NTD
Baru-baru ini, pemimpin Partai Komunis Tiongkok Xi Jinping memilih tidak menghadiri KTT G20 yang diadakan di India, yang menimbulkan perhatian besar dari dunia luar. Analisis beberapa orang pakar menyebutkan bahwa ketidakhadiran Xi dalam pertemuan penting tersebut berarti Beijing memilih untuk menutup diri dari hubungan dengan Barat dan sekutunya. Analisa juga menyebutkan, bahwa Xi Jinping saat ini berada dalam dilema yang cukup berat, di mana ia takut terjadi kudeta di dalam negeri ketika ia sedang berada di luar negeri, juga takut pesawat kepresidenan diserang oleh rudal ketika sedang terbang kembali ke Beijing.
KTT G20 diadakan di New Delhi, India pada 9-10 September. Pemerintah Tiongkok secara resmi mengumumkan bahwa Perdana Menteri Li Qiang yang akan menghadiri acara tersebut. Pemerintah Tiongkok tidak memberikan alasan ketidakhadiran Xi Jinping di KTT G20 sehingga memicu banyak spekulasi.
Belakangan ini, keberadaan Xi Jinping dan dinamika internal PKT menimbulkan banyak spekulasi dari dunia luar.
Misalnya pada Agustus, ketika banjir besar melanda sebagian besar wilayah Tiongkok, Xi Jinping dan anggota kabinetnya malahan seringkali menghilang. Di akhir Agustus, Xi Jinping pun absen dalam acara pidato penting para pemimpin bisnis yang dijadwalkan pada pertemuan BRICS di Johannesburg, Afrika Selatan. Ketika pertemuan tersebut, kebetulan terjadi insiden jatuhnya pesawat pribadi Prigozhin, pemimpin Wagner Group. Usai pertemuan, Xi juga tidak berani langsung terbang ke Beijing, tetapi singgah dulu ke Xinjiang untuk inspeksi katanya, baru pulang ke Beijing dengan naik kereta api.
Opini publik berkesimpulan bahwa Xi Jinping mungkin mengkhawatirkan keselamatan dirinya.
Li Jun, seorang produser TV independen, dalam “Pinnacle View” yang disiarkan NTDTV mengatakan, bahwa Xi Jinping sekarang sangat khawatir dengan apa yang akan dilakukan oleh orang-orang yang disebut-sebut sebagai orang yang benar-benar tidak setia kepadanya. Situasi di dalam tubuh PKT saat ini sangat tidak kondusif bagi Xi, Jadi jika dia tidak bisa benar-benar yakin terhadap orang-orangnya itu, ada kemungkinan untuk waktu yang lama dia akan semakin jarang berpartisipasi dalam kegiatan internasional.
Guo Jun, pemimpin redaksi “Epoch Times” dalam Forum yang sama mengatakan, bahwa di bawah sistem kediktatoran pribadi, ketika sang diktator tidak berada di dalam negeri, terutama saat kekuatannya dalam negeri tidak atau belum stabil, maka situasi di dalam negeri setelah ditinggal pergi ke luar negeri adalah sangat krusial. Dan itu yang terjadi terhadap diri Khrushchev, mantan pemimpin Uni Soviet ketika melawat ke luar negeri, di mana anggota Partai Komunis Uni Soviet lainnya tiba-tiba mengadakan pertemuan dan memecat Khrushchev. Mao Zedong tidak berani pergi ke luar negeri setelah pertengahan tahun 1950-an, dia juga mempertimbangkan hal ini.
Guo Jun menambahkan, karena kepala negara harus mengatur penanggung jawab sementara ketika dia pergi ke luar negeri untuk mengatasi hal-hal darurat. Namun pengaturan ini juga merupakan hal yang sangat berbahaya bagi kepala negara. Bagaimana jika orang tersebut ternyata tidak setia dan melakukan kudeta ?
Guo Jun percaya bahwa dalam sistem seperti di Tiongkok saat ini, ketika perekonomian tidak baik, lingkungan eksternal buruk, dan faksi kekuatan internal tidak stabil, sebenarnya sangat berbahaya untuk berkunjung ke luar negeri. Terutama akhir-akhir ini, karena tingginya tingkat sentralisasi, ketika satu-satunya cara efektif untuk mengubah status quo adalah melalui pembunuhan, maka situasinya menjadi lebih berbahaya.
Guo Jun mengatakan jika seseorang ingin bertindak untuk mengakhiri kekuasaan Xi Jinping, cara termudah adalah dengan menembakkan rudal ke pesawat yang ditumpangi Xi dan rombongannya. Dari sudut pandang saat ini, mungkin masalah tidak besar jika pesawat kepresidenan sedang berada di luar negeri, tetapi lain cerita saat pesawat itu berada dalam negeri Tiongkok atau di dekat perbatasan. Itu lebih berbahaya. Inilah sebabnya Xi Jinping singgah terlebih dahulu di Xinjiang ketika kembali dari menghadiri BRICS di Afrika Selatan, dan memilih naik kereta api ke Beijing. Yang pertama, adalah kekuasaan kembali ke tangannya begitu pesawat mendarat, dan penanggung jawab sementara yaitu wakilnya tidak lagi dibutuhkan. Alasan kedua adalah mengurangi risiko serangan rudal.
Mengenai dinamika abnormal Xi Jinping baru-baru ini, Katsuji Nakazawa, editor senior “Nihon Keizai Shimbun” dalam artikelnya yang dipublikasi pada 5 September menyebutkan, bahwa dirinya berpendapat “absennya” Xi Jinping di KTT G20 India terkait erat dengan pergolakan di internal PKT, di mana Xi Jinping berkonflik sengit dengan sesepuh PKT dalam pertemuan Beidaihe tahun ini.
Selain itu, alternatif pemisahan diri Xi Jinping dari G20 juga telah memicu diskusi hangat di kalangan politik Barat.
Reuters melaporkan pada 6 September bahwa diplomat dari negara-negara G20 yang ditempatkan di Tiongkok mengatakan bahwa ketidakhadiran Xi Jinping dalam KTT G20 menegaskan tren yang mengkhawatirkan di mana Beijing sedang menutup diri dari hubungan dengan Barat dan sekutunya.
Lebih dari selusin diplomat negara asing yang berbasis di Beijing mengatakan, bahwa semakin sulit bagi mereka untuk mengakses pejabat Partai Komunis Tiongkok dan sumber informasi tentang perekonomian Tiongkok.
Beberapa orang diplomat tersebut mengatakan, semakin sulit saat ini untuk mengatur rencana perjalanan pejabat asing yang mengunjungi Tiongkok dan cara wawancara dengan jurnalis.
Laporan tersebut mengutip Sun Yun, Direktur Program Tiongkok di lembaga pemikir “Stimson Center” yang berbasis di Washington, yang mengatakan bahwa Partai Komunis Tiongkok semakin menggunakan cara mengurangi kontak atau non-partisipasi dalam kegiatan terhadap negara-negara yang memiliki perbedaan pendapat dengannya.
Sun Yun mengatakan, dia juga mendengar bahwa diplomat Barat di Tiongkok memiliki akses yang semakin dibatasi terhadap kontak resmi, termasuk pembatasan keamanannya belakangan ini juga semakin “meningkat” dibandingkan masa lalu. (sin)