Econ Vision
Baru-baru ini, pasar minyak mentah yang tidak mau kesepian kembali menimbulkan gejolak. Pada 2 April lalu OPEC+ mendadak mengumumkan menurunkan lagi produksinya, begitu berita beredar, harga minyak mentah sontak melonjak. Banyak analis memprediksi, harga minyak akan terus naik ke level 100 dolar AS per barel, tetapi melihat kondisi selama seminggu terakhir ini, harga minyak hanya sempat naik sehari lalu tetap stabil, apakah ini berarti pengurangan produksi oleh OPEC+ sudah tidak lagi memiliki kekuatan deterensi? Lalu mengapa OPEC+ kembali mengurangi produksinya dan apa dampaknya terhadap harga minyak global serta perekonomian dunia? Pengurangan produksi kali ini terutama dilakukan oleh Arab Saudi dan Rusia, sinyal apakah yang tersirat di baliknya?
Mengapa OPEC+ Mendadak Kurangi Produksi?
Pada 2 April lalu, OPEC+ yang diketuai oleh Arab Saudi secara mengejutkan mengumumkan memangkas produksi secara “sukarela kolektif”, total pemangkasan produksi tersebut adalah lebih dari 1,6 juta barel per hari, dan akan dimulai pada Mei mendatang hingga akhir tahun ini. Bisa dilihat, pada 3 April lalu, harga minyak sempat naik hingga lebih dari 8%, telah memecahkan rekor tertinggi kenaikan harian selama setahun terakhir, lalu ditutup dengan kenaikan harga lebih dari 6%.
Pemangkasan kolektif oleh OPEC+ sempat menimbulkan gejolak lonjakan harga minyak mentah di kalangan institusi di Wall Street, banyak analis memprediksi, tahun ini atau tahun depan, harga minyak mentah Brent akan naik hingga 100 dolar AS per barel.
Misalnya, Goldman Sachs tidak hanya menaikkan perkiraan terhadap harga minyak mentah Brent 2023, dari sebelumnya 90 dolar per barel naik menjadi 95 dolar per barel, pada saat yang sama, juga menaikkan perkiraan terhadap harga minyak mentah Brent 2024, dari sebelumnya 97 dolar AS per barel naik menjadi 100 dolar AS per barel. Akan tetapi, di tengah suara “kenaikan” ini, Morgan Stanley justru melawan arus, secara substansial menurunkan spekulasi harga minyak mentahnya.
Morgan Stanley telah menurunkan ekspektasi harga minyak mentah Brent untuk kuartal kedua, ketiga, dan juga keempat tahun ini, masing-masing diturunkan 5,6%, 5,3%, dan 7,9%, atau turun menjadi 85 dolar, 90 dolar, dan 87,5 dolar AS per barel, sementara perkiraan harga tahun depan diturunkan 10,5% menjadi 85 dolar AS per barel. Alasan diturunkannya adalah: OPEC+ mengurangi produksi, mungkin karena tidak optimis dengan masa depan kebutuhan beberapa bulan mendatang.
Selain Morgan Stanley, Citibank juga berpendapat, walaupun OPEC+ memangkas produksi, harga minyak juga tidak akan dengan cepat mendekati harga 100 dolar AS per barel, karena pertumbuhan kebutuhan AS dan RRT, juga terdapat unsur ketidak-pastian, faktor-faktor ini akan dapat membuat pasokan dan kebutuhan pasar minyak tetap stabil selama beberapa waktu.
Melihat kondisi sekarang, pasar minyak sepertinya telah menyerap guncangan awal yang ditimbulkan akibat OPEC+ mengurangi produksi. Walaupun harga minyak mentah Brent pada 3 April lalu sempat melonjak, tetapi harga penutupan beberapa hari kemudian selalu stabil di harga sekitar 85 dolar AS per barel. Maka ada analisa yang menyebutkan, pemangkasan produksi oleh OPEC+ telah kehilangan kekuatan deterensinya.
Alasan di baliknya, besar kemungkinan akan seperti yang dijelaskan oleh banyak analis, pada dasarnya aksi pemangkasan produksi OPEC+ kali ini adalah reaksi terhadap turunnya harga minyak, merupakan pemangkasan produksi yang bersifat defensif, karena harga minyak sedang mengalami penurunan terus menerus, dan selama dua minggu lalu harga minyak telah turun hingga level terendah sejak 2021 lalu.
Menurut perkiraan Longview Economics, sebelumnya pasar minyak berada dalam kondisi pasokan melebihi kebutuhan, OPEC+ mengurangi produksinya seharusnya akan menstabilkan pasokan dan kebutuhan sebelum akhir tahun, tujuannya adalah untuk mencegah harga minyak anjlok lebih lanjut.
Seperti yang dikatakan ekonom senior dari badan riset investasi TS Lombard, rahasia agar pasar minyak dapat terus membaik adalah, munculnya kejutan yang positif dalam hal kebutuhan, dan bukan pengurangan pasokan yang sifatnya mendahului. Jadi, seperti pengurangan produksi yang diumumkan pada musim gugur 2022 lalu, pengurangan produksi kali ini sebenarnya adalah semacam tindakan yang bersifat bertahan atau defensif.
Chief Market Strategist dari Miller Tabak +Co. yakni Matt Maley menjelaskan, kenaikan harga minyak yang digerakkan pasokan, dengan kenaikan harga minyak yang digerakkan kebutuhan adalah dua hal yang sama sekali berbeda, harga minyak tinggi tidak berarti kebutuhan akan meningkat. Jika harga minyak tetap bertengger tinggi akibat masalah pasokan dan bukan karena kebutuhan, maka kenaikan harga yang dipicu pasokan akan menimbulkan pengaruh negatif terhadap kebutuhan, akan terjadi seperti masa 1970-an abad lalu yang menyebabkan merosotnya pertumbuhan ekonomi, dan akan semakin tidak menguntungkan bagi tubuh ekonomi yang menghadapi penyusutan tajam kredit pinjaman.
Société Générale S.A. asal Prancis bahkan menekankan, menurut penuturan Menteri Minyak Bumi Nigeria, sasaran OPEC+ adalah mengembalikan harga minyak ke level 90 dolar AS per barel, atau setara dengan level harga minyak beberapa bulan sebelum meletusnya Perang Rusia-Ukraina. Jika harga energi meningkat, maka akan menciptakan dua tantangan bagi pasar surat hutang: pertama, akan memberikan tekanan pada bank sentral untuk menaikkan suku bunga; kedua, akan memukul keuntungan perusahaan.
Dengan kata lain, berangkat dari perkiraan yang pesimis terhadap kebutuhan minyak mentah masa mendatang OPEC+ melakukan pemangkasan produksi yang bersifat defensif. Namun, jika pengurangan produksi itu ternyata mengakibatkan harga minyak melonjak, maka selanjutnya akan terjadi pukulan terhadap kebutuhan minyak mentah.
Sepertinya untuk membuktikan pandangan ini, minggu ini AS telah mengumumkan data ekonomi, yang menunjukkan adanya tanda-tanda penurunan, terutama bursa lapangan kerja yang panas juga mengalami fenomena pendinginan, hal ini semakin memperparah kekhawatiran investor terhadap kemerosotan ekonomi yang mengurangi permintaan energi.
Data yang dipublikasikan Kemenaker AS menunjukkan, lowongan pekerjaan di AS pada Februari lalu telah turun hingga 9,9 juta, merupakan level terendah sejak 2021 lalu, dibandingkan dengan Januari yang telah direvisi sebanyak 10,6 juta, telah terjadi penurunan drastis; seminggu hingga 1 April lalu, untuk pertama kalinya warga yang mengajukan tunjangan pengangguran telah mencapai 228.000 orang, lebih tinggi dari ekspektasi awal yang 200.000 orang. Selain itu, jumlah pekerja non-pertanian pada Maret lalu meningkat 236.000 orang, lebih rendah dibandingkan Februari yakni 311.000 orang, juga untuk pertama kalinya lebih rendah sejak Maret tahun lalu. Namun angka pengangguran di luar dugaan turun hingga 3,5%.
Di samping itu, menurut laporan yang dirilis badan manajemen sumber daya manusia ADP pada Rabu (05/04) lalu, pada Maret yang baru berlalu warga yang bekerja di sektor swasta meningkat 145.000 orang, lebih rendah dari ekspektasi para ekonom sebesar 210.000 orang.
Indeks aktivitas industri jasa menurut Institute for Supply Management (ISM) AS juga dari 55,1% bulan lalu turun menjadi 51,2%, dan indeks ini merupakan acuan bagi kondisi bisnis perusahaan AS.
Selain itu, menelusuri perkiraan imbal hasil 18 bulan ke depan surat hutang negara periode 3 bulanan AS, dibandingkan dengan grafik selisih imbal hasil saat ini, sejak November tahun lalu, grafik ini selalu berada pada posisi negatif. Pada Kamis (06/04) lalu, selisih imbal hasil ini telah mendekati minus 170 basis poin, memecahkan rekor terendah sejak 1996 lalu. Padahal pada tahun lalu, Direktur The Fed Jerome Powell pernah mengatakan, grafik spread ini adalah peringatan yang paling dapat diandalkan dalam menentukan kemerosotan ekonomi.
Data Rabu lalu (05/04) juga menunjukkan, kurva imbal hasil surat hutang AS periode 3 bulanan dan periode 10 tahunan telah terbalik sekitar 155,8 basis poin. “Bapak garis kurva yield” yakni Campbell Harvey dari Duke University berpendapat, selisih yang besar di antara kedua tingkat suku bunga ini menandakan kemungkinan AS akan mengalami “kemerosotan yang mendalam”.
Angka-angka ini menunjukkan, tindakan The Fed menaikkan suku bunga telah menimbulkan sejumlah dampak negatif terhadap ekonomi. Disamping itu, karena bulan sebelumnya ada tiga bank AS berturut-turut bangkrut, maka beberapa ekonom serta investor AS telah mewaspadai “penyusutan kredit pinjaman” yang menyeluruh, dan ada kemungkinan akan semakin mendorong perekonomian AS menuju kemerosotan.
Tidak sedikit orang memprediksi hingga akhir tahun ini, pembuat kebijakan The Fed mungkin akan melakukan serangkaian penurunan suku bunga. Media massa menyebutkan, data pada 6 April lalu menunjukkan, investor di pasar mata uang sedang mempertaruhkan, sebelum Desember The Fed akan menurunkan suku bunga sekitar 70 basis poin dari rentang suku bunga saat ini 4,75%~5%.
Arab Saudi Tak Hiraukan AS, Optimis Pasar Tiongkok?
Pengurangan produksi oleh OPEC+ kali ini terutama dilakukan oleh Arab Saudi dan Rusia, kedua negara masing-masing menjanjikan akan mengurangi produksi 500.000 barel per hari. Namun, sinyal yang dilontarkannya, tidak hanya sekedar ekspektasi yang pesimis terhadap masa depan perekonomian.
Seorang kolumnis urusan luar negeri dari surat kabar The Washington Post yakni David Ignatius dalam artikelnya menjelaskan, “Akhir pekan lalu Arab Saudi yang telah mengambil keputusan pragmatis yang dingin dengan memangkas produksi dan menaikkan harga minyak bumi, telah melontarkan sebuah pesan yang sederhana: AS tidak lagi memberikan perintah di Teluk Persia atau pasar minyak bumi. Terlepas dari baik atau buruk, masa hegemoni AS di kawasan Timur Tengah telah berakhir.”
Sedangkan analisa surat kabar Financial Times adalah, di satu sisi, Arab Saudi tidak senang pada pemerintahan Biden yang sebelumnya mengatakan tidak buru-buru membeli, dan menambal cadangan minyak strategis yang dihabiskan tahun lalu. Di sisi lain, Gedung Putih juga secara jelas menyatakan tidak senang dengan Arab Saudi yang tiba-tiba mengurani produksinya. Tak hanya itu saja, belum lama ini Arab Saudi tidak lagi mempedulikan kekhawatiran sekutu tradisionalnya AS terhadap keamanan, dan tetap menjalin hubungan kemitraan jangka panjang dengan Beijing.
Pada 29 Maret lalu, Dewan Menteri Arab Saudi telah meloloskan resolusi untuk bergabung dengan Organisasi Kerjasama Shanghai (Shanghai Cooperation Organization, SCO). Organisasi ini adalah aliansi politik dan keamanan negara-negara yang mayoritas melintasi kawasan Eurasia, didirikan pada 2001 oleh Rusia, RRT, dan negara Asia Tengah bekas Uni Soviet, sekarang telah meluas hingga meliputi India dan Pakistan, tujuannya adalah untuk mengimbangi kekuatan pengaruh negara Barat.
Di samping itu, berkat komunikasi RRT yang proaktif, Menlu Arab Saudi dan Iran baru saja melangsungkan tatap muka di Beijing pada 6 April lalu, bahkan telah menandatangani pernyataan bersama, sepakat untuk membahas pemulihan hubungan diplomatik. Ini adalah pertemuan diplomatik tingkat tertinggi antara Menlu kedua negara selama 7 tahun terakhir. Selain hubungan politik, Arab Saudi juga mempererat kerjasama perdagangannya dengan Beijing. Contohnya dalam waktu dekat Arab Saudi akan berinvestasi di pasar petrokimia Tiongkok.
Kita bisa melihat, aksi kerjasama Arab Saudi dan Beijing begitu erat dan intens, di saat yang sama setelah OPEC+ di luar dugaan mengurangi produksinya, Arab Saudi juga menaikkan harga jual resmi semua minyak bumi yang dijualnya kepada para pelanggan Asia pada Mei mendatang, ini adalah bulan ketiga berturut-turut Arab Saudi menaikkan harga jual minyak mentahnya ke Asia.
Karena perusahaan minyak bumi Arab Saudi (Saudi Aramco) menjual sekitar 60% minyak mentah ke Asia, di antaranya Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, dan India adalah pembeli terbesar. Jadi analis berpendapat, tindakan Arab Saudi menaikkan harga menandakan, walaupun mengumumkan pengurangan produksi, tetapi Arab Saudi masih berharap kebutuhan di Asia cukup kuat, terutama optimis terhadap kebutuhan minyak mentah Tiongkok.
Namun, apakah kebutuhan minyak mentah Tiongkok akan memantul drastis?
Data statistik Badan Bea dan Cukai RRT menunjukkan, jumlah impor minyak mentah RRT telah menurun selama dua tahun berturut-turut. Sepanjang 2021 lalu, akumulasi impor minyak mentah RRT adalah 512,98 juta barel, atau turun 5,4% dibandingkan periode yang sama; impor sepanjang 2022 mencapai 508,28 juta barel, atau turun 0,9% secara akumulatif. Tapi akibat dampak kenaikan harga minyak, nilai impor minyak mentah RRT justru melonjak drastis: pada 2021 telah naik 44,2% dibandingkan periode yang sama sebelumnya, dan pada 2022 telah naik 41,4% dibandingkan periode yang sama.
Tak hanya itu saja, data Badan Bea dan Cukai RRT juga menunjukkan, pada Januari~Februari tahun ini, jumlah impor minyak mentah RRT sebanyak 84,06 juta barel, atau turun 1,3% dibandingkan periode yang sama. Dengan kata lain, setelah PKT mengakhiri kebijakan Nol Covid dan membuka kembali perekonomiannya, belum terjadi lonjakan kebutuhan minyak mentah di Tiongkok.
Kebutuhan dalam negeri Tiongkok memang sudah lemah, sementara The Fed menaikkan suku bunga menyebabkan risiko kemerosotan ekonomi global terus membesar, dalam kondisi semacam ini, ekonomi Tiongkok yang terlalu bergantung pada kebutuhan luar negeri juga pasti akan terimbas dampaknya.
Dewasa ini, banyak beredar laporan perkiraan harga minyak pada 2023 ini, semuanya berdasarkan prediksi pada lonjakan besar kebutuhan akan minyak mentah Tiongkok. Namun, para analis ini mungkin akan kecewa, karena sekarang perekonomian Tiongkok telah memasuki jalur melambat jangka panjang, tren kemerosotan ekonominya tidak mampu berbalik arah setidaknya dalam waktu dekat. (sud/whs)