Pinnacle View
Pada 18 Agustus lalu, Presiden AS Joe Biden, Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol, dan PM Jepang Fumio Kishida mengadakan konferensi tingkat tinggi di tempat berlibur presiden AS yakni Camp David, ini adalah untuk pertama kalinya pemimpin ketiga negara melangsungkan KTT bersama tanpa ada pihak lain.
Dalam suatu pernyataan bersama pasca pertemuan itu, ketiga negara menyatakan menentang sikap Beijing yang menunjukkan perilaku berbahaya dan agresif dalam konflik maritim di Laut Tiongkok Selatan dan di Laut Timur, dalam pernyataan tersebut juga disepakati, ketiga negara akan melangsungkan latihan militer bersama secara berkala, saling berunding di saat krisis, berbagi informasi teraktual terkait kekuatan militer Korea Utara, dan kelak setiap tahun akan diadakan KTT bersama.
Sementara PKT sendiri sangat mewaspadai KTT ketiga negara kali ini, ada laporan yang menyebutkan, Beijing sangat mengkhawatirkan AS akan membentuk aliansi militer NATO kecil di kawasan Asia, juru bicara Kemenlu RRT langsung mengkritik AS telah menggalang kelompok eksklusif, dan memperparah konfrontasi. Lantas mengapa AS-Jepang-Korsel mengadakan KTT tersebut? Aliansi seperti apakah yang mereka bentuk? Dan apakah dampaknya terhadap situasi di Asia Timur sekarang ini dan di masa mendatang?
KTT Pertama AS-Jepang-Korsel, Ciptakan Pola Strategi Baru Asia Timur Laut
Rekan peneliti dari Taiwan National Policy Foundation yakni Li Zhengxiu dalam acara “Pinnacle View” di NTDTV mengatakan, Presiden AS, PM Jepang, dan Presiden Korsel, ketiga pemimpin berkesempatan bertemu dalam KTT pertama itu, karena pada sebagian besar kesempatan sebelumnya pemimpin ketiga negara tersebut selalu hanya memanfaatkan ajang internasional untuk mengadakan pertemuan terpisah, tetapi kali ini, Presiden Biden secara khusus telah mengundang Presiden Korsel dan PM Jepang ke Camp David, makna simbolis kali ini sebenarnya cukup tinggi.
Terutama diadakan pasca perubahan besar geopolitik di kawasan Indo-Pasifik, semua negara terus menyoroti kompetisi antara AS dengan Beijing, khususnya setelah belasan tahun ini Xi Jinping menjabat, lagi-lagi Xi memanfaatkan kekuatan politik, ekonomi dan militer yang telah bertambah kuat untuk mencoba memprovokasi bahkan merusak tatanan internasional saat ini, hal ini tentu saja membuat dunia Barat dan negara demokrasi yang dipimpin oleh AS sangat cemas.
Khususnya kawasan Asia Timur Laut, bagi AS, Jepang, dan Korsel, lawan kompetisi utama mereka saat ini adalah Tiongkok dan Korea Utara, maka tujuan KTT kali ini adalah membuat dunia mewaspadai niat dan ambisi ekspansi militer dua negara komunis yang masih tersisa di dunia ini, itulah tujuan utama AS yang buru-buru mengundang Jepang dan Korsel dalam pertemuan tingkat tinggi ketiga negara ini.
Editor senior sekaligus penulis utama The Epoch Times yakni Shi Shan kepada Pinnacle View menyatakan, ketiga pemimpin AS, Jepang, Korsel duduk bersama untuk berunding, adalah hal yang selama ini belum pernah terjadi, kita pernah melihat dialog AS-Jepang, dialog AS-Korsel, atau bertatap muka dalam ajang internasional, saling menyapa dan sebagainya, tetapi mereka bertiga duduk bersama melangsungkan suatu rapat, dulu saya tidak pernah melihatnya, hal ini sangat sulit. Karena kuncinya adalah hubungan antara Jepang dengan Korea Selatan, keduanya memiliki dendam sejarah, dan dendam sejarah ini tidak hanya pada PD-II saja.
Membuka kembali lembaran sejarah Tiongkok, hubungan antara Tiongkok dengan jepang dengan berbagai konfliknya, biasanya selalu terjadi melalui Semenanjung Korea, baik di masa Dinasti Tang, maupun Dinasti Ming, dan Dinasti Qing, setiap konflik antara Tiongkok dengan Jepang selalu terjadi lewat Semenanjung Korea, selalu seperti itu. Jadi beberapa waktu lalu, setelah PD-II usai, setelah Perang Korea usai, Amerika membentuk rantai pulau pertama di seluruh Samudera Pasifik, yakni mulai dari Kepulauan Aleut sampai ke Korea Selatan, terus ke Jepang, sampai ke Okinawa, lalu Taiwan, Filipina, seluruhnya menjadi satu garis. Khususnya beberapa negara Asia Timur Laut adalah negara besar, di utara ada Rusia, dulunya Uni Soviet, lalu ke barat ada RRT, kemudian ada Korsel, dan Jepang, lalu Amerika di belakangnya.
Jadi segitiga ini luar biasa penting, kita selalu menyebutnya segitiga besi, inilah objek andalan yang sangat penting bagi AS, hanya dengan adanya segitiga besi ini, baik Tiongkok maupun Rusia, pada dasarnya akan sulit keluar dari Samudera Pasifik, yakni mengunci mereka di dalamnya. Tetapi segitiga ini salah satu sisinya sangat rapuh, yakni hubungan antara Jepang dengan Korsel. Kita melihat pada masa Park Geun-Hye menjadi presiden, hubungan Jepang-Korsel membaik, dalam beberapa masalah sengketa sejarah kedua negara telah mencapai sejumlah kompromi untuk diselesaikan, tetapi sejak Moon Jae-In menjabat, mungkin karena pemikiran Moon Jae-In yang cenderung berhaluan kiri, ia secara parah telah merusak masalah ini.
Hal pertama ialah mengenai ganti rugi pekerja, pada masa PD-II banyak pekerja Korsel yang ditangkap dan dibawa ke Jepang untuk dijadikan romusha (sebagai budak), Korsel menilai sekarang berbagai perusahaan besar ada di Jepang, seperti Sumitomo Mitsui, dan Mitsubishi, masih eksis, seharusnya membayar ganti rugi. Kedua belah pihak terus berunding, akhirnya didapatkan sebuah hasil, ditetapkan batas atas ganti rugi, lalu semua pihak mengeluarkan uang tertentu sebagai ganti rugi. Pada saat Moon Jae-In menjabat, dikatakan keputusan ini dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya, dan pihaknya tidak mengakuinya, serta ingin melakukan perundingan ulang, tanpa ada batas atas ganti rugi, Jepang pun berang, dan merasa Korsel tidak bisa dipercaya.
Masalah kedua adalah persoalan wanita jugun ianfu, ada orang di Korsel yang membuat patung Shinzo Abe sedang berlutut di hadapan patung jugun ianfu tersebut, hal semacam ini di Asia khususnya di dalam budaya dan politik Asia Timur, adalah hal yang sangat memalukan, karena semua orang sangat mementingkan pamor atau harga diri, sehingga hubungan kedua negara kembali retak. Banyak industri di Korsel sebenarnya masih mengandalkan Jepang, termasuk banyak peralatan, bahan baku, dan sejumlah teknologi fundamental semi konduktor masih mengandalkan Jepang, jadi Jepang pun menempuh sanksi secara sepihak, dan tidak memasoknya kepada Korea Selatan, hubungan kedua negara pun semakin tegang, hingga setelah Yoon Suk-Yeol menjadi presiden, hubungan Jepang-Korsel baru mulai membaik, karena kedua negara harus menghadapi musuh bersama yang amat besar, ketakutan ini telah mengalahkan segala perselisihan yang ada.
KTT tiga negara kali ini, hal pertama yang diselesaikan adalah harus ada kerjasama militer, yaitu memastikan Haluan besar ini, lalu para pejabat militer baru bisa membahas masalah terkait. Masalah kedua adalah kepercayaan politik, antara AS dengan Korsel atau AS dengan Jepang, semua bisa dibicarakan, kuncinya ada pada mata rantai yang paling rapuh, yakni antara Korsel dengan Jepang, karena di negara demokrasi presiden akan berganti beberapa tahun sekali, sekarang sudah dibicarakan dengan Yoon Suk-Yeol, beberapa tahun lagi berganti presiden yang sayap kiri, atau karena sesuatu hal, perjanjian ini pun akan dihapus lagi, akankah timbul masalah ini, bagaimana memastikan aliansi dapat berlanjut pada sistem dan mekanisme yang sama? Masalah ini sangat penting, saya perkirakan inilah masalah utama yang mereka bahas.
Mekanisme Aliansi Militer AS-Jepang-Korsel Telah Terbentuk
Kepada “Pinnacle View” pemimpin redaksi The Epoch Times yakni Guo Jun menyatakan, negara Barat yang diketuai AS saat ini sedang menghadapi kelompok otokratis dengan PKT dan Rusia sebagai poros, dan kekuatan poros otokratis ini secara geografis justru tepat berada di kawasan Asia Timur Laut, AS-Jepang dan AS-Korsel memiliki kesepakatan pertahanan bersama, jadi kerjasama militer tiga negara ini, akan menjadi jaminan paling penting bagi keamanan regional Asia Pasifik. Tentu saja juga ada fokus tambahan, misalnya pasukan AS di Korsel sekitar 24.000 orang, dan di Jepang ada sekitar 38.000 orang, pasukan AS yang ditempatkan di seluruh dunia sekitar 180.000 orang, jadi di Jepang dan Korea Selatan saja sudah mencapai sepertiganya, ini menonjolkan pentingnya kawasan ini secara strategis.
Pasukan AS di Korsel didominasi AD dan AU, sedangkan di Jepang didominasi AL dan marinir. Jika Asia menjadi garis depan, di belakang pasukan AS masih ada armada Samudera Pasifik di Hawaii, sekitar 80.000 orang, Alaska juga merupakan negara bagian dengan pasukan AS terbanyak, sekitar 170.000 orang, didominasi AU dan pasukan reaksi cepat, sasaran seluruh pasukan tempur tersebut adalah mengincar Rusia dan PKT. Jadi saat ini terdapat tiga rantai pertahanan utama dalam strategi AS, mulai dari Korsel, Jepang, dan Taiwan sampai Filipina adalah yang disebut sebagai rantai pulau pertama, rantai pertahanan ini akan mencegah kekuatan militer RRT dan Rusia mendadak tiba di Samudera Pasifik. Strategi AS di Taiwan adalah, melakukan tanpa berkata-kata, AS-Taiwan ada kerjasama, tapi levelnya tidak tinggi, pasukan AS di Filipina selama ini boleh dibilang semu keberadaannya, tetapi sekarang mulai diaktifkan kembali, jadi sisi utara rantai pulau pertama, pada dasarnya harus mengandalkan Jepang dan Korea Selatan.
Di “Pinnacle View” Shi Shan menyatakan, aliansi militer AS-Jepang-Korsel sekarang ibaratnya anak panah yang sudah siap diluncurkan di busur, dan pada dasarnya telah terbentuk, kunci di baliknya akan tergantung pada seberapa besar sebenarnya ancaman militer yang akan ditimbulkan PKT? Semakin besar tekanan ini, aliansi militer AS-Jepang-Korsel akan terbentuk makin cepat, begitulah kondisi NATO pada masa itu, semakin besar ancaman Uni Soviet di Eropa, terbentuknya NATO pun semakin cepat. Saat ini AS-Jepang-Korsel hanyalah KTT pemimpin negara, pasca kepala negara tidak lagi mengadakan rapat tingkat tinggi, saat itulah aliansi militer berada pada kondisi paling tanggap, karena tidak perlu lagi dibicarakan oleh kepala negara, maka pada dasarnya yang dibicarakan adalah bagaimana para perwira dan pejabat teknis bekerjasama, pada saat itu situasinya akan sama sekali berbeda.
Itu sebabnya kita bisa menyaksikan latihan militer AS di kawasan Asia Pasifik, sekarang semakin lama semakin intens. Dulu saat kita melihat latihan perang AS-Jepang, atau latihan militer AS-Korsel, tapi kita sangat sulit melihat latihan perang AS-Jepang-Korsel, di masa pemerintahan Park Geun-Hye ada latihan penyelamatan bersama di laut, atau latihan militer bersama menyapu ranjau di laut, tetapi latihan militer bersama lainnya tidak pernah ada, karena ada simpul tak terurai antara Korsel dengan Jepang.
Dulu militer AS melakukan upaya amat besar untuk mengatasi hal ini, agar Korsel dan Jepang berbagi data intelijen, karena di saat perang, semua pihak harus berbagi berita intelijen, dan segala peralatan serta mekanisme informasi ini harus dihubungkan satu sama lain, antara AS-Jepang dan AS-Korsel ada mekanisme ini, tapi antara Jepang-Korsel tidak ada, jadi AS terus berupaya mewujudkan hal ini. Berita teranyar yang saya lihat adalah, dua bulan lalu Jepang dan Korsel telah membicarakan suatu kerangka untuk bekerjasama, jadi mekanismenya secara keseluruhan sedang didorong maju selangkah demi selangkah, dari tren saat ini saya memperkirakan, dibangunnya aliansi militer tidak akan terhindarkan lagi, NATO mini di Asia ini walaupun tidak disebut NATO, atau tidak disebut aliansi militer sekalipun, hal esensial di dalamnya telah ada, dengan kata lain bila perang terjadi, ketiga negara akan bekerjasama melawan musuh bersama-sama, begitulah karakteristik aliansi militer ini, dan sekarang telah menjadi semakin terlihat gamblang. (sud/whs)