oleh Zhang Ting
Direktur Badan Intelijen Pusat AS (CIA) William Burns mengatakan bahwa situasi perang Rusia di Ukraina selama setahun terakhir kemungkinan besar telah meningkatkan keraguan di antara pemimpin Tiongkok Xi Jinping dan pejabat tinggi militer Tiongkok tentang keberhasilan militer Tiongkok jika menginvasi Taiwan.
Dalam sebuah wawancara yang ditayangkan Minggu di CBS “Face the Nation”, Burns membahas dampak perang Rusia – Ukraina terhadap upaya invasi militer Tiongkok ke Taiwan.
“Kami menilai bahwa, paling tidak Xi Jinping dan pimpinan militernya masih meragukan tentang apakah mereka akan mampu melakukan invasi. Saya pikir keraguan itu mungkin diperkuat setelah mereka melihat apa yang telah dialami Putin di Ukraina”.
Burns percaya bahwa potensi risiko Tiongkok menggunakan kekuatan militernya untuk menyerang Taiwan dapat meningkat lebih jauh pada sepuluh tahun atau setelahnya. Oleh karena itu, Amerika Serikat perlu mempertahankan “pemantauan yang sangat, sangat teliti.”
William Burns menekankan bahwa, bahkan jika konflik militer tidak terhindarkan, AS juga perlu secara serius menanggapi ambisi Xi Jinping untuk mengendalikan Taiwan.
“Kami tahu, seperti yang telah dipublikasikan, bahwa Xi Jinping telah menginstruksikan militer Tiongkok, para pemimpin militer mereka untuk mempersiapkan diri untuk menyerang Taiwan sebelum tahun 2027, meskipun itu tidak berarti Xi memutuskan untuk menginvasi pada tahun 2027 atau tahun lainnya.”
Burns percaya bahwa sejak invasi Rusia ke Ukraina, bantuan Amerika Serikat dan Eropa ke Ukraina telah menunjukkan solidaritas Barat, hal ini tentu menjadi pertimbangan Partai Komunis Tiongkok.
Burns berkata : “Saya kira tidak ada pemimpin asing selain Xi Jinping yang lebih cermat dalam mengamati perkembangan perang dan pengalaman Putin di Ukraina. Saya pikir Xi mulai khawatir dengan banyak hal yang dilihatnya.”
“Dia (Xi Jinping) bisa terkejut dengan kinerja militer Rusia yang sangat buruk. Saya pikir dia juga terkejut dengan tingkat solidaritas dan dukungan Barat kepada Ukraina.”
Burns juga mengatakan bahwa tidak hanya Amerika Serikat, tetapi juga sekutu Eropa, mereka bersedia menanggung harga ekonomi tertentu agar dengan berjalannya waktu menimbulkan kerusakan ekonomi yang lebih besar bagi Rusia.
Ia juga berkata : “Jadi saya pikir semua ini sampai batas tertentu dapat menyadarkan Xi Jinping.”
Isu Taiwan merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya ketegangan hubungan AS – Tiongkok. Laporan Wall Street Journal menyebutkan bahwa Amerika Serikat sedang secara signifikan meningkatkan jumlah pasukannya untuk meningkatkan program pelatihan militer di Taiwan, agar jumlahnya mencapai lebih dari empat kali lipat kekuatannya saat ini.
Menurut informasi yang disampaikan oleh pejabat AS, bahwa Amerika Serikat berencana untuk menambah 100 hingga 200 orang tentara ke Taiwan dalam beberapa bulan mendatang. Setahun yang lalu jumlahnya cuma sekitar 30 orang. Garnisun tambahan ini akan memperluas program pelatihan yang enggan dipublikasikan Pentagon karena Amerika Serikat berusaha memberi Taiwan kemampuan yang dibutuhkannya dalam mempertahankan diri.
Laporan itu juga menyebutkan bahwa perluasan pelatihan untuk perwira dan tentara Taiwan oleh Amerika Serikat dan Taiwan menunjukkan bahwa Amerika Serikat semakin berkomitmen untuk membantu Taiwan, mitra dekatnya dalam upaya untuk menggagalkan potensi invasi militer Tiongkok.
Pejabat AS mengatakan, rencana untuk memperluas kehadiran pasukan AS di Taiwan telah dipersiapkan selama berbulan-bulan, Bahkan pengaturan sudah dimulai sebelum insiden balon mata-mata PKT bulan ini yang semakin memperburuk hubungan AS – Tiongkok. Dalam insiden tersebut, balon mata-mata PKT yang melintasi wilayah udara AS ditembak jatuh oleh pesawat tempur AS saat berada di pantai Carolina Selatan. (sin)