Etindoenesia. Setelah menerima pengobatan sederhana COVID-19, warna mata bayi laki-laki berusia enam bulan dilaporkan berubah dari coklat tua menjadi biru cerah.
Bayi asal Thailand itu didiagnosis mengidap COVID-19 setelah dia menunjukkan gejala demam dan batuk selama sehari, seperti disebutkan dalam kasus yang diterbitkan dalam jurnal medis Frontier in Pediatrics.
Dokter telah meresepkan favipiravir kepada bayi tersebut sesuai dengan pengobatan antivirus yang disetujui Kementerian Kesehatan Masyarakat Thailand untuk anak-anak dengan gejala ringan hingga sedang. Namun, setelah 18 jam, ibu bayi tersebut menyadari bahwa mata putranya telah berubah warna. Karena khawatir, sang ibu mengunjungi profesional medis, yang memintanya untuk segera menghentikan pengobatannya, lapor New York Post.
Perubahan warnanya memudar setelah lima hari, dan mata bayi laki-laki itu kembali ke warna aslinya. Dokter juga memeriksa bayi tersebut dan menemukan bahwa kornea telah bersih, dan warna kebiruan telah hilang dari permukaan iris atau kapsul lensa anterior.
Meskipun para ahli masih belum mengetahui alasan di balik perubahan warna tersebut, mereka menduga fluoresensi (emisi cahaya yang diserap) mungkin disebabkan oleh metabolit obat atau komponen tablet tambahan seperti titanium dioksida dan oksida besi kuning.
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan langsung antara konsentrasi favipiravir dan intensitas fluoresensi, khususnya pada rambut dan kuku manusia.
Anak tersebut tidak mengalami kerusakan penglihatan apa pun dan berhasil pulih dari gejala COVID-19.
Hiperurisemia ringan (peningkatan kadar asam urat), diare, dan neutropenia (penurunan neutrofil sel darah putih) adalah efek samping paling umum dari favipiravir, yang menyebabkan sekitar 20 persen reaksi merugikan.
Namun, ini bukan perubahan warna kornea pertama akibat penggunaan favipiravir untuk pengobatan COVID-19. Pada tahun 2021, seorang pria India berusia 20 tahun melaporkan efek aneh dari pengobatan tersebut. Dia melihat mata coklat tua miliknya berubah menjadi biru cerah pada hari kedua pengobatan favipiravir. Dokter memerintahkan dia untuk menghentikan pengobatannya, dan matanya kembali normal setelah satu hari.
Beberapa negara, termasuk Jepang, Rusia, Ukraina, Uzbekistan, Moldova, dan Kazakhstan, telah menyetujui Favipiravir untuk pengobatan COVID-19, namun belum menerima lisensi FDA. Ini menerima persetujuan untuk penggunaan darurat di Italia pada tahun 2020.
Banyak peneliti Amerika Serikat berpendapat bahwa obat tersebut efektif untuk pengobatan COVID-19, karena beberapa penelitian menguji kemampuan obat tersebut untuk memerangi penyakit tersebut. Namun, Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) belum menyetujui favipiravir. (yn)
Sumber: wionews