarang sudah tidak lagi dibatasi tanggalnya, begitu memasuki bulan 11, akan terlihat banyak orang tua membawa anak- anak yang mengenakan kimono, pergi ke kuil untuk bersembahyang.
Hari “Shichi- Go-San” tadinya dirayakan setiap tanggal 15 bulan 11 menurut kalender Rokuyō (Imlek) Jepang, namun sejak reformasi kalender pada era Meiji, kebiasaan lama diteruskan, namun dialihkan menjadi tanggal 15 bulan 11 menurut kalender Masehi.
Zaman dulu, ditetapkannya hari itu untuk ritual ini, adalah karena pada tanggal 15 kalender Rokuyō merupakan hari hantu dalam 28 hari pada sistem konstelasi tradisional, hantu tidak akan muncul, segala hal akan dipenuhi berkah. Selain itu, bulan 11 (menurut kalender Imlek) merupakan bulan bersyukur kepada Tuhan setelah musim gugur, maka memanfaatkan saat bulan purnama pada tanggal 15 (menurut kalender Imlek), di satu sisi berterima kasih pada Tuhan atas panen raya, di sisi lain juga berterima kasih kepada Tuhan karena telah melindungi anak-anak bertumbuh dengan sehat.
Mengenai asal-usul tradisi ini, terdapat banyak versi berbeda, tapi pada umumnya dikatakan berawal dari periode Heian. Waktu itu, ritual ini hanya dilakukan oleh keluarga kerajaan dan Kuge (kalangan bangsawan), tetapi seiring dengan perubahan zaman, tradisi ini pun meluas hingga ke kalangan kesatria atau Bushi. Setelah periode Edo, seiring dengan meningkatnya status kalangan jelata atau Shomin, tradisi ini pun meluas hingga ke seluruh kalangan. Hingga era Taishō, seiring dengan penyebaran budaya, tradisi ini pun mulai menyebar luas ke seluruh negeri, dan secara perlahan menjadi tradisi budaya bersama bagi seluruh masyarakat Jepang.
Tiga Ritual dalam Etiket “Shichi-Go-San”
Dalam tradisi “Shichi-Go-San” tradisional, terdapat tiga ritual penting: “Kamio- ki” (memanjangkan rambut), “Hakama-gi” (memakai Hakama dan Haori), “Obitoki Hi- mo-otoshi” (memakai Kimono berikut Obi). Pada periode Heian, setelah lahir hingga berusia 3 tahun, baik anak laki-laki atau perempuan, harus dicukur habis rambutnya. Setelah melakukan tradisi “Shichi- Go-San”, anak-anak mulai memanjangkan rambut, maka disebut ritual “Kamioki”. Tata cara dalam ritual tersebut adalah: Meletakkan rambut putih yang terbuat dari kapas di atas kepala si anak, lalu menebarkan bedak putih di atas kepalanya, lalu disisir ke arah kiri dan kanan, yang memiliki makna selalu sehat dan panjang umur hingga usia lanjut.
Anak laki-laki yang telah berusia 5 tahun, harus menjalani ritual mengenakan pakaian tradisional Hakama, maka disebut upacara “Hakama-gi”. Pada tanggal 15 bulan 11, anak-anak dikenakan Hakama, lalu si anak diminta berdiri di atas papan catur, menghadap ke arah keberuntungan, yang memiliki makna menyatukan seluruh kolong langit, dan diberkati dengan segala keberuntungan.
Anak perempuan yang telah berusia 7 tahun, harus menjalani ritual mengenakan Kimono yang sama seperti orang dewasa, maka disebut upacara “Obitoki Himo-otoshi” (disebut juga upacara melepas sabuk). Disebut “melepas sabuk”, adalah melepas sabuk pada pakaian sebelumnya, berganti Kimono resmi, mengenakan Obi atau sabuk lebar seperti orang dewasa. Menurut tradisi, setelah anak perempuan mengenakan Kimono yang dibuat oleh neneknya, si anak dibiarkan memakai Obi seorang diri. Lewat ritual ini, anak itu diakui telah bertumbuh sebagai manusia yang memiliki kemampuan mandiri.
Ketika menjalankan ritual “Shichi-Go- San”, busana resmi anak laki-laki adalah mengenakan Kimono dengan Happi yang berlukiskan simbol keluarga, dan celana rok. Anak perempuan berusia 3 tahun mengenakan Hakama tanpa sabuk, anak perempuan berusia 7 tahun mengenakan Kimono yang sama seperti orang dewasa, dan memakai sabuk.
Sesuai penjelasan di atas, ritual terkait “Shichi-Go-San”, untuk anak laki-laki adalah di usia 3 dan 5 tahun, sedangkan untuk anak perempuan adalah usia 3 dan 7 tahun. Dulu, biasanya ritual diadakan pada saat usia berdasarkan penanggalan Rokuyō, tapi sekarang mayoritas berpatokan pada usia berdasarkan kalender Masehi. Saat mengadakan ritual “Shichi-Go-San”, pada umumnya akan mengundang kakek dan nenek dari pihak ibu dan ayah, serta diadakan pesta jamuan, dan dirayakan oleh seluruh anggota keluarga.
Makan Chitose Ame, Berdoa Diberi Usia Ribuan Tahun
“Chitose Ame” (permen seribu tahun, red.), adalah satu hal yang wajib ada dalam ritual “Shichi-Go-San”, juga hal yang paling disukai anak-anak pada hari itu. Umumnya usai sembahyang di kuil, atau setelah upacara ritual, permen itu akan dibagikan oleh biara atau kuil.
“Chitose Ame” berbentuk batangan, yang panjang mencapai hampir 1 meter, dengan diameter sekitar 14 milimeter, berwarna merah dan putih, atau perpaduan kedua warna. Permen seribu tahun, adalah harapan bagi anak-anak agar memiliki masa depan yang baik, berharap anak-anak berusia panjang dan ulet. Oleh sebab itu, permen seribu tahun dibuat agak lengket dan panjang. Dalam budaya Jepang, merah dan putih adalah warna keberuntungan, jadi kedua warna ini digunakan. Karena permen sangat panjang, biasanya setelah dipatahkan, akan dinikmati oleh seluruh keluarga. Pada saat mematahkan permen, seluruh keluarga akan berdoa bagi kesehatan dan umur panjang si anak.
Tentu saja, pada kemasan permen juga harus ada gambar maskot keberuntungan dan kata-kata keberuntungan. Seperti burung bangau, kura-kura, aksara usia, aksara cemara, aksara bambu, aksara plum, dan lain-lain. Bangau dan kura-kura adalah simbol panjang usia, aksara usia melambangkan panjang usia, kemakmuran, dan perayaan. Sedangkan cemara, bambu, dan plum melambangkan panjang umur, banyak anak cucu, daya hidup yang kuat, dan sifat kepribadian yang mulia.
Selain itu, “Chitose Ame” juga merupakan Kigo (frasa yang berhubungan dengan musim yang digunakan di dalam karya sastra Haiku atau tulisan, red.) untuk musim dingin, seperti Tomoji Ishizuka (1906-1986) dalam Haiku karyanya yang terkenal “permen seribu tahun, panjang dan panjang, sampai melebihi lengan baju kimono” yang secara menarik dan polos menjelaskan karakteristik budaya ini.
Di zaman sekarang, konten umum pada peringatan “Shichi-Go-San” adalah: Mengadakan ritual terkait; orang dewasa dan anak-anak mengenakan Kimono yang indah dan terhormat pergi ke biara atau kuil untuk berdoa; lalu mengambil foto keluarga sebagai kenangan; mengadakan pesta untuk menjamu kakek-nenek dan keluarga lainnya. Pada saat memberi selamat kepada anak-anak yang menjalani “Shichi-Go-San”, kakek-nenek dan kerabat akan memberikan angpao bagi anak-anak, sanak keluarga memberikan antara 5.000-10.000 yen (587.000–1.174.300 rupiah), sedangkan kakek nenek akan memberikan 10.000-30.000 yen (1.174.300–3.523.000 rupiah sesuai kurs 26/12).
Mengapa harus melakukan ritual terkait pada saat “Shichi-Go-San”? Penjelasan yang umum adalah karena ketiga angka ini dianggap sebagai angka keberuntungan dalam usia, dapat mendatangkan kebahagiaan, keberuntungan, dan panjang usia. Selain itu, ada semacam pandangan yang berpendapat bahwa hal ini mungkin ada hubungannya dengan kitab “Luoshu” (Nine Halls Diagram) dalam budaya Tiongkok. Yaitu susunan angka pada bagian tengah “Luoshu” dari barat ke timur adalah 7, 5, 3, sebagai angka Yang (dalam hal ini bermakna: positif), dan jumlahnya adalah 15.
Pada zaman dulu di Jepang ada ungkapan: “Sebelum 7 tahun adalah bocah ilahi”, yakni anak-anak sebelum berusia 7 tahun, adalah anak Tuhan. Di sini ada dua macam makna: Pertama, anak sebelum berusia 7 tahun jiwanya belum stabil, dan mudah mengalami kematian; kedua, sebelum berusia 7 tahun, anak-anak masih lincah dan polos, membawa lebih banyak unsur Ilahi bawaan. Setelah mengadakan ritual “Shichi- Go-San”, anak-anak akan berubah dari anak Tuhan menjadi anak manusia, dari anak kecil beralih menjadi remaja.
Zaman dulu setelah biara atau kuil mengadakan ritual “masuk keluarga”, maka resmi diakui sebagai anak manusia, sebagai salah satu anggota dari keluarga. Konfusius mengatakan: “Semasa hidup, setelah meninggal dan dimakamkan, semuanya dihormati serta didoakan dengan tata krama”; “puisi menginspirasi kehendak, mendorong kesadaran diri seseorang untuk mengarah ke kebajikan dan menuntut cinta kasih, mewujudkan kemandirian melalui tata krama, dan akhirnya mewujudkan pengasuhan kepribadian tertinggi di bawah pengaruh pendidikan musik (kitab “Lun Yu” atau dikenal juga “The Analects”).
“Shichi- Go-San” adalah ritual tata krama pertama yang dilalui oleh masyarakat Jepang, juga merupakan aturan dan pencerahan pertama yang bersifat sosial. Lewat ritual ini, mengajarkan pada anak-anak agar mengerti tata krama, serta menghormati etika, dan taat pada aturan, menjadi manusia yang hidup dengan memiliki tata krama.
Di Jepang, memasuki bulan ke-11, masyarakat dapat menyaksikan anak-anak yang mengenakan Kimono tradisional bertambah banyak. Melihat sikap dan perilaku mereka, terdapat kesan beda dunia, seolah dalam seketika kembali lagi ke zaman dulu di mana tradisi rakyat masih sederhana.
Sedangkan mayoritas masyarakat Tiongkok yang menyaksikan pemandangan ini, di wajah mereka akan terlihat senyum dan kekaguman, mungkin juga akan berpikir: Jika kebudayaan tradisional di Tiongkok tidak disandera dan dirusak, warga Tiongkok pasti juga mengutamakan tradisi dan menghormati aturan etika tradisional. (sud)