Studi Jepang menunjukkan olahraga yang menyenangkan dan relatif murah ini mungkin merupakan terapi yang efektif bagi mereka yang menghadapi penyakit Parkinson
JENNIFER MARGULIS & JOE WANG
Penyakit Parkinson adalah gangguan neurodegeneratif kedua yang paling umum, setelah Alzheimer. Gangguan otak ini biasanya datang secara perlahan. Mereka yang menderita mungkin merasakan tangannya gemetar misalnya, atau merasa ucapan mereka tidak jelas atau merasa sedikit lebih lambat dari biasanya.
Ini adalah penyakit progresif, yang berarti seiring berjalannya waktu, gejalanya akan memburuk.
Diperkirakan 500.000 orang di Amerika Serikat menderita Parkinson, menurut National Institute of Neurological Disorders and Stroke. Namun, banyak ahli percaya bahwa angka tersebut jauh lebih tinggi, karena orang yang mengidapnya dapat tidak terdiagnosis selama bertahun-tahun. Di seluruh dunia, Parkinson diperkirakan memengaruhi 10 juta orang.
Meskipun kebanyakan orang menganggap Parkinson sebagai kelainan otak yang menyerang orang lansia — dan diketahui bahwa insiden penyakit Parkinson meningkat seiring bertambahnya usia — namun sekitar 4 persen orang dengan penyakit ini didiagnosis sebelum mereka berusia 50 tahun.
Seperti gangguan otak tertentu lainnya, kaum pria jauh lebih mungkin menderita Parkinson daripada wanita. Ini adalah penyakit yang mahal. Menurut Yayasan Parkinson, biaya gabungan dari penyakit ini—termasuk pengobatan, kehilangan pendapatan, dan pembayaran jaminan sosial—adalah sekitar $52 miliar per tahun, hanya di Amerika Serikat.
Penyakit ini dianggap tidak dapat disembuhkan, dan obat untuk mengobati gejalanya menelan biaya rata-rata $2.500 (sekitar Rp 37,3 juta) per tahun. Pembedahan dapat menghabiskan $ 100.000 (Rp 1,5 miliar) per orang, menurut Yayasan Parkinson.
Jalan Maju Tanpa Obat atau Pembedahan? Mengingat betapa mahalnya — dan berpotensi menghancurkan — gejala Parkinson, maka menemukan pilihan pengobatan yang terjangkau dan efektif, serta cara nonfarmasi untuk mengelola penyakit ini, harus menjadi prioritas.
Dua tahun lalu, para peneliti dari Jepang menerbitkan sebuah studi yang menarik, “Tenis meja (ping pong) untuk pasien dengan penyakit Parkinson: Studi percontohan pros- pektif satu pusat.” Para peneliti ini mulai dengan mengajukan pertanyaan yang tidak biasa: Bisakah ping-pong, juga dikenal sebagai tenis meja, bermanfaat bagi penderita Parkinson?
Siapa pun yang belum pernah bermain olahraga raket mungkin menganggap pertanyaan ini agak tidak masuk akal, kita semua tahu bahwa tetap aktif dan bugar di kemudian hari membantu meningkatkan kognisi, semangat, suasana hati, dan bahkan usia. Penelitian terus-menerus menegaskan bahwa olahraga adalah tindakan penting—mungkin tindakan paling penting—yang dapat dilakukan orang untuk mengurangi risiko penyakit Alzheimer.
Dan siapa pun yang telah memainkan olahraga raket (antara lain bulu tangkis, pickleball, ping-pong, racquetball, squash, dan tenis) sudah mengetahui seberapa banyak permainan ini dapat membantu meningkatkan koordinasi tangan-mata, keseimbangan, tonus otot, dan mobilitas umum.
Yang pertama dari jenisnya, studi percontohan Jepang tentang ping-pong untuk Parkinson dilakukan selama enam bulan. Para peneliti merancangnya untuk memeriksa apakah program latihan ping-pong, yang disesuaikan untuk orang lansia yang menderita gejala motorik parkinsonian, dapat memperbaiki gejala motorik, masalah otak, dan gejala kejiwaan.
Dua belas orang dewasa dengan penyakit Parkinson direkrut untuk penelitian ini. Mereka berpartisipasi dalam sesi latihan enam jam seminggu sekali. Mereka dievaluasi pada awal studi, kemudian dievaluasi lagi pada tiga bulan, dan sekali lagi pada enam bulan.
Mengapa Ping-Pong?
Ping-pong adalah olahraga populer di Asia. Berasal dari Inggris Victoria, di mana ia dimainkan di kalangan kelas atas sebagai permainan ruang tamu setelah makan malam. Ia diperkenalkan sebagai olahraga Olimpiade pada tahun 1988.
Bermain ping-pong membutuhkan gerakan, merespon bola serta lawan, dan koordi- nasi. Ini juga merupakan olahraga yang sangat nyaman untuk dimainkan di dalam ruangan dengan ruang terbatas.
Selain itu, menurut para peneliti, ini adalah aktivitas yang menyenangkan karena memiliki komponen kompetitif, “aktivitas yang dapat dinikmati pasien sebagai permainan dengan memperebutkan poin”.
Gerakkan Bola Besar (Bumi) dengan Bola Kecil (Ping-Pong)
Ketika Joe Wang dibesarkan di Tiongkok, anak-anak miskin tidak mampu membeli peralatan olahraga yang mahal. Sebaliknya, semua orang bermain ping-pong di atas meja beton menggunakan raket kayu. Ping-pong sangat populer di tahun 70-an dan 80-an, dianggap sebagai olahraga nasional de facto Tiongkok.
Pada tahun 1994, film blockbuster “Forest Gump” menampilkan karakter eponim yang memainkan ping-pong tingkat tinggi. Keahliannya memikat penonton di seluruh dunia. Namun, banyak yang tidak menyadari bahwa film tersebut (yang meraup lebih dari $679 juta di seluruh dunia) benar-benar menggambarkan peristiwa sejarah yang sebenarnya: diplomasi ping-pong antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok.
Semuanya dimulai pada tahun 1971, selama Kejuaraan Tenis Meja Dunia ke-31 di Nagoya, Jepang, ketika seorang pemain ping- pong Amerika bernama Glenn Cowan ketinggalan bus timnya, dan harus menumpang bus tim dari komunis Tiongkok. Atlet dari dua negara yang bermusuhan itu tidak saling menyerang, namun sebaliknya, mereka berbicara dan tertawa serta berjabat tangan.
Studi Ping-Pong Jepang
Program senam pingpong berlangsung dari November 2018 hingga Mei 2019. Para peserta yang semuanya menggunakan tangan kanan melakukan sesi senam selama enam jam seminggu sekali selama enam bulan. Mereka tidak dilarang aktif secara fisik dengan cara lain jika mereka mau.
Mahasiswa dari Departemen Ilmu Olahraga dan Kesehatan di Universitas Fukuoka Jepang menginstruksikan para peserta. Mereka memimpin 30 menit peregangan dan kemudian meminta mereka melakukan permainan gaya reli dan gaya permainan. Termasuk dalam latihan pemanasan adalah latihan pernapasan, peregangan leher, tekukan lutut, fleksi pergelangan kaki, dan latihan lainnya.
Setelah periode bermain pagi, peserta studi menikmati istirahat makan siang. Setelah makan siang, mereka bermain ping-pong lagi, dan di akhir sesi, mereka menghabiskan 10 menit lagi untuk meregangkan tubuh dan menilai sendiri seberapa lelah yang mereka rasakan dan betapa menyenangkannya mereka.
Staf medis yang ada memantau para peserta dengan cermat, sehingga mereka dapat membantu para peserta jika mereka kehilangan keseimbangan saat bermain.
Bagaimana Ini Membantu?
Para peneliti hanya dapat mengumpulkan data sembilan dari 12 peserta asli: dua pria dan tujuh wanita yang rata-rata berusia 72 tahun dan menderita Parkinson selama sekitar tujuh setengah tahun. Semuanya mampu berjalan tanpa bantuan tongkat atau alat lain, meski beberapa pasien sebelumnya pernah mengalami jatuh.
Selama enam bulan penelitian berlangsung, satu peserta melaporkan sakit punggung, dan satu lagi jatuh. Tetapi tidak ada yang menderita efek yang bertahan lama dari ini dan tidak ada peserta yang membutuhkan pengobatan tambahan.
Pada saat yang sama, bermain pingpong “secara signifikan meningkatkan” beberapa aspek mobilitas pasien Parkinson.
“Karena mengayunkan raket berulang kali ke seluruh tubuh membutuhkan manipulasi otot aksial,” para peneliti menyimpulkan, “mungkin program latihan ini dapat membantu memperbaiki gejala aksial. Selain itu, suara ritmis bola yang mengenai meja dapat memberikan isyarat pendengaran bagi peserta untuk bergerak. Selain itu, gambar visual dari bola ping-pong oranye atau putih yang datang dari meja hijau dapat memberikan isyarat visual yang menarik bagi peserta untuk bergerak.”
Studi ini juga menemukan bahwa bermain ping-pong meningkatkan pengalaman motorik hidup sehari-hari para peserta, pada tiga bulan dan enam bulan.
Para ilmuwan dengan antusias mencatat bahwa rehabilitasi menggunakan ping-pong kemungkinan memiliki efek positif yang relatif cepat bagi orang yang menderita Parkinson. Beberapa aspek permainan, termasuk sifat kompetitifnya, kemudahan untuk mempelajarinya, sosialisasi yang berasal dari aktif dalam olahraga dengan orang lain, dan kesenangan bermain pingpong, juga dicatat.
Kami tahu dari penelitian lain bahwa olahraga membantu orang-orang dari segala usia dan kemampuan untuk merasa lebih positif dan bersemangat, seperti halnya terlibat dalam aktivitas baru. Selain itu, penelitian telah lama mengaitkan gerakan dengan umur panjang. Jadi masuk akal jika pingpong dapat membantu orang yang menderita gangguan otak degeneratif.
Sekarang keluarkan raket. Saatnya bermain ping-pong. (jen)
Jennifer Margulis, Ph.D., adalah seorang jurnalis pemenang penghargaan dan penulis buku “Your Baby, Your Way: Taking Charge of Your Pregnancy, Childbirth, and Parenting Decisions for a Happier, Healthier Family”. Penerima beasiswa Fulbright dan ibu dari empat anak, dia telah bekerja pada kampanye kelangsungan hidup anak di Afrika Barat, mengadvokasi untuk mengakhiri perbudakan anak di Pakistan pada jam tayang utama di Prancis, dan mengajar literatur pasca-kolonial kepada siswa nontradisional di dalam kota Atlanta. Pelajari lebih lanjut tentang dia di JenniferMargulis.net
Joe Wang, Ph.D., seorang ahli biologi molekuler dengan pengalaman lebih dari 10 tahun di industri vaksin. Dia sekarang adalah presiden Jaringan Televisi NTD (Kanada), dan seorang kolumnis untuk The Epoch Times.