Pinnacle View
Pada 31 Juli lalu, Beijing mendadak mengeluarkan larangan ekspor, atas dasar melindungi keamanan dan kepentingan nasional, mulai September 2023 memberlakukan pembatasan ekspor terhadap segala produk terkait pesawat nirawak. Juru bicara Kemendag Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menyatakan, pembatasan tersebut meliputi motor penggerak pesawat nirawak, muatan penting, instalasi komunikasi radio dan sistem anti pesawat nirawak sipil, dan lain-lain. Ini adalah langkah pembatasan ekspor yang dikeluarkan RRT setelah sebelumnya ada pembatasan ekspor terhadap produk logam langka seperti Gallium dan Germanium. Yang patut dicermati adalah yang mendadak mengeluarkan pembatasan ekspor pesawat nirawak kali ini adalah empat departemen RRT sekaligus, yakni Departemen Perdagangan, Administrasi Kepabeanan, Biro IPTEK dan Industri Pertahanan Negara, serta Departemen Pengembangan Peralatan Komisi Militer Pusat.
Tiongkok merupakan negara pengekspor pesawat nirawak terbesar di seluruh dunia, menurut data statistik, di antara drone yang dijual di AS, lebih dari setengahnya adalah buatan produsen drone Tiongkok DJI. Pesawat nirawak buatan DJI juga sangat mudah dimodifikasi untuk dijadikan drone militer yang bisa diaplikasikan dalam berbagai misi perang.
Larangan Drone Bantu Rusia Tekan Ukraina, Ciptakan Krisis Bagi AS dan Eropa
Pemimpin redaksi surat kabar The Epoch Times yakni Guo Jun kepada acara “Pinncle View” di NTDTV menyatakan, larangan ekspor pesawat nirawak RRT ada kaitannya dengan perang Rusia-Ukraina, sebab perang berlangsung hingga saat ini, peran drone atau pesawat nirawak menjadi semakin signifikan, kedua pihak Rusia dan Ukraina telah banyak menggunakan drone. Ada drone dengan sistem elektronik tingkat tinggi, yang digunakan untuk mendeteksi medan perang, sedangkan drone pembawa beban bisa digunakan untuk menjatuhkan bom, selain itu Beijing juga membatasi sistem pengganggu drone sipil, yakni sistem elektronik untuk mengantisipasi drone. Kini Tiongkok adalah produsen terbesar drone berikut produk terkait lainnya, walaupun yang diproduksi Tiongkok sekarang terutama adalah drone ukuran kecil, tetapi dalam hal koordinasi multi-drone RRT cukup unggul, yakni banyak drone bekerja bersama secara terkoordinasi, jika digunakan di medan perang, bisa menggunakan taktik sekawanan lebah, sekelompok drone beraksi bersamaan, dikabarkan akan memiliki aplikasi yang sangat luas di ajang perang masa depan.
Pembawa acara media personal yakni Chen Pokong kepada “Pinnacle View” menyatakan, PKT memberlakukan larangan ekspor terhadap pesawat nirawak kali ini, terutama untuk menghadapi AS dan Barat, khususnya dalam hal produksi massal. Karena selama beberapa dekade terakhir, yang disebut integrasi global dengan menerima Beijing memasuki pasar internasional, telah menyebabkan AS dan Barat sangat tergantung pada Tiongkok untuk banyak produk, hasil produksi Tiongkok dengan harga murah, secara kuantitas telah menguasai pasar seluruh negara Uni Eropa, di antaranya termasuk drone, tepatnya drone buatan DJI.
Menurut hasil statistik, drone bikinan Tiongkok yang diekspor ke Ukraina mencapai 220 juta yuan RMB setiap tahunnya, yang diekspor ke Rusia mencapai 5 milyar yuan RMB, yang diekspor ke negara Barat, seperti aliansi negara FVEY (Five Eyes Alliance = Aliansi Lima Mata) masing-masing negara sedikitnya mencapai milyaran yuan, bahkan ada yang mencapai puluhan milyar yuan, Jepang dan Korsel juga sama, jika negara FVYE ditambah lagi dengan Jepang dan Korsel, maka pangsa pasar negara-negara tersebut yang dikuasai Tiongkok mencapai 40%. Jadi AS membatasi cip dan semi konduktor, setelah seluruh dunia membentuk aliansi cip, PKT harus membalas dendam, selain logam langka, tanah jarang, Germanium dan Gallium, digunakan sebagai sarana balas dendam, pesawat nirawak digunakan juga untuk membalas, dan pembalasan ini secara kuantitas telah mengikis Barat, ini adalah salah satu aspek, PKT menilai di banyak aspek Barat mendadak tidak ada drone lagi, akan menimbulkan krisis jangka pendek.
Selain itu, PKT akan menggunakan keunggulannya mampu memproduksi drone secara massal, untuk memasok drone dalam jumlah besar bagi Rusia untuk menyerang Ukraina, atau mencegah serangan balasan Ukraina.
Sekarang telah terdeteksi bantuan militer RRT terhadap Rusia terus dikirimkan, dan bisa mempersenjatai satu divisi bahkan satu kesatuan militer, dan Rusia sekarang mampu mempertahankan empat negara bagian di timur Ukraina, membuat Ukraina kesulitan mendobraknya, terutama berkat mengandalkan dukungan Beijing di belakangnya. Rusia pada dasarnya tidak memiliki cukup banyak rudal dan rudal jarak jauh, tetapi mengapa masih bisa terus menerus menggempur Ukraina, dan membombardir Kiev, menurut penulis sebagian besar dipasok oleh RRT.
Tapi jika ditelaah lebih lanjut, apakah tindakan PKT ini dapat mencekik leher negara Barat? Untuk kurun waktu pendek masih bisa, tapi jangka panjang tidak efektif. Karena empat macam teknologi yang saat ini dikuasai PKT pada bidang drone, yaitu motor penggerak, sistem komunikasi, sistem deteksi, dan sistem pengganggu anti-drone, negara Barat jauh lebih unggul dalam beberapa aspek ini, hanya saja Barat tidak memproduksi secara massal.
Selain itu AS tidak membutuhkan drone buatan Tiongkok untuk keperluan militernya, karena sistem militer Kemenhan AS menolak drone buatan Tiongkok, sudah ada undang-undang yang disahkan, yakni menolak drone DJI. Di AS maupun Barat, di Amazon, atau pembelian drone Tiongkok secara daring, jumlah drone sipil memang sangat besar, tapi hanya warga sipil yang menggunakannya.
Jadi sanksi dari PKT ini untuk jangka pendek bisa menciptakan krisis pasokan barang di pasar kalangan sipil di AS dan Barat. Tapi kekurangan ini juga akan membuat AS, Eropa, dan negara lain menyambut tantangan, untuk segera memproduksi massal, karena teknologi ini tidak begitu sulit. Jadi pada kondisi ini, PKT meraih keuntungan jangka pendek, terutama untuk mendukung Rusia, sekali mendayung dua pulau terlewati, selain bisa membatasi Barat, menimbulkan pukulan terhadap Barat, juga bisa mendukung Rusia dengan drone dalam jumlah besar, membuat Rusia mampu bertahan dalam perang ini.
Kratos XQ-58A Valkyrie Muncul, Perkembangan Drone Militer AS Kembali Unggul
Mantan perwira AU RRT yakni Xia Luoshan mengatakan kepada “Pinnacle View”, di ajang perang Ukraina, kedua belah pihak telah menggunakan banyak pesawat nirawak, semua drone itu pada dasarnya terbagi menjadi dua tipe, yang pertama untuk pengawasan intelijen dan pengintaian, dan yang kedua adalah drone tipe penyerangan.
Semua drone itu pada dasarnya digunakan oleh pasukan darat dan merupakan drone ukuran kecil, yang dikendalikan oleh manusia, drone jenis itu tidak mewakili arah perkembangan pesawat nirawak masa depan, tapi cukup untuk membuktikan potensi yang teramat besar untuk digunakan dalam perang modern.
Maka dalam konfrontasi Selat Taiwan di masa mendatang, kondisinya tidak lagi sama dengan perang di Ukraina, di sini dituntut kriteria yang lebih tinggi dalam hal kemampuan dan standar perang gabungan pada drone. Seperti drone yang digunakan di Ukraina, drone ukuran kecil yang berfungsi pada perang parsial, misalnya drone yang mendeteksi tank atau aktivitas pasukan dalam radius beberapa puluh kilometer, lalu memandu pasukan infanteri dan juga pasukan artileri menyerang target tersebut, tidak bisa dikatakan tidak berguna di masa mendatang, tapi juga tidak akan bisa mendominasi. Keunikan dari konfrontasi Selat Taiwan mungkin lebih cenderung mengarah pada konfrontasi pada sistem yang lebih luas, misalnya sistem informasi perang, perang senjata gabungan, atau serangan presisi jarak jauh. Pada masa mendatang jika PKT menyerang Taiwan, drone pada waktu itu dengan drone yang kita lihat sekarang di ajang perang Ukraina, adalah dua konsep, metode perang, dan drone yang digunakan sama sekali akan berbeda.
Xia Luoshan mengatakan, sebenarnya perkembangan drone AS sudah melangkah sangat jauh, beberapa tahun lalu pesawat nirawak supersonic AS, dan drone supersonik silumannya, sudah bisa mendarat serta lepas landas di kapal induk, dan drone sudah mampu melakukan pengisian bahan bakar terhadap jet tempur di udara, semua itu bagi AS sudah bukan lagi hal baru.
Pada 2 Agustus lalu, AU Amerika dan perusahaan pembuat senjata Kratos telah melakukan uji coba bersama, dengan melakukan serangkaian pengujian terhadap pesawat nirawak Valkyrie XQ-58A, pengujian kali ini bermakna tonggak sejarah, dengan berhasil merealisasikan kendali otomatis dengan AI. Sebelumnya berapa pun banyaknya drone, betapa hebatnya drone tersebut, termasuk juga berbagai drone seri MQ buatan AS, semuanya masih dikendalikan oleh manusia dari darat terhadap pesawat itu. Perkembangan Valkyrie yang merupakan bagian dari program Loyal Wingman AS, yakni program menggunakan drone sebagai wingman atau pendamping jet tempur yang diterbangkan manusia, Valkyrie adalah drone wingman yang akan dilengkapi pada jet tempur generasi keenam di masa mendatang, AU Amerika mempersiapkan 1.000 unit pesawat tempur bersinergi seperti ini, yakni pesawat wingman (pendamping, red.), yang khususnya akan dilengkapi pada 300 unit jet tempur F35 dan 200 unit jet tempur unggulan udara generasi berikutnya, yaitu jet tempur generasi keenam.
Setelah AS mengeluarkan jet tempur generasi keenam ini, konsep berperangnya pun akan berbeda lagi, metode perang telah mengalami perubahan esensi yang sangat besar, dengan kata lain, model perang di udara satu lawan satu yang konvensional mungkin akan segera berlalu.
Pada dasarnya tidak ada lagi kesempatan berperang seperti itu, dan akan menjadi konfrontasi sistem perang seluruh aspek. Jet tempur hanya salah satu elemen dari keseluruhan sistem tersebut, maka bagi PKT, berbagai elemen yang terhubung dalam sistem ini, kemampuan yang dimilikinya, adalah hal yang tidak dapat dicapai oleh pesawat tempur dan persenjataan mereka manapun. Dengan kata lain jika satu lawan satu, juga bukan tandingan perlengkapan AS, apalagi bicara soal konfrontasi sistem, apakah PKT memiliki sistem itu, masih sulit dikatakan.
Kepada “Pinnacle View” Guo Jun mengatakan, sebuah laporan militer AS membahas tentang teknologi militer generasi berikutnya, yakni moda angkut nirawak yang akan memainkan peran teramat penting, bahkan akan membawa perubahan seratus delapan puluh derajat pada perang masa depan. Tidak hanya pesawat nirawak, atau kapal nirawak, juga termasuk sistem pengintaian nirawak, termasuk drone seukuran serangga capung bahkan lalat pun termasuk di dalamnya, belum lagi sensor otomatis, peralatan yang sangat kecil, yang dapat disebarkan di kubu musuh, lalu mendeteksi aktivitas musuh melalui sinyal elektronik, ada pula sistem perang otomatis, yakni mobil nirawak yang membawa senjata dan amunisi, bahkan pesawat nirawak pun dapat secara otomatis bekerjasama dengan serdadu.
Sebagai penutup, Guo Jun mengatakan, sebenarnya baik pesawat nirawak maupun moda angkut nirawak lainnya, di baliknya terdapat dua fokus penting, yang pertama adalah pengiriman dan penerimaan sinyal sensorik, yang kedua AI, yakni kecerdasan buatan.
Dengan kata lain, di balik moda angkut nirawak tersebut, pasti ditopang oleh sistem super computer yang sangat kuat, agar dapat beraksi dengan cepat, dan bekerjasama dengan militer dan para prajurit di garis depan. Pada dasarnya, dalam kompetisi AS dan PKT di masa mendatang, akan merupakan kompetisi militerisasi AI, tapi hal ini akan menjadi masa depan yang sangat mengerikan bagi umat manusia. (sud/whs)