Shen Zhou
Pada 21 Februari lalu, Presiden Putin telah mengumumkan bahwa Rusia menghentikan sementara perjanjian pelucutan senjata nuklir antara AS dengan Federasi Rusia atau yang dikenal dengan “New START” (Strategic Arms Reduction Treaty, dalam Bahasa Rusia adalah CHB-III).
Sebelumnya, Istana Kremlin berkali-kali mengatakan mungkin akan menggunakan senjata nuklir di Ukraina, yang sempat menarik banyak sorotan, kini Moskow menghentikan sementara perjanjian nuklir dengan AS itu sehingga menimbulkan gejolak yang lebih besar. Ketika negara-negara Barat tengah ramai membahasnya, rencana Beijing sepertinya juga akan berantakan.
PKT Uber Program Negara Nuklir Super
Perjanjian pelucutan senjata nuklir New START antara AS dengan Rusia yang ditandatangani pada 2010 itu, mulai berlaku 2011, kedua belah pihak harus menaati kesepakatan sebagai berikut:
– Jumlah hulu ledak nuklir yang ditempatkan masing-masing pihak tidak boleh lebih dari 1.550 unit;
– Jumlah kendaraan peluncur untuk menembakkan hulu ledak nuklir tidak boleh lebih dari 800 unit;
– Jumlah rudal balistik antar benua yang ditempatkan tidak boleh lebih dari 700 unit;
– Jumlah rudal balistik berbasis kapal selam tidak boleh lebih dari 700 unit;
– Jumlah bomber berbobot berat yang bisa mengangkut senjata nuklir tidak boleh lebih dari 700 unit.
Perjanjian tersebut berlaku selama 10 tahun, setelah masa berlaku habis dapat diperpanjang 5 tahun. Pada 2021 lalu, ketika perjanjian tersebut hampir berakhir, AS dan Rusia sepakat memperpanjangnya hingga 2026. Ditandatangani dan dilanjutkannya perjanjian ini adalah hal baik bagi seluruh dunia. Bagi PKT, bisa dibilang hal yang sungguh menggembirakan. Negara adidaya nuklir AS dan Rusia membatasi jumlah senjata nuklir yang boleh ditempatkan, Beijing kebetulan dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk menambah senjata nuklirnya, agar dengan secepatnya mengejar ketertinggalan dari AS maupun Rusia.
Pihak luar berpendapat, dewasa ini PKT memiliki sedikitnya 350 unit hulu ledak nuklir, di antara negara pemilik senjata nuklir jika diurutkan berdasarkan jumlah hulu ledak nuklir maka RRT menduduki posisi ketiga. Kemenhan AS berpendapat, Beijing sedang mempercepat ekspansi senjata nuklirnya, mungkin hingga 2027 akan memiliki 700 buah hulu ledak nuklir, dan hingga 2030 mungkin dapat mencapai 1.000 unit hulu ledak nuklir.
Jika AS dan Rusia terus menjalankan perjanjian perlucutan senjata nuklir itu, maka skala senjata nuklir yang dimiliki PKT mungkin akan mendekati jumlah senjata nuklir yang ditempatkan oleh AS dan Rusia. Baik Rusia maupun AS telah menuntut agar Beijing bergabung dalam perundingan pelucutan senjata nuklir, tapi ajakan itu selalu ditolak oleh mereka. Ada apa?
Lantaran berencana hendak memanfaatkan kesempatan baik saat AS dan Rusia mengurangi senjata nuklirnya, diam-diam RRT demi mencapai ambisinya menjadi hegemoni dunia, dapat menjadi negara adidaya senjata nuklir. Akan tetapi, Putin mengumumkan penghentian sementara New START, perjanjian nuklir antara AS dengan Rusia dalam bahaya, dengan demikian rencana PKT sepertinya justru akan gagal.
Impian PKT Menjadi Negara Superpower Nuklir Pupus
Selama masa Perang Dingin, AS dan Uni Soviet sempat melakukan kompetisi persenjataan nuklir, untuk memastikan bisa saling memusnahkan, waktu itu RT sama sekali tidak mampu ikut andil. Setelah Perang Dingin berakhir, Rusia juga tidak lagi mampu melanjutkan persaingan senjata nuklir tersebut, maka dilakukanlah perundingan perlucutan senjata nuklir dengan AS, dan dibentuklah mekanisme untuk saling memverifikasi, dan risiko perang nuklir pun menurun drastis.
Setelah kedua negara mengurangi hulu ledak nuklirnya, pada saat ini jumlah hulu ledak nuklir yang dimiliki Rusia terdapat sekitar 6.000 unit, dan AS sekitar 5.500 buah. Berdasarkan perjanjian kedua pihak, hanya 1.550 unit yang diperbolehkan untuk ditempatkan pada posisi siap tempur, namun selebihnya boleh sewaktu-waktu dikerahkan untuk persiapan perang.
Beijing telah meraup semua kemudahan dari globalisasi, anggaran militernya meroket tinggi, ambisinya membesar dengan cepat. RRT tidak sabar untuk segera menjadi negara superpower nuklir terbesar, namun anggaran militernya pada dasarnya terbatas, di saat yang sama mereka juga harus meng-ekspansi pasukan Angkatan Roket, Angkatan Laut, dan Angkatan Udaranya, anggaran tersebut tidak cukup dibagi, Angkatan Darat yang bongsor, juga sudah bertahun-tahun terabaikan, tank dan perlengkapan tempur lainnya telah ketinggalan zaman serta tidak cukup lagi jumlahnya.
Pembuatan senjata nuklir membutuhkan biaya, setelah itu harus dilakukan perawatan, dan uji coba, serta fasilitas penunjangnya juga membutuhkan dana sangat besar, inilah salah satu faktor yang membuat Rusia bersedia melakukan pelucutan senjata nuklir. Jika PKT menginvestasikan uang pada rudal nuklir strategis, maka perkembangan rudal konvensional akan sangat terbatas; jika uangnya diinvestasikan pada Angkatan Roketnya, maka kemajuan AL untuk membangun armada kapal induk akan sangat terhambat, produksi jet tempur J-20 dan J-16 milik AU juga akan mengalami kendala. RRT mati-matian menambah senjata nuklirnya namun tetap membutuhkan proses.
Perjanjian pelucutan nuklir AS dan Rusia telah memberi celah bagi Beijing, ketika pihak AS dan Rusia sedang mengurangi hulu ledak nuklir dan jumlah perlengkapan perang secara drastis, RRT justru berkesempatan memperluas gudang senjata nuklirnya. Selama AS dan Rusia terus menjalankan perjanjian pelucutan nuklir tersebut, maka RRT berkesempatan untuk menjadi negara superpower nuklir.
Pada 1 September 2022 lalu, Kemenhan AS mengumumkan kondisi perlengkapan senjata nuklir AS dan Rusia pasca verifikasi nuklir kedua pihak, hulu ledak nuklir AS yang ditempatkan sebanyak 1.549 unit, dan Rusia menempatkan sebanyak 1.420 unit.
Jika perjanjian AS-Rusia ini dilaksanakan hingga 2026, setiap tahun RRT memproduksi 70 hulu ledak nuklir, 5 tahun akan bertambah 350 unit, ditambah yang ada sekarang sebanyak 350 unit, berarti pada 2027 Beijing akan memiliki 700 hulu ledak nuklir. Jika AS dan Rusia kembali menandatangani perjanjian baru, maka hingga 2030 RRT mungkin akan mengakumulasi 1.000 hulu ledak nuklir, atau mencapai 2/3 dari jumlah yang ditempatkan oleh AS dan Rusia. Pada saat itu, besar kemungkinan mereka akan berani menantang AS dengan persenjataan nuklir yang dimilikinya.
Kini, Rusia mengumumkan penghentian sementara penerapan perjanjian tersebut, mekanisme verifikasi kedua belah pihak sulit dilanjutkan, AS juga tidak perlu lagi menaati perjanjian tersebut secara sepihak. Kapal selam strategis bertenaga nuklir dan rudal balistik berbasis kapal selam adalah keunggulan terbesar AS, di saat ini pada 14 unit kapal selam strategis bertenaga nuklir kelas Ohio yang telah diposisikan, telah dilengkapi dengan 1.090 unit hulu ledak nuklir, atau sekitar 70,32% dari keseluruhan, setara dengan setiap kapal selam yang dilengkapi dengan kurang dari 78 unit, karena telah sangat dibatasi oleh perjanjian tersebut.
Kapal selam tenaga nuklir strategis kelas Ohio mampu membawa 24 unit rudal balistik berbasis kapal selam jenis Trident II, setiap buahnya mampu membawa 8 unit hulu ledak nuklir setara 455 kiloton TNT atau 14 unit hulu ledak nuklir setara 90~100 kiloton TNT, juga bisa membawa hulu ledak nuklir strategis ekuivalen rendah 5~7 kiloton. Setiap unit kapal selam mampu mengangkut setidaknya 192 unit hulu ledak nuklir, maka 14 unit kapal selam totalnya mampu mengangkut 2.688 hulu ledak nuklir.
AS memiliki sekitar 675 unit rudal balistik berbasis darat, yang ditempatkan dalam posisi perang riil sekitar 400 buah adalah rudal jenis Minuteman III, yang setiap buahnya dapat membawa satu hulu ledak nuklir berarti ada 400 buah hulu ledak nuklir, yang mencakup 25,81% dari keseluruhan. Selebihnya 60 hulu ledak nuklir dipasangkan pada bomber B-2 dan B-52, atau sekitar 3,87% dari keseluruhan.
Kendaraan pengangkut senjata nuklir yang dimiliki AS sekarang, setelah terlepas dari ikatan perjanjian tersebut, hulu ledak nuklir dapat dengan cepat dilipat gandakan hingga lebih dari 3.000 unit, PKT tidak akan mampu menandinginya. Tindakan tiba-tiba Rusia ini telah memupuskan impian Beijing.
Pertaruhan Besar Istana Kremlin
Setelah setahun perang Rusia-Ukraina berlangsung, Istana Kremlin tengah melakukan pertaruhannya.
Setahun lalu, Rusia mengirimkan 200.000 serdadunya untuk menginvasi Ukraina. Namun 1 bulan kemudian, pasukan Rusia dipaksa mundur dari ibukota Kiev yang belum sempat dikuasainya, dan beralih ke kawasan timur Ukraina. Enam bulan kemudian, Pasukan Ukraina menyerang balik dan berhasil merebut mayoritas wilayah yang hilang di timur laut; setelah itu Pasukan Rusia kembali berinisiatif meninggalkan Kherson di wilayah selatan.
Militer Rusia terus memobilisasi dan menambah pasukan, hingga kini jumlah serdadunya yang dikirim ke wilayah Ukraina telah melebihi 310.000 orang, tetapi di tengah serangan lokal di timur Ukraina, mereka selalu tidak berhasil meraih kemajuan yang berarti, justru terus mengalami kekalahan dengan korban cukup besar.
Pertaruhan oleh militer Rusia ini telah memaksa NATO meningkatkan bantuan militer bagi Ukraina, tank NATO yang sebelumnya tidak bersedia diperbantukan, kini tengah memasuki Ukraina dalam jumlah besar; sebelumnya NATO tidak bersedia mengerahkan jet tempur NATO, tapi sekarang mulai terlihat goyah. Pada 20 Februari lalu, di luar dugaan Presiden Biden berkunjung ke Kiev, melontarkan sinyal kuat bahwa NATO telah bersiap mendukung perlawanan Ukraina untuk jangka panjang.
Pada 21 Februari ketika Putin menyampaikan pidato kenegaraan tahunannya, diumumkan bahwa Rusia menghentikan sementara perjanjian pelucutan nuklir New START. Tindakan ini membuat berbagai pihak luar menilainya sebagai respon tergesa-gesa Moskow akibat kunjungan Biden ke Kiev. Dalam perang atrisi jangka panjang ini saja Rusia mulai berada di bawah angin, sehingga hanya bisa kembali mengeluarkan nuklir sebagai kartu terakhir untuk tawar menawar.
Akan tetapi panah yang telah diluncurkan tidak bisa ditarik kembali. Jika AS dan NATO tidak mau mengalah, maka akan sulit bagi Moskow untuk mencari alasan kembali ke perjanjian pelucutan nuklir itu lagi. Biden pun melanjutkan kunjungannya ke negara Eropa Timur, semua negara NATO mengutuk Rusia, yang untuk masalah Ukraina sementara ini tidak terlihat niat untuk mengalah. Seberapa besar kartu as terakhir Istana Kremlin ini dapat menimbulkan efeknya, masih harus diamati, tetapi perubahan yang datang mendadak ini membuat RRT tidak sempat mengantisipasinya.
PKT Tidak Tahu Apa Yang Harus Diperbuat
Pada 21 Februari, di hari saat Putin mengumumkan Rusia menghentikan sementara perjanjian pelucutan nuklir New START, Direktur Kantor Komisi Urusan Luar Negeri Pusat RRT yakni Wang Yi bertemu dengan Sekjen Dewan Keamanan Rusia Nikolai Patrushev. Dalam pernyataan singkat kantor berita Xinhua News, sedikit pun tidak menyinggung mengenai hal ini, bahkan disebutkan “menentang dimasukkannya pemikiran Perang Dingin dan konfrontasi berkelompok”. Tapi tindakan Moskow justru merupakan model Perang Dingin yang tipikal.
Di hari yang sama, kantor berita Xinhua News memberitakan pihak Rusia telah menghentikan sementara perjanjian pelucutan nuklir dengan AS, dengan meniru sepenuhnya pernyataan Moskow; tapi disebutkan “pihak Rusia tidak mengundurkan diri dari perjanjian tersebut, hanya menghentikan sementara.”
Seharusnya PKT sangat tidak rela melihat Rusia keluar dari perjanjian itu, karena dengan begitu rencana mereka tidak akan terlaksana; tapi pada masalah besar ini, sepertinya Beijing tidak mampu meyakinkan Rusia.
Pada 22 Februari lalu, semua negara beramai-ramai merespon. Di hari yang sama, Wang Yi menemui Menlu Rusia Sergey Viktorovich Lavrov; Putin juga menemui Wang Yi. Pernyataan kedua belah pihak sama sekali tidak menyinggung topik sensitif ini, hubungan RRT dengan Rusia jauh dari kata dekat seperti yang diduga oleh pihak luar.
Dalam konferensi pers Kemenlu RRT pada 22 Februari lalu, juru bicara Wang Wenbin merespon, “menyoroti perselisihan antara Rusia dengan AS dalam hal perjanjian ini, semoga kedua belah pihak dapat menyelesaikan perselisihan dengan baik dengan cara dialog yang bersifat membangun, memastikan perjanjian ini terlaksana dengan lancar”.
Dari sini dapat dilihat bahwa PKT sangat takut perjanjian pelucutan nuklir AS dan Rusia akan dibatalkan, maka rencana senjata nuklir mereka akan sulit diwujudkan.
Pada 23 Februari lalu, Kemenhan RRT melangsungkan konferensi pers rutin, dan ia sama sekali tak menyinggung topik penting ini. Hanya ada wartawan bertanya: surat kabar Wall Street Journal belum lama ini mengutip laporan yang diserahkan oleh Komando Strategis Amerika Serikat (USSTRATCOM) kepada DPR AS yang menyebutkan, saat ini RRT memiliki lebih banyak peluncur rudal balistik antar benua berbasis darat daripada Amerika. Selain itu ada analisa oleh media massa Jepang menilai, pihak RRT berencana ekspansi jumlah hulu ledak nuklirnya secara besar-besaran sebelum 2027. Begitu RRT merealisasi target modernisasi militernya, maka akan dilupakannya janji untuk “tidak menggunakan senjata nuklir lebih dulu”.
Juru bicara masih saja menjawab dengan lagu lama, yang menyebutkan “tidak akan melakukan persaingan senjata nuklir dengan negara lain”, dan kembali mengutuk Amerika, topik tentang Rusia menghentikan sementara perjanjian perlucutan senjata nuklir pun dihindari. Sepertinya pemimpin PKT belum sempat merespon, pihak militer pun terpaksa tidak mengungkitnya sama sekali.
Kesimpulan
Setelah Istana Kremlin beberapa kali melakukan pemerasan nuklir, negara-negara Barat sudah tidak begitu panik lagi, namun Moskow mengumumkan dihentikannya sementara perjanjian pelucutan nuklir, ini memang merupakan suatu peristiwa besar yang cukup berpengaruh pada dunia. Tindakan Moskow ini dapat dinilai sebagai sebuah kartu as politik, namun bukan sebuah opsi militer yang dapat langsung dikerahkan, kecuali Istana Kremlin merasa ekstra khawatir bahwa NATO akan menerjunkan pasukannya, dan langsung membidik Moskow.
Jika perjanjian pelucutan nuklir AS-Rusia batal begitu saja, maka rencana Beijing mengejar ketertinggalannya sebagai negara superpower nuklir pun akan gagal. Moskow sepertinya tidak ingin merundingkan hal ini dengan PKT, ini yang membuat pemimpin Beijing tidak sempat bertindak.
Mantan Presiden Trump memperingatkan akan ada risiko meletusnya Perang Dunia III, di saat ini jika benar terjadi perang dunia, PKT seharusnya masih jauh dari kata siap perang. Baik dalam bidang persenjataan nuklir maupun kekuatan militer konvensional mereka, kesenjangan antara militer RRT dengan AS masih sangat jauh, terlalu tinggi risikonya bagi RRT, serta mereka akan kalah perang dan runtuh.
Peristiwa balon udara mata-mata seharusnya membuat AS memahami, ambisi PKT tidak hanya sampai di barat Pasifik saja, wilayah AS selama ini selalu menjadi incaran mereka. Seandainya perang dunia sudah di depan mata, maka diperkirakan opsi bahwa AS akan menyerang lebih dulu untuk mencekal musuh akan ditempatkan di atas meja, kemungkinan pemimpin PKT akan dipenggal kepalanya lebih dulu terlihat sangat tinggi.
Kunjungan pemimpin PKT ke Moskow mungkin hendak membujuk Istana Kremlin agar menjalankan kembali perjanjian pelucutan nuklir, tapi Moskow belum tentu akan membiarkan Beijing memengaruhi keputusannya, apalagi kondisi Perang Rusia-Ukraina di garis depan juga tidak menggembirakan. Apakah kehancuran yang sebenarnya akan terjadi, seluruh dunia sedang menyorotinya, pemimpin PKT akan semakin cemas. (Sud/whs)