ZHENG ZIREN
Perayaan Imlek belum lengkap tanpa suguhan kue keranjang atau niangao. Kue ini wajib hadir saat momen Imlek tiba. Namun keberadaan kue ini memiliki sejarah yang panjang.
William C. Hu dalam bukunya Chinese New Year: Fact & Folklore mengatakan, pada awalnya kue gao (niangao) atau puding, tidak dimakan pada tahun baru. Kue ini dinikmati pada hari kesembilan bulan kesembilan penanggalan Tionghoa (lunar), bersamaan dengan munculnya tradisi yang disebut “denggao”.
Saat itu kue keranjang ini bernama chongyang. Tradisi denggao sudah ada sejak Dinasti Han (206 SM- 220 M). Kata “deng” artinya mengarang, sedangkan kata “gao” selain mengenal kata ini sebagai puding, kata ini juga dapat diartikan sebagai “mencapai hal yang lebih tinggi”. Oleh karena itu, sejak Dinasti Han, terutama saat tradisi denggao dimulai, makan puding menjadi simbol pencapaian kesuksesan karir seseorang.
Seiring dengan maraknya puding atau makanan gao di hari kesembilan bulan kesembilan, akhirnya berkembang pula berbagai jenis puding. Kue ini juga dibuat untuk perayaan tradisional Tionghoa lainnya. Salah satunya adalah jenis niangao (kue keranjang) yang digunakan untuk perayaan Tahun Baru Imlek.
Perkembangan sejarah ini kemudian divalidasi oleh sarjana Tiongkok abad ke-17, Liu Tong yang mencatat dalam tulisannya bahwa pada Hari Tahun Baru Imlek, orang memakan kue yang paling penting, kue gao (puding) yang disebut niangao. Kue ini terbuat dari beras ketan manis yang dimasak dengan cara dikukus.
Istilah kue niangao awalnya hanya digunakan di istana pada masa Dinasti Song (960-1279). Namun kemudian juga diadopsi oleh masyarakat umum.
Konsumsi kue keranjang pun kian tersebar luas karena orang menyukai arti keberuntungannya, dan mereka kemudian menyingkat namanya menjadi niangao, atau yang berarti “puding berisi harapan tinggi”. (et)