Fu Yao
Kali ini kita akan membahas pemecahan dua kasus aneh lewat mimpi. Kejadian nyata ini dimana korban memberitahu kepada keluarganya lewat mimpi untuk memecahkan kasus kriminal.
Kisah Maria Marten
Kasus pertama di Inggris ini hampir tidak seorang pun yang tidak mengetahui tentang kasus ini. Walaupun sudah terjadi lebih dari 200 tahun silam yakni pada 1827, tetapi karena alur kasus yang berliku-liku, korban dalam kasus ini yang memberitahukan kepada ibu tirinya lewat mimpi terasa aneh, dan telah digubah menjadi banyak drama dan balada dalam banyak versi, dan beredar luas, saat ini sebagian di antaranya masih terus dimainkan pada pentas modern.
Kisah ini terjadi di sebuah desa kecil yakni Polstead di bagian timur Inggris. Lumbung pangan di daerah tersebut sangat unik, dengan atap merahnya yang sangat mencolok, semua orang menyebutnya Lumbung Merah. Sepasang kekasih muda, yakni Maria Marten yang berusia 25 tahun, dan William Corder yang berusia 23 tahun acap kali berkencan di tempat itu.
Kedua anak muda itu tak lama kemudian memiliki anak. Tetapi Corder hanya ingin berhubungan rahasia dengan Maria, tidak ingin menikah. Anak yang cacat sejak lahir itu baru terlahir dua minggu telah meninggal dunia. Di Inggris yang waktu itu masih sangat konservatif, melahirkan anak di luar nikah mutlak tidak diperbolehkan, dan anak yang menyandang sebutan anak haram itu, tidak diberkati, juga tidak bisa memperoleh pemakaman yang layak. Keduanya terpaksa mencari suatu tempat dan menguburkan anak mereka secara diam-diam.
Namun tak lama kemudian, pada suatu pagi hari, Jum’at, 18 Mei, tiba-tiba Corder berlari ke rumah Maria, sembari membawa sepucuk senapan, dan mengatakan kejadian anak haram itu telah diketahui pihak kepolisian. Polisi John Balam pagi-pagi datang memberitahunya, dan mengatakan surat perintah penangkapan dari London telah terbit, mereka akan datang menangkap Maria dengan tuduhan melahirkan anak haram.
Walaupun opsir Balam pada saat bersaksi di pengadilan mengatakan, tidak ada yang namanya surat perintah penangkapan, tetapi waktu itu Maria sudah sangat ketakutan dan sambil menangis bertanya pada Corder, apa yang harus dilakukan? Corder menyuruhnya menyamar sebagai pria dan lari dari rumah, mengingatkannya agar tidak terlihat oleh siapapun, pergi ke lumbung merah dan menunggunya disana, Corder akan menyusulnya dengan membawa barang-barang keperluannya, lalu akan membawanya ke Ipswich untuk menikah.
Ibu tiri Maria yakni Nyonya Marten waktu itu juga berada di sana. Dia menyalahkan Corder, “Seandainya sejak awal kau menikahi Maria bukankah sekarang tidak ada masalah ini?” Corder berjanji, “Besok aku akan menikahi Maria.” Nyonya Marten tidak begitu memercayainya. Karena reputasi Corder tidak baik, seringkali berbohong, saat sekolah ia dijuluki “rubah”. Ia pernah mencuri babi ayahnya untuk dijual, pernah menggunakan cek palsu, bahkan belum lama ini bersama seorang pencuri setempat bernama Smith mencuri seekor babi dari desa tetangga.
Entah kenapa, Smith tertangkap, namun Corder justru lolos dari hukuman. Di ruang sidang Smith menggemeretak gigi dan berkata, “Cepat atau lambat ia akan naik ke tiang gantungan.” Seorang pencuri saja menilainya seperti itu, bisa dibayangkan betapa buruknya karakter Corder. Namun dengan orang inilah putrinya menjalin asmara, sebagai orang tua Nyonya Marten tidak berdaya. Sembari menghela nafas panjang Nyonya Marten menyiapkan barang-barang untuk dibawa Maria.
Pada pukul 12.30, Maria meninggalkan rumah, sejak saat itu keluarga Marten tidak pernah lagi melihatnya. Hari minggu pagi, Corder datang seorang diri, mengatakan dia telah mengamankan Maria. Setelah itu Corder lenyap beberapa waktu, pada September ia sempat pulang sebentar, tetapi Maria tidak pulang bersamanya. Tuan dan Nyonya Marten bertanya dimana putri mereka? Corder mengatakan dia hidup dengan baik di luar daerah. Nyonya Marten bertanya lagi, mengapa putrinya tidak menulis surat memberikan kabar? Corder mengatakan tangannya cedera sehingga tidak bisa menulis.
Setelah itu Corder kembali menghilang. Sejak saat itu hingga pada musim semi tahun berikutnya, keluarga Marten hanya pernah menerima surat yang ditulisnya, mengatakan dirinya dan Maria menetap di Pulau Wight, hidup mereka cukup baik, sementara belum berani pulang, karena takut masalah kawin lari mereka membuat berang para teman dan kerabat. Tuan Marten bertanya mengapa putrinya sendiri tidak menulis surat, kadang-kadang Corder mengatakan kesehatan Maria tidak baik, atau tangannya cedera, atau kadang mengatakan, bukankah Maria sudah mengirim surat? Apakah kalian tidak menerimanya?
Apapun itu, sejak saat itu sama sekali tidak ada kabar dari Maria. Bahkan di Hari Natal pun tidak pulang. Hubungannya dengan keluarga sangat baik, juga sangat pengertian, perilaku semacam ini sama sekali tidak seperti kelakuan Maria. Keluarga Marten pun mulai tidak sabar, kian hari kian sering mereka membahas soal Maria.
Suatu hari, Nyonya Marten akhirnya tidak sabar lagi dan berkata pada suaminya, “Seandainya aku adalah kau, aku akan pergi melihat-lihat Lumbung Merah.” Tuan Marten merasa sangat aneh, dan bertanya mengapa begitu?
Nyonya Marten mengatakan belakangan ini dirinya sering bermimpi Maria telah dicelakai seseorang di Lumbung Merah, dan dikubur di sana. Faktanya sebelum Hari Natal dia sempat dua kali bermimpi bertemu Maria. Namun karena takut keluarganya tidak percaya, maka dia menahan diri untuk tidak menceritakannya. Sejak saat itu, Nyonya Marten terus mendesak suaminya agar pergi ke Lumbung Merah untuk melihat kondisi disana.
Pada 19 April 1828, Tuan Marten tidak kuasa menolak lagi istrinya, dan bersama seorang teman bernama Bowtell mereka pun pergi ke sana. Begitu memasuki lumbung serta menyapu dan menyingkirkan jerami di tanah, mereka segera menemukan sepetak tanah dengan bekas seperti galian baru di permukaannya. Mereka memberanikan diri mulai menggali, setelah menggali sedalam sekitar 45 cm, terlihat sebuah karung goni, lalu sehelai syal berwarna hijau tampak muncul dari mulut karung itu, dan tercium bau busuk yang sangat menyengat.
Nyali Tuan Marten langsung ciut, tidak berani menggali lebih lanjut, dan berbalik langsung pulang ke rumah, ia bertanya pada Nyonya Marten apakah masih ingat syal warna apakah yang dikenakan putri mereka saat pergi dari rumah. Nyonya Marten dengan yakin menjawab, syal berwarna hijau. Tuan Marten langsung berderai air matanya, tahu putrinya ternyata telah menjadi korban pembunuhan, ia pun langsung berjalan menuju kantor polisi.
Setelah itu dengan cara identifikasi gigi dokter forensik memastikan bahwa jasad yang terkubur di tanah itu adalah Maria Marten. Penyebab kematian segera diketahui bahwa Maria telah ditembak mati. Kantor polisi pun langsung menetapkan Corder sebagai tersangka utama, dan memulai aksi perburuan terhadapnya.
Waktu itu Corder baru saja menikah, bersama istri yang baru dinikahinya mereka mendirikan sebuah sekolah asrama putri di London, kehidupan barunya bahagia dan tenang. Dari rumahnya itu polisi berhasil menggeledah dan menemukan pistol yang digunakan, serta menemukan sebuah paspor Prancis. Sepertinya Corder telah berniat melarikan diri. Jika bukan karena Maria berulang kali muncul di mimpi mendesak Nyonya Marten, mungkin Corder akan terbebas dari jeratan hukum. Sepertinya inilah kehendak Tuhan.
Pada 7 Agustus, pengadilan terhadap Corder pun dimulai, keseluruhan proses tidak terdapat keraguan sama sekali. Walaupun di pengadilan Corder bersikukuh dirinya tidak bersalah, namun tim juri hanya membutuhkan waktu 35 menit untuk memvonis dirinya bersalah. 3 hari kemudian, berkat nasihat keluarga dan pendeta, akhirnya Corder mengakui kejahatannya di dalam penjara. Ia berkata saat itu mereka terlibat pertengkaran, dan karena marah ia pun melepaskan tembakan.
Pada 11 Agustus, Corder dihukum gantung, kata-kata teman sesama pencurinya Smith pun menjadi kenyataan. Di alun-alun tempat hukuman dilaksanakan dipenuhi warga, di pedesaan Inggris dimana tradisi setempat masih sangat konvensional, sangat sulit dipercaya hal sekejam itu bisa terjadi, maka semua warga pun terperangah, dan hendak melihat akibat yang harus ditanggung oleh si pelaku kejahatan.
Dari keseluruhan kasus juga dipenuhi misteri karena adanya petunjuk yang diberikan Maria melalui mimpi, pada abad ke-19 yang merupakan era paling berkembangnya karya sastra di Inggris, kisah itu telah digubah menjadi berbagai macam karya seni.
Tanpa pengecualian, pada seluruh karya sastra tersebut bagian cerita tentang terbongkarnya kasus lewat mimpi itu selalu dipertahankan, lalu ditambahkan kata-kata: “Tangan Tuhan ada dimana-mana”. Seperti kata ungkapan “Hukum langit maha luas, longgar namun tidak ada yang bisa lolos”, sejak dulu hingga sekarang di dalam maupun luar negeri, tetap berlaku prinsip yang sama.
Kasus Perampokan Kapal Daji
Kisah kedua adalah sebuah cerita dalam buku karya Kuo Tse-yun yang pernah menjabat sebagai Sekjen Dewan Negara Republik Tiongkok berjudul “Dong Ling Xu Zhi = Pertanda Mimpi Mengungkap Kejahatan”. Dalam kisah itu tidak menggunakan nama asli semua pihak yang terlibat, namun dengan status Tuan Kuo di dunia sastra maupun pemerintahan, kebenaran kejadian ini tidak perlu diragukan.
Pada Maret 1931, kapal “Da Ji” milik Tatah Shipping Co. Ltd. yang terbakar dan tenggelam di dekat Pelabuhan Zhanghuang Provinsi Jiangsu, menjadi berita yang menggemparkan seantero negeri pada masa itu. Surat kabar besar di masa itu yakni surat kabar Singapura Nanyang Shang Pau pada 27 Maret 1931 memberitakan, karena kobaran api sangat ganas, dan walaupun di sekitarnya ada kapal nelayan, namun para nelayan takut api akan membakar mereka, maka dari itu mereka hanya menyaksikan dari kejauhan, dan tidak bersedia memberikan bantuan, ada yang bahkan tergoda keuntungan, mereka malahan mengambil peti barang yang dilempar penumpang kapal ke air yang akan digunakan sebagai pelampung, kemudian walau pejabat meminta mereka agar memberikan bantuan, namun sudah terlambat, hal ini menyebabkan lebih dari 100 orang tewas. Para wartawan sangat marah atas kejadian ini.
Salah seorang korban dalam tragedi ini kemudian muncul dalam mimpi putranya, dan mengatakan waktu itu ia melemparkan sejumlah barang yang bisa mengapung ke dalam air, lalu meringkuk di atasnya menunggu bala bantuan, dan sebuah kapal nelayan menemukannya, ia buru-buru meminta pertolongan pada nelayan itu dengan mengatakan kepadanya bahwa dirinya membawa banyak uang, jika diselamatkan, ia akan membagi setengah uangnya.
Tak disangka setelah nelayan itu menariknya ke atas kapal, uangnya dirampas, dan dirinya didorong kembali ke dalam sungai. Waktu itu ia membawa dua ribu Yuan lebih. Nelayan itu bermarga Wang.
Setelah terbangun dari mimpinya, putranya mengerti bahwa itu adalah mimpi yang diberikan oleh sang ayah yang telah mati secara tidak wajar, maka ia pun langsung menuju lokasi tenggelamnya kapal “Da Ji”, dengan tenang ia mencari tahu keberadaan nelayan bermarga Wang itu.
Setelah ditemukan, saat si nelayan itu lengah, ia menangkapnya dan tidak mau melepaskannya, serta sembari berteriak pada orang lain agar melapor ke polisi. Kedua orang itu pun dibawa ke kantor polisi.
Awalnya nelayan Wang menyangkal, tetapi kemudian polisi menemukan uang itu di kapalnya, jumlahnya sama seperti yang dikatakan oleh putra korban, bukti kuat berhasil ditemukan, akhirnya si nelayan pun mengakui perbuatan dirinya yang demi harta telah menewaskan orang lain.
Dalam kedua kasus di atas, selain korban beserta pelaku, tidak ada orang ketiga di tempat kejadian perkara, dan pemecahan kedua kasus sepenuhnya berkat munculnya korban di dalam mimpi.
Hal ini telah membuat semua orang merasa kagum, juga membuktikan kebenaran ungkapan kuno bahwa tiga kaki di atas kepala ada Malaikat yang mengawasi, kadang kala bila manusia tidak bisa menangani, maka Kuasa Ilahi-lah yang akan bertindak. (sud/whs)