Iswahyudi
“Try not to become man of succes rather become man of value.” Albert Enstein. Petuah si jenius ini sepertinya sangat relevan dengan era sekarang di mana orang berlomba-lomba untuk sukses dengan cepat. Apalagi ukuran sukses seringkali diukur dengan indikator kesuksesan materi seperti mobil mewah, jam tangan mewah, tas mewah, moge mewah, rumah mewah dan lain-lain. Timbullah fenomena flexing dimana-mana. Drama atau pencitraan menjadi orang kaya seolah menjadi industri tersendiri. ‘Orang-orang kaya’ itu begitu berisik dan pamer ‘kesuksesan’ mereka di media sosial. Membuat orang yang melihat postingan jadi terpukau, ngiri dan berhasrat untuk menjadi seperti mereka. Padahal kebijakan tentang kekayaan mengatakan poverty scream but wealth whisper (kemiskinan itu berisik tetapi kekayaan itu berbisik).
Itulah flexing. Bergaya sok kaya, tapi mempuyai maksud untuk memperdaya. Biasanya ini dimaksudkan agar orang penasaran apa kunci kesuksesan mereka. Mereka mempunyai pesan tersembunyi atau pesan sponsor, semisal investasi bodong, bisnis berskema piramida yang menjebak orang-orang yang ingin kaya instan. Setelah semakin banyak orang mabuk kaya sehingga rela berinvestasi secara tidak rasional di bisnis bodong. Uang investasi yang menggunung itu dibawa kabur. Cerita ini teramat banyak akhir-akhir ini.
Ada juga yang bergaya hedon di media sosial, dengan barang-barang mewah mereka, dan trevelling di spot-spot wisata tersohor di berbagai belahan dunia. Dan ketahuan bahwa mereka memang betul-betul kaya, tapi dengan cara illegal. Istri atau anak pejabat korup yang sebenarnya sangat lihai menyembunyikan uang haramnya, tapi akhirnya keluarga mereka tak tahan lagi untuk tidak berisik. Mana tahan uang haram begitu menggunung yang tak habis dinikmati tujuh turunan, dibiarkan jadi harta karun. Akhirnya mereka tak bisa menahan lagi nafsu pamer mereka di media sosial. Dan ketika para pejabat korup dan keluarganya itu menjadi sorotan orang seantero negeri, buru-buru mereka hilang dari jagad maya. Itulah kutukan uang haram. Memperoleh kekayaan dari hasil ngemplang.
Dulu saya mempunyai teman seperjungan, sama-sama merantau di Jakarta untuk meraih mimpi menaklukkan Indonesia. Dia sosok yang begitu risk taker. Demi punya akses dengan orang kaya ia rela sewa mobil berbulan-bulan, ngontrak di kawasan elite ratusan juta per tahun bahkan rumahpun belum punya, menginap di hotel-hotel berbintang berbulan-bulan untuk meloby para investor kaya dan pejabat serakah. Ia menawarkan investasi di industri mining. Meloby para politisi dan pejabat untuk menjual pengaruh mereka. Ia mempunyai konsesi ijin tambang puluhan ribu hektar. Bagi teman-teman seangkatan, dia terpesepsikan orang yang sukses dan kaya, dan terbilang dermawan. Puluhan orang ia kuliahkan gratis. Tapi bagi saya yang mengerti proses dan isi dapurnya, citra tak seindah kenyataan. Setelah muncul fenomena flexing, ternyata saya telah melihat praktek nyatanya. Dan semua itu tak ubahnya membangun istana dari pasir. Hidup yang sangat rentan.
Semua orang ingin sukses. Seorang mahasiswa lulusan perguruan negeri ternama ingin ketika pulang kampung halaman pasti ingin dilihat sebagai orang sukses. Dan ukuran sukses mengalami pendangkalan yaitu sukses secara materi. Padahal sukses itu mempunyai makna yang dalam dan meluas. Seorang sarjana, pejabat, hakim, dan lain-lain yang menjalankan tugas dengan penuh integritas walaupun dengan kekayaan yang biasa bisa dipandang juga orang sukses. Seorang Bung Hatta yang pernah menjabat orang nomer dua di RI siapa yang berani mengatakan bahwa beliau tidak sukses walaupun ia pernah tidak bisa membayar listrik rumahnya dan memendam impiannya sampai mati untuk membeli sepatu Belly.
Pergesaran makna kesuksesan hanya pencapaian materi inilah akar dari kasus korupsi di negeri ini. Satu koruptor di tangkap seribu koruptor lahir. Bahkan praktik-praktik tidak jujur juga menjangkiti kaum intelektual di kampus yang merupakan agen perubahan yang menjadi pendidik generasi mendatang. Ini terjadi dengan munculnya kasus perjokian karya ilmiah yang mencapai level industri. Apa yang lebih berbahaya dari runtuhnya pilar-pilar karakter ini? Pendefinisian sukses harus diarahkan pada sukses secara karakter dan nilai. Orang yang sukses yang sebenarnya adalah ketika seseorang menjadi manusia nilai (man of value).
Sebuah Inspirasi dari Pertunjukan Tradisional
Saya terkesima dengan sebuah mini opera di platform Shen Yun Creation berjudul Early Shen Yun Pieces: Mortal Fate (2020 Production). Dikisahkan seorang sarjana muda lulus dari ujian kekaisaran yang memungkinkannya menjadi pegawai negeri dan pada akhirnya naik pangkat untuk mendapatkan kekayaan dan kekuasaan. Ia mendapat topi hitam pejabat yang merupakan simbol kekuasaan dan kekayaan. Di momen bahagia itu ia dihadapkan sebuah peristiwa yang membuatnya pada dua pilihan. Ia melihat seorang wanita tua dan putrinya dalam perundungan para berandal. Hati nuraninya membimbingnya untuk menyelamatkan dua wanita teraniaya itu. Ternyata kedua wanita itu adalah dua orang dewi yang lagi menyamar. Sarjana muda itu diberikan kesempatan oleh kedua dewi itu melakukan perjalanan spiritual ke dunia kahyangan (dunia nilai) dengan menaiki karpet terbang. Sarjana muda itu begitu terpukau dengan keindahan kahyangan. Bidadari cantik yang menari dan istana keemasan yang megah adalah yang ia temui. Saat asyiknya menikmati keindahan itu seorang dewi memberikan dua pilihan. Menikah dengan seorang dewi atau topi hitam pejabat. Tak diduga ia memilih topi hitam pejabat simbol kekuasaan dan kekayaan. Pilihan sarjana muda itu mengejutkan para dewi.
Tiba-tiba seorang Tao turun dari langit dan segera menunjukkan kekecewaan atas pilihan bodoh sarjana muda itu. Seketika Tao dan para dewi mengusirnya dari kahyangan. Dan seorang dewi dengan karpet tebangnya menghantarkan kembali ke bumi.
Tak beberapa lama sarjana muda itu mendapatkan apa yang dicita-citakan menjadi pejabat kekaisaraan dan hidup dalam kemewahan. Tapi ternyata itu hanya fatamorgana dunia. Kebahagian itu ternyata segera lenyap. Ada pemberontakan di kekaisaran, ia dengan secara tak terhormat dicopot dari jabatannya. Harta kekayaan, kemegahan, kenikmatan hidup dan jabatannya hilang dari kehidupannya. Seketika ia dihempaskan dalam kehidupan yang mengenaskan, hidup sebatangkara, menjadi pengemis yang sengsara di dinginnya musim dingin. Di titik terendah itu ia menemumkan seorang dewi yang menyamar yang telah mengenalkannya pada dua pilihan abadi vs pilihan fana. Tapi penyesalan selalu datang di akhir. Sang Dewi dengan karpet terbangnya kembali ke kahyangan untuk memberi pelajaran bagi sarjana muda itu dan sarjana-sarjana yang lain di masa mendatang.
Apa yang bisa diambil dari kisah ini? Pertama, Seorang sarjana adalah suar peradaban. Mereka dididik menjadi seorang intelektual yang berintegritas. Mereka selalu dihadapkan pada dua pilihan antara menjaga integritas intelektual atau melacurkannya demi kesenangan sesaat. Godaan kesenangan sesat terkadang lebih mengoda dibandingkan setia pada integritas moral dan karakter. Kedua, memilih integritas moral dan karakter seolah tak bergengsi, tapi sangat manis diakhirnya. Jadilah manusia nilai (man of value) kesuksesan mengikuti (Try first to be man of value, succes follows). Kesuksesan tanpa nilai dan karakter bagai membangun istana pasir. Sedikit saja ombak menerjang semua hanyalah tinggal ‘pasir berbisik’ di tepi pantai.