DR Xie Tian
Bagi pembaca yang mengamati situasi dan nasib berbagai negara di dunia mungkin dapat melihat, kekuatan besar dunia terjerumus dalam kemerosotan, dengan situasi dan kondisi kemerosotan yang berbeda, tetapi menyusutnya kekuatan negara, menurunnya pengaruh negara, dan turunnya tingkat kekayaan, adalah ciri yang sama dialami hampir semua negara.
AS karena dikuasai kaum sayap kiri, yang gencar mempromosikan sosialisme, pemerintahnya kerap menghamburkan uang, boros, gemar mencetak uang yang menyebabkan inflasi serius, dan utang pemerintah terus meningkat, serta kekuatan negara menyusut. Rusia terjebak dalam kubangan Perang Rusia-Ukraina, kekuatan militer konvensionalnya menyusut drastis, ditambah lagi dengan pengaruh akibat sanksi ekonomi dan iptek, pertumbuhan jangka panjang mereka akan sangat suram.
Sementara Tiongkok karena akibat kejahatan yang diperbuat oleh Partai Komunis Tiongkok (PKT), ditambah dengan kebijakan Nol Covid, serta memburuknya lingkungan dagang, tekanan di dalam negeri yang ketat dan rantai industry modal asing banyak yang hengkang keluar, menyebabkan ekonominya dalam kesulitan, jumlah penduduk juga menurun drastis, serta situasi politik bahkan semakin berbahaya. Selain AS dan RRT, negara lain pun bernasib serupa tapi tak sama.
Dalam hal ini, kemerosotan negara RRT paling tersembunyi rapi, tetapi sebenarnya adalah yang paling parah; akibatnya adalah, baik secara ekonomi, populasi, maupun sosial, mungkin membutuhkan waktu cukup lama untuk dapat diperlihatkan dengan jelas. Sementara sejumlah korban bawaan akibat kemerosotan kekuatan negara Tiongkok, mulai dari sektor pendidikan, perusahaan swasta, studi luar negeri dan kelas online, bahkan sampai kekayaan nasional yakni panda, pun ikut menjadi tumbalnya.
Contohnya ialah Komisi Pengembangan dan Reformasi Nasional (NDRC) RRT mengeluarkan “Langkah Nasional Penanganan Pertolongan”, dan mulai diberlakukan pada 1 Maret mendatang. Hari ini pada abad ke-21, negara yang menyebut dirinya “Negara beta yang lihai ini”, justru meminta “sebisa mungkin menggunakan tenaga manusia menggantikan mesin”. Warganet pun mencemooh, apakah bisa dipahami bahwa semua orang bekerja sebagai tukang memindahkan batu bata, dan apakah kendaraan proyek tidak diperlukan lagi? Harus bekerja dengan tenaga manusia penuh, seluruh rakyat Tiongkok mewujudkan kebebasan kerja secara manual?
Pada pasal ke-18 “Tindakan manajemen program kesejahteraan untuk pekerja nasional” disebutkan, “Divisi Pengembangan dan Reformasi di tingkat kabupaten harus mengarahkan pemilik usaha dan pelaksana proyek, berdasarkan tuntutan ‘sedapat mungkin menggunakan tenaga manusia tanpa menggunakan mesin, mengorganisir masyarakat setempat tanpa mengerahkan tim konstruksi profesional’, mengorganisir tenaga kerja desa di tempat proyek dilaksanakan, penduduk penghasilan rendah di desa dan kota serta kelompok pengangguran agar ikut terlibat dalam proyek pembangunan…” dan lain sebagainya.
Ini adalah suatu kemunduran masyarakat yang sangat parah, tidak menggunakan mesin tapi menggunakan tenaga manusia. Mengapa? Apakah karena menipisnya keuangan, mengatasi pengangguran, dan memperluas pembangunan infrastruktur? Atau untuk membuat warga bekerja mati-matian, sampai kelelahan, sehingga tidak lagi peduli hal lain, juga tidak lagi memikirkan kehidupan, juga tidak menentang PKT lagi, dan hidup seperti hewan ternak. Satu-satunya kelebihan dari langkah nasional itu adalah dapat “mengurangi” tingkat pengangguran di Tiongkok. Jika dibandingkan, bagaimana negara lain mengatasi masalah kelebihan tenaga kerja? Seperti misalnya di AS, dulu ada capres etnis Tionghoa bermarga Yang mengemukakan, akan membagikan “pendapatan minimum rakyat” (UBI), yaitu setiap warga AS tiap bulan diberikan USD 1000, sebagai subsidi bagi masyarakat yang mengalami kerugian akibat mesin dan otomatisasi industri telah menggantikan tenaga manusia. Tentu saja UBI dari RRT ini selamanya tidak mungkin diterapkan di AS, karena berbeda jauh dengan prinsip pemerintahan negara AS. Tetapi sebenarnya ada negara yang memberlakukan UBI, contohnya negara Iran dan Mongolia. Tapi jika dikatakan di bawah pemerintahan PKT, Tiongkok mengalami kemunduran sampai dengan sengaja tidak menggunakan mesin, dan lebih memilih sistem berladang seperti zaman dulu, bahkan tak lebih baik daripada Iran dan Mongolia, para fans Merah penggemar PKT mungkin akan merasa sangat sedih karenanya.
ooooOoooo
Satu lagi peristiwa yang menyangkut kebijakan studi di luar negeri dan studi di Tiongkok, Beijing tiba-tiba tidak lagi mengakui kualifikasi akademik kelas online luar negeri, sehingga dikecam keras oleh pelajar Tiongkok di luar negeri. Kemendikbud RRT akhir Januari lalu mengumumkan, membatalkan sertifikasi ijazah perguruan tinggi luar negeri lewat kelas online jarak jauh selama masa pandemi, dan menuntut para pelajar kembali ke sekolahnya untuk mengulang studi secara tatap muka. Peraturan baru tersebut juga tidak memberikan masa toleransi, hal ini membuat para mahasiswa mengamuk, karena tidak mungkin dalam waktu singkat mempersiapkan prosedur keluar negeri dan persiapan logistiknya. Keputusan mendadak Kemendikbud RRT itu sama seperti mencabut kebijakan pencegahan “Nol Covid”, yang membuat orang tidak sempat mempersiapkan diri, tak heran bila keluhan dan kecaman warga telah memuncak.
Mengapa ketika perguruan tinggi luar negeri bisa mempertimbangkan kondisi pelajar Tiongkok, sehingga bisa terus memberikan pelajaran online bagi para mahasiswa sebagai masa jeda karena pandemi, tetapi PKT justru membuat keputusan seperti itu? Mengapa PKT rela menghamburkan devisa memaksa pelajar bersekolah tatap muka di luar negeri, tapi tidak rela mereka mengikuti pelajaran online di dalam negeri? Ada satu penjelasan yang masuk akal, yaitu karena PKT takut informasi bebas dari luar negeri dapat menyusup dan terpenetrasi masuk ke dalam negeri Tiongkok lewat para pelajar Tiongkok yang bersekolah secara online di dalam negerinya.
Bahkan jika lebih banyak lagi perguruan tinggi AS membuka gelar sarjana online bagi pelajar di Tiongkok, tanpa harus keluar dari Tiongkok, mereka dapat belajar secara online untuk mendapatkan gelar sarjana AS, ini sama saja berarti membiarkan perguruan tinggi AS masuk bebas ke dalam wilayah Tiongkok. Ketika Beijing semakin memperketat pengendalian terhadap pendidikan di perguruan tinggi, berarti ini adalah hal yang tidak bisa diterima oleh PKT.
Mendadak Beijing tidak lagi mengakui kualifikasi akademis kelas online luar negeri, motivasi di baliknya, ada kemungkinan alasan yang sama dengan tindakan PKT ketika memukul industri pendidikan dan pelatihan pada dua tahun lalu. Industri pendidikan dan pelatihan bebas dari kendali sistem pendidikan RRT, pada saat kursus bahasa asing, konten masyarakat Barat, kebebasan, dan demokrasi ikut terbawa masuk dalam kapasitas besar, jadi hal ini tidak bisa ditolerir olh mereka.
Setelah dua tahun penumpasan, PKT menyadari dampak negatif terhadap ekonomi, sekarang PKT plin plan lagi, berharap industri pendidikan dan pelatihan dapat kembali seperti dulu, menghidupkan kembali perekonomian. Tapi walaupun industri pendidikan dan pelatihan RRT dihidupkan kembali, konten pelajaran, pelatihan, dan kursus seharusnya tidak bisa lagi bebas seperti dulu, dan akan dipenuhi dengan propaganda PKT.
ooooOoooo
Yang paling dapat menjelaskan nasib negara yang kekuatannya merosot dan situasi negara yang lemah itu, adalah panda yang merupakan kebanggaan nasional Tiongkok itu tidak lagi disukai, dan banyak negara “mengembalikannya”.
Kelanjutan dari tahun lalu setelah panda sebagai “lambang persahabatan” dikembalikan kepada Tiongkok oleh Jepang, Korea Selatan, dan Inggris, baru-baru ini AS, Finlandia, Malaysia, dan Kanada juga ramai-ramai mengembalikan panda kepada Tiongkok. Apa penyebabnya?
Ada yang menilai, tumbuhan bambu sangat sedikit di luar negeri, sedangkan panda hanya suka makan bambu, jadi biaya makan dan perawatannya sangat mahal. Tapi sebenarnya bukan itu alasannya, karena “krisis pangan” adalah faktor yang terpikirkan oleh PKT, tetapi bukan itu yang paling dikhawatirkan negara Barat.
Ada yang mengatakan hampir semua negara di dunia telah mengenali kedoknya yang sepertinya nampak lugu namun sebenarnya beringas itu, sehingga tidak lagi mau berhubungan dekat dengan PKT. Pernyataan ini cukup beralasan, tapi bukan karena panda atau kebajikan diplomatik panda yang “beringas”, melainkan karena serigala atau Diplomatik Serigala Perang yang “beringas” itu, membuat pemerintah berbagai negara dan masyarakat internasional sangat kehilangan minatnya.
Di AS ada sebuah kisah yang penulis sukai, yaitu sebuah anekdot yang juga mengkritik “teori ras kritis” (CRT), yang objeknya adalah panda. Pada sebuah foto panda yang lucu ditulis demikian: “Tolak rasisme! Saya putih, juga hitam, dan dari Asia!” Foto itu sangat lucu, membuat orang tersenyum melihatnya. Nasib panda sebagai kebanggaan nasional, baru-baru ini tiba-tiba berbalik, hal ini juga sangat disayangkan.
“Diplomatik panda”, sekarang umumnya dianggap sebagai metode diplomatik Beijing dengan memberikannya atau menyewakannya pada negara lain untuk mempererat persahabatan. Tetapi sebenarnya, Diplomatik Panda sudah ada sejak zaman Wu Zetian di masa Dinasti Tang. Dalam kitab sejarah Kerajaan Jepang, sejak masa pemerintahan Wu Zetian (685 Masehi), Ratu Wu Zetian telah memberikan dua ekor “beruang putih” dan 70 lembar kulit “beruang putih” kepada Jepang. Menurut riset seorang pakar panda Tiongkok yang bernama Hu Jinchu, yang dimaksud “beruang putih” pada masa itu, adalah yang kita sebut panda sekarang.
Pada 1941 masa pemerintahan nasionalis Tiongkok, Soong Mei-Ling dan Soong Ai-Ling (madame Chiang Kaishek dan saudarinya, red) pernah mewakili Pemerintahan Nasionalis Tiongkok memberikan sepasang panda kepada lembaga masyarakat yang didukung oleh pemerintah AS yakni “Komite Bersama Untuk Bantuan Pengungsi Tiongkok”, sebagai ungkapan terima kasih atas bantuan organisasi tersebut pada masa PD-II terhadap pengungsi asal Tiongkok. Inilah asal mula “Diplomatik Panda” di era Tiongkok modern, juga telah menciptakan pemberian politis dari “Diplomatik Panda”. Kemudian Pemerintahan Nasionalis Tiongkok juga memberikan seekor panda kepada pemerintah Inggris pada 1946. Sayangnya, panda tidak bisa mengikuti Chiang Kaishek mengungsi ke Taiwan (pada 1949), seandainya bisa, Taiwan juga merupakan habitat yang cocok bagi panda, dan pertanian Taiwan juga sangat maju, negara Taiwan jika melanjutkan diplomatik panda, sebagai candaan, kemungkinan diplomatik panda PKT tidak akan berhasil!
Setelah PKT berkuasa, sejak era 1950-an, PKT terus menempuh “diplomatik panda” dengan memberikan panda secara politis, dengan mengatas-namakan pemerintah dan rakyat memberikan hadiah berupa panda kepada negara yang menjalin hubungan baik dengan RRT atau yang Beijing harapkan bisa menjalin hubungan baik dengannya. Termasuk Amerika, Jepang, Inggris, Korea Utara, Uni Soviet, Jerman, Spanyol, dan juga Meksiko, telah menerima 24 ekor panda. Yang paling awal menerima panda dari RRT adalah bekas Uni Soviet. Kebun Binatang Miami dan Chicago pada 1950 pernah menulis surat kepada Kebun Binatang Beijing, berharap dapat membeli atau menukarkan panda dengan binatang koleksi mereka, hal itu disetujui penguasa RRT, tetapi Kemenlu AS tidak setuju. Hingga Februari 1972 setelah Nixon berkunjung ke Tiongkok, hari kedua setelah tiba di Beijing istri Nixon berkunjung ke Kebun Binatang Beijing dan melihat panda, maka terjadilah sepasang panda mendarat di Washington pada April di tahun yang sama.
Sejak 1982 Beijing berhenti memberikan panda kepada negara lain, model “Diplomatik Panda” pun berakhir, PKT memulai “Diplomatik Panda” dengan model ekonomi dan perlindungan satwa langka, sejak 1984 ketika Pesta Olimpiade Los Angeles menyewa panda, pintu sewa menyewa panda mulai dibuka. Setelah itu panda kebun binatang Tiongkok memulai perjalanan keliling dunia antara beberapa bulan hingga 1 tahun.
Sejak era 1990-an, kelompok perlindungan lingkungan hidup memboikot sewa menyewa panda, dan melobi pihak-pihak yang bersangkutan untuk menghentikan sewa menyewa yang terkait. Setelah pemerintah AS melarang sewa panda komersil, Beijing juga mengumumkan bisnis sewa dihentikan, kemudian PKT terus meraup untung dari panda, tapi dengan mengatas-namakan “mengembang-biakkan” atau “melindungi” untuk menyewa panda dari Tiongkok. Bagi pihak Tiongkok, sewa panda tidak murah, bisa mencapai USD 1 juta (15,2 miliar rupiah, kurs per 06/02.) per tahun!
Panda “dikembalikan” ke Tiongkok, sepertinya karena masyarakat internasional telah muak terhadap Diplomatik Serigala Perang ala rezim diktator PKT, karena tidak suka PKT, panda pun ikut jadi korban, dan panda tak mampu menandingi serigala jahat. Berbagai sikap buruk Beijing, membuat sikap Barat terhadap Tiongkok telah berubah, telah berdampak merusak minat orang melihat panda di kebun binatang, semakin berkurang pendapatan dari kebun binatang, uang sewa satu juta dolar setiap tahun yang dibayarkan kepada RRT tidak layak lagi.
Panda tidak disukai lagi di seluruh dunia, menjadi tumbal dari kemerosotan PKT, panda sendiri bahkan tidak menyadarinya, tapi yang paling dikhawatirkan penulis adalah, panda-panda yang telah sekian lama merantau di luar negeri, begitu kembali ke negerinya, apakah masih bisa beradaptasi di Tiongkok? “Pengembang-biakan” atau “perlindungan” satwa liar, pada dasarnya adalah urusan pemerintah Tiongkok sendiri, dan tidak seharusnya mengandalkan dana negara lain untuk “melindungi” satwa kebanggaannya sendiri. Sekarang, tanpa ada dana “Pengembang-biakan” dan “perlindungan” panda yang bernilai jutaan dolar dari luar negeri, apakah PKT masih akan rela terus melindungi panda-panda yang lucu itu? (Sud/whs)