Omid Ghoreishi
Sampai sekarang, setiap saran hingga diskusi mengenai kemungkinan kebocoran sebuah laboratorium menyebabkan pandemi COVID-19 akan sangat merugikan oleh banyak outlet media yang dicap “teori konspirasi.” Bahkan muncul berbagai pelabelan mulai disinformasi hingga rasisme. Ada Apakah dengan serangan-serangan tersebut?
Alternatif untuk hipotesis virus berasal dari alami ini menerima lebih banyak pengakuan arus utama, setelah 18 ilmuwan terkemuka, di antaranya adalah seorang anggota Tabel Penasihat Sains COVID-19 Ontario, menerbitkan sebuah surat di majalah Science pada tanggal 14 Mei, mengatakan bahwa teori insiden laboratorium tidak boleh diabaikan. Selain itu, menyebutkan bahwa penyelidikan mengenai asal virus tersebut harus dilanjutkan.
Gagasan itu mulai berkembang pada pertengahan bulan Februari, setelah Kepala Organisasi Kesehatan Dunia -WHO- Tedros Adhanom Ghebreyesus bertentangan dengan laporan Organisasi Kesehatan Dunia mengenai asal usul virus.
Laporan itu memutuskan bahwa sebuah virus yang berasal dari laboratorium adalah “sangat tidak mungkin,” sementara Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan bahwa penyelidikan lebih lanjut diperlukan.
Penyelidikan WHO dirusak oleh kurangnya transparansi dari Beijing dan hubungan-hubungan Tiongkok yang dilaporkan dengan beberapa penyidik.
Pada bulan Mei, tampak lebih banyak pembalikan dari tren sebelumnya untuk menolak teori asal usul virus dari laboratorium, di mana Anthony Fauci, kepala Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular Amerika Serikat, mengatakan pada 11 Mei bahwa kini ia “tidak” yakin” bahwa virus tersebut berkembang secara alami.
Komentar-komentar Anthony Fauci adalah dalam menanggapi sebuah pertanyaan dari seorang anggota staf situs web pemeriksa fakta PolitiFact.
Beberapa hari kemudian, PolitiFact secara diam-diam mencabut sebuah pemeriksaan fakta yang dipublikasikan pada bulan September 2020, di mana pemeriksaan fakta tersebut dicap sebagai tidak akurat dan “teori konspirasi yang dibantah” atas klaim oleh seorang ahli virus Hong Kong pada saat itu bahwa COVID-19 berasal dari sebuah laboratorium.
Pada bulan Mei 2020, Anthony Fauci menepis teori kebocoran laboratorium dalam sebuah wawancara dengan National Geographic, mengatakan bukti tersebut “sangat mengusulkan” asal virus yang alami.
Pada tanggal 24 Mei, Vox mengubah sebuah catatan editor pada sebuah artikel bulan Maret 2020 yang mengklaim teori kebocoran laboratorium telah “dibantah,” menyatakan dalam pembaruannya bahwa “konsensus ilmiah telah bergeser.”
Dalam perkembangan-perkembangan terakhir, pada 25 Mei pemerintahan Joe Biden mengatakan bahwa seharusnya ada sebuah studi “transparan” baru mengenai asal virus tersebut. Kemudian pada tanggal 24 Mei, pemerintah Inggris mengatakan bahwa WHO harus “mengeksplorasi semua teori kemungkinan” mengenai asal virus itu.
Sebelumnya, 14 negara, termasuk Kanada dan Amerika Serikat, mengangkat masalah kekhawatiran mengenai studi WHO mengenai asal virus itu, meminta sebuah “analisis dan evaluasi yang transparan dan independen dalam pernyataan tanggal 30 Maret.
Mantan kepala Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Amerika Serikat, Robert Redfield mengatakan pada tanggal 26 Maret bahwa ia yakin virus tersebut berasal dari sebuah laboratorium Tiongkok.
Mengutip laporan intelijen Amerika Serikat yang sebelumnya tidak diungkapkan, sebuah Artikel Wall Street Journal yang diterbitkan pada tanggal 23 Mei melaporkan bahwa tiga peneliti dari Institut Virologi Wuhan Tiongkok mencari perawatan di rumah sakit dengan gejala-gejala mirip COVID pada November 2019—–sekitar sebulan sebelum munculnya “penderita pertama” yang diidentifikasi oleh rezim komunis Tiongkok.
Pengungkapan ini cocok dengan isi selembar fakta yang dirilis oleh Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, di hari-hari terakhir pemerintahan Donald Trump, yang mengatakan beberapa peneliti Institut Virologi Wuhan jatuh sakit pada musim gugur 2019 dengan gejala yang konsisten dengan COVID-19.
Beijing dengan cepat menolak klaim Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat pada bulan Januari, sebagai “teori-teori konspirasi,” yang menyebut lembar fakta tersebut sebagai “selembar kebohongan.”
Tetapi komunis Tiongkok bukanlah satu-satunya yang kembali ke pelabelan “konspirasi” selama pandemi. The New York Times, dalam sebuah postingan Twitter pada tanggal 3 Februari yang menautkan ke artikelnya dengan kunjungan tim WHO ke Institut Virologi Wuhan pada waktu itu, menulis, “Laboratorium [Institut Virologi Wuhan] menjadi fokus teori-teori konspirasi yang tidak berdasar yang dipromosikan oleh pemerintahan Donald Trump mengenai asal pandemi.”
Sebuah artikel oleh CNN pada hari yang sama berbunyi, “Sebuah tim para penyelidik WHO di Wuhan mengunjungi sebuah laboratorium pada hari Rabu yang telah menjadi fokus konspirasi dan spekulasi mengenai asal pandemi Coronavirus.”
Diskusi-Diskusi Parlemen
Pelabelan “konspirasi” dan tuntutan-tuntutan untuk mengakhiri setiap pertanyaan mengenai asal virus, bahkan meluas ke diskusi-diskusi di Parlemen Kanada.
Hal ini terjadi selama sebuah rapat komite parlemen Kanada-Tiongkok pada tanggal 10 Mei, di mana anggota parlemen berusaha untuk mendapatkan jawaban dari administrator Laboratorium Mikrobiologi Nasional di Winnipeg mengenai mengapa ilmuwan Xiangguo Qiu dan suaminya Keding Cheng, serta beberapa mahasiswa Tiongkok dikawal keluar dari Laboratorium Mikrobiologi Nasional pada tahun 2019.
Laboratorium Mikrobiologi Nasional, seperti laboratorium Wuhan, adalah sebuah fasilitas dengan peringkat Tingkat 4, tingkat keselamatan hayati tertinggi, dilengkapi untuk bekerja dengan penyakit-penyakit menular manusia dan binatang yang paling mematikan. Ini adalah satu-satunya laboratorium Tingkat 4 di Kanada.
Pada pertemuan tersebut, kritikus urusan luar negeri dari Partai Konservatif, Michael Chong berupaya membangun konteks mengenai kebutuhan anggota parlemen untuk rincian lebih lanjut.
Michael Chong mengatakan kepada komite tersebut, bahwa Beijing telah memblokir penyelidikan-penyelidikan mengenai asal-usul pandemi COVID-19. Ia juga menunjukkan bahwa Laboratorium Mikrobiologi Nasional, telah mengirim sampel-sampel virus Ebola dan virus Henipah yang mematikan ke Tiongkok “hanya delapan bulan sebelum sebuah pandemi global seolah-olah dimulai di kota yang sama,” dan bahwa Qiu telah melakukan perjalanan beberapa kali ke Laboratorium Keamanan Hayati Nasional Wuhan, yang adalah bagian Institut Virologi Wuhan.
Penyelidikan menambahkan bahwa Qiu dan Cheng, berada di bawah penyelidikan oleh pihak berwenang Kanada dan akhirnya dipecat karena pelanggaran-pelanggaran kebijakan.
“Paralel antara dua situasi ini adalah mengerikan. Kami tinggal di demokrasi parlementer dan kami menghadapi hambatan-hambatan yang sama untuk penyelidikan-penyelidikan kami sebagai penyelidik-penyelidik, menghadapi ketika mereka mencoba untuk menemukan asal mula pandemi COVID-19 di Tiongkok,” kata Michael Chong.
Selama poin-poin ketertiban, para anggota parlemen dari Partai Liberal mengatakan Michael Chong, menyinggung konspirasi-konspirasi dan keberatan dengan pernyataan Michael Chong yang menghubungkan masalah asal virus dengan penyelidikan ke laboratorium Winnipeg. Seorang anggota parlemen dari Partai Liberal mengatakan Michael Chong “meminjam dari beberapa teori paling liar di Facebook dan media sosial lainnya untuk menyatakan sesuatu.”
Menolak pelabelan konspirasi, Michael Chong mengutip sebuah kalimat dari Presiden Kelompok Eurasia, Ian Bremmer, yang mengatakan “apa pun kecuali seorang ahli teori konspirasi.”
“Keengganan Tiongkok untuk bekerja sama dengan WHO dalam menyelidiki asal-usul Coronavirus, telah membuat mustahil untuk membuktikan bagaimana penyakit tersebut muncul, sehingga mengaburkan tanggapan ilmiah. Memang, terlepas dari semua klaim konspirasi, teori bahwa COVID sebenarnya secara tidak sengaja dilepaskan dari sebuah laboratorium hayati Wuhan yang menyisakan keprihatinan yang amat sangat dan masuk akal,” kata Michael Chong mengutip Ian Bremmer.
Administrator Laboratorium Mikrobiologi Nasional Kanda, sejauh ini melanjutkan penolakannya untuk memberikan para anggota parlemen dengan perincian-perincian mengenai mengapa para ilmuwan dipecat dari satu-satunya fasilitas virologi Tingkat 4 di Kanada.
Makalah yang Berpengaruh
Salah satu dokumen yang paling berpengaruh di awal pandemi yang membentuk diskusi mengenai asal usul virus, adalah sebuah pernyataan yang diterbitkan oleh sekelompok ilmuwan dalam jurnal medis bergengsi The Lancet pada tanggal 19 Februari 2020. Berjudul “Pernyataan untuk mendukung para ilmuwan, para profesional kesehatan masyarakat, dan para profesional medis Tiongkok yang memerangi COVID-19,” kata dokumen tersebut: “Kami berdiri bersama untuk mengutuk keras teori-teori konspirasi yang menyatakan bahwa COVID-19 tidak berasal dari alam.”
Kelompok riset penyelidikan nirlaba Right to Know Amerika Serikat mengatakan dalam sebuah postingan bulan November 2020 bahwa, menurut yang diperoleh dokumen tersebut berdasarkan permintaan-permintaan catatan publik, para ilmuwan yang menulis naskah pertama dari pernyataan itu adalah Peter Daszak, kepala EcoHealth Alliance yang berbasis di New York.
Right to Know Amerika Serikat mengatakan bahwa, adalah para karyawan organisasi Daszak—yang telah menyalurkan dana pemerintah Amerika Serikat untuk penelitian Coronavirus di Institut Virologi Wuhan–—yang mengorganisir pernyataan itu.
Namun, pernyataan yang diterbitkan di The Lancet mengatakan, “Kami menyatakan tidak memiliki kepentingan untuk bersaing.”
“Peter Daszak adalah kurang kredibel karena surat The Lancet pada tanggal 19 Februari, bahwa Peter Daszak membuat naskah dan terorganisir secara salah mengklaim tidak ada konflik kepentingan,” kata cendekiawan Tiongkok Anders Corr, penerbit Journal of Political Risk dan seorang kontributor The Epoch Times, dalam sebuah email.
“Faktanya, organisasi Peter Daszak membantu mendanai penelitian di Institut Virologi Wuhan. Penelitian itu adalah mengenai Coronavirus.”
Peter Daszak juga merupakan bagian tim WHO yang melakukan sebuah misi pencarian fakta mengenai asal virus tersebut di Tiongkok awal tahun ini. Sedangkan Peter Daszak termasuk di antara para pakar WHO yang memicu kontroversi, karena hubungan mereka dengan Tiongkok. Selain menyalurkan uang Institut Kesehatan Nasional Amerika Serikat ke Institut Virologi Wuhan, organisasi milik Peter Daszak menerima uang Partai Komunis Tiongkok, kata Peter Daszak dalam sebuah konferensi pada tahun 2018 di sebuah konferensi yang disponsori oleh sebuah media pemerintah Tiongkok.
Peter Daszak tidak menanggapi permintaan komentar dari The Epoch Times.
Sementara itu, penulis dan jurnalis ilmiah, Nicholas Wade mengatakan bahwa jika virus tersebut “memang lolos dari penelitian yang didanai Peter Daszak, maka Dr. Peter Daszak akan berpotensi bersalah.”
Nicholas Wade menulis sebuah artikel panjang yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah yang disegani Bulletin of Atomic Scientists, di mana ia menetapkan alasan mengapa teori kebocoran laboratorium tidak dapat diabaikan.
‘Ilmiah yang Buruk’
Nicholas Wade selama bertahun-tahun adalah seorang anggota staf The New York Times dan jurnal ilmiah bergengsi Nature and Science. Ia mengatakan dokumen lain yang berpengaruh dalam membentuk wacana, mengenai asal usul virus tersebut dan menolak teori kebocoran laboratorium adalah sebuah surat tertanggal 17 Maret dari beberapa ilmuwan yang diterbitkan dalam jurnal Nature Medicine.
Surat itu menyajikan alasan para penulis untuk mengesampingkan alternatif apa pun untuk sebuah virus yang berasal dari alam.
Membantah alasan dalam surat itu, Nicholas Wade mengatakan, klaim-klaim itu adalah sebuah kasus “Ilmiah yang buruk.”
The Epoch Times menghubungi Kristian G. Andersen, penulis utama dari surat Nature Medicine, tetapi tidak mendapat tanggapan.
Nicholas Wade menulis bahwa surat-surat di The Lancet and Nature Medicine adalah lebih bersifat politis daripada ilmiah.
“Pernyataan-pernyataan itu dirancang untuk memiliki sebuah efek politik, bukan untuk menyajikan fakta-fakta ilmiah,” kata Nicholas Wade dalam sebuah email.
Di antara alasan-alasan mengapa asal alami virus belum dipastikan adalah bahwa para ilmuwan masih belum menemukan bukti awal infeksi virus dari binatang ke manusia.
“Spesies pejamu perantara SARS1 diidentifikasi dalam waktu empat bulan wabah epidemi, dan spesies pejamu perantara MERS diidentifikasi dalam waktu sembilan bulan. Namun sekitar 15 bulan setelah pandemi SARS2 [SARS-CoV-2, yang menyebabkan penyakit COVID-19] dimulai, dan setelah sebuah pencarian yang agak intensif, para peneliti Tiongkok gagal menemukan populasi kelelawar asli, atau spesies perantara tempat batu loncatan bagi SARS2, atau bukti serologis apa pun bahwa setiap penduduk Tiongkok, termasuk penduduk Wuhan, pernah terpapar virus tersebut sebelum bulan Desember 2019,” kata artikel Nicholas Wade.
Nicholas Wade mengatakan, bagian masalah yang menyebabkan banyak media cepat menolak teori apa pun, selain sebuah kejadian alami adalah bahwa, tidak seperti para reporter politik, para reporter ilmiah tidak sepenuhnya waspada terhadap motif-motif sumbernya.
Alasan lain, tambah Nicholas Wade, “adalah migrasi sebagian besar media ke arah kiri dari spektrum politik.”
“Karena Presiden Donald Trump mengatakan virus tersebut telah lolos dari sebuah laboratorium Wuhan, para editor memberi gagasan itu sedikit kepercayaan,” kata Nicholas Wade.
Akses Data Ditolak
Banyak ilmuwan dan cendekiawan Tiongkok, berulang kali meminta Beijing untuk mengizinkan penyelidikan yang tepat mengenai asal usul virus tersebut, yang akan membantu mengakhiri spekulasi yang memecah belah.
Tetapi, Anders Corr mengatakan rezim Tiongkok mampu mengarahkan narasi mengenai asal-usul virus tersebut dengan cara menolak akses ke data dasar.
“Para penyelidik dan ahli virologi forensik kami, belum memiliki akses penuh ke data yang tersedia di Tiongkok. Apa yang mereka lihat adalah terlalu sering apa yang diinginkan Partai Komunis Tiongkok untuk mereka lihat,” kata Anders Corr.
Anders Corr menerangkan : “Jadi, ketika para penyelidik kami pergi dari sebuah penyelidikan di Tiongkok dengan mengatakan, ‘sebagian besar bukti menunjukkan bertentangan terhadap hipotesis kebocoran laboratorium, dan oleh karena itu hipotesis kebocoran laboratorium kemungkinan adalah tidak benar, ‘mereka tidak menggunakan metodologi ilmiah yang baik.”
Marcus Kolga, seorang rekan senior di Institut Macdonald-Laurier yang berbasis di Ottawa dan seorang ahli disinformasi, mengatakan rezim-rezim seperti yang ada di Tiongkok dan Rusia, memiliki departemen-departemen dengan ribuan orang yang didedikasikan untuk penciptaan dan penguatan disinformasi.
“Tentu saja, Partai Komunis Tiongkok berkepentingan untuk mempromosikan narasi apa pun yang meragukan asal usul virus tersebut,” kata Marcus Kolga kepada The Epoch Times.
“Jika virus tersebut memang berasal dari tempat lain selain berasal dari sebuah pasar basah atau tempat lain, saya yakin Partai Komunis Tiongkok akan memperkuat narasi apapun yang akan meragukannya.”
Marcus Kolga menambahkan bahwa di awal pandemi, rezim Tiongkok menyembunyikan informasi mengenai virus tersebut. Bahkan, tidak mengambil tindakan yang tepat untuk menghentikan penyebaran virus tersebut.
“Jika rezim Tiongkok bertindak lebih awal, kita dapat menyelamatkan jutaan nyawa.” ujar Marcus.
Tuduhan-Tuduhan Rasis Adalah Sebuah Taktik Politik
Cara lain rezim Komunis Tiongkok memengaruhi percakapan mengenai pandemi, Marcus Kolga mengatakan, adalah melabeli setiap kritik atas perilaku rezim Tiongkok terhadap pandemi sebagai rasis.
Marcus Kolga mengatakan, Partai Komunis Tiongkok mempelajari taktik ini dari Uni Soviet, yang melabel siapa pun yang mengkritik Uni Soviet sebagai seorang fasis atau neo-Nazi.
“Rezim-rezim ini memahami bahwa kita adalah sangat sensitif terhadap tuduhan-tuduhan rasisme karena keragaman dan toleransi yang luas yang kita miliki di negara ini. Dan kemudian rezim-rezim ini terlibat dalam penggunaan label dan tuduhan semacam itu untuk mendiskreditkan setiap kritik terhadap rezim-rezim itu,” kata Marcus Kolga.
Pemilik bar yang berbasis di London, Ontario, Alex Petro, menjadi sasaran cemoohan oleh beberapa laporan media dan politisi setempat, mengenai sebuah tanda yang ia pasang di barnya yang menyebut virus itu sebagai “virus Tiongkok.” Kritik tersebut tidak mereda, bahkan setelah ia mengklarifikasi bahwa tanda tersebut adalah untuk mengkritik rezim komunis Tiongkok, yang menindas orang-orang Tiongkok, dan bahwa ia mencintai rakyat tiongkok.
Upaya ini untuk memberikan kritik rasis terhadap Tiongkok, atas penanganannya terhadap wabah virus telah muncul di iklan media sosial oleh media negara Tiongkok yang dilihat oleh jutaan orang.
Ada juga upaya-upaya oleh para pejabat Tiongkok untuk menyalahkan virus tersebut untuk negara tertentu, termasuk sebuah klaim oleh juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Zhao Lijian, bahwa virus itu berasal dari Amerika Serikat dan dibawa ke Wuhan oleh Angkatan Darat Amerika Serikat. Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat memanggil
Duta Besar Amerika Serikat atas kejadian tersebut.
Laporan baru-baru ini oleh Federasi Jurnalis Internasional yang berbasis di Brussel mengatakan bahwa, Beijing menggunakan infrastruktur media globalnya “untuk menanamkan narasi-narasi positif” mengenai Tiongkok di media nasional, serta memobilisasi lebih banyak taktik seperti informasi.”
Anders Corr mengatakan bahwa, selain upaya-upaya Partai Komunis Tiongkok, label-label rasisme juga merupakan sebuah hasil pengaruh komunis dan sosialis di Barat.
“Pengaruh komunis secara lebih umum—–beberapa di antaranya telah menjadi organik untuk masyarakat Barat dan beberapa di antaranya menaungi ke dalam bentuk demokrasi sosialisme—–telah bersekutu secara elektoral dengan politik identitas menjadi hiperkritis terhadap isu-isu ras, gender, seksualitas, pascap-kolonial, dan kelas,” kata Anders Corr.
Melakukan Pemeriksaan Fakta yang Benar
Marcus Kolga mengatakan, selain ekstrem kiri, ekstrem kanan juga merupakan sebuah target informasi sesat, di mana rezim-rezim seperti di Tiongkok dan Rusia mempromosikan teori-teori konspirasi untuk mempolarisasi masyarakat dan menyebabkan kebingungan. Hal ini juga dapat mendorong suara-suara yang sah di bawah label yang sama, untuk meragukan argumen-argumen yang valid.
Saran yang mapan untuk melawan informasi sesat, adalah untuk memeriksa sumber-sumber yang andal. Selain itu, untuk menghindari hanya mengandalkan informasi di media sosial, di mana Tiongkok dan Rusia, termasuk di antara negara-negara yang diketahui melakukan kampanye-kampanye informasi sesat yang utama.
Tetapi ketika banyak media mapan terpengaruh oleh disinformasi, masalah menjadi lebih menantang.
Marcus Kolga menganjurkan agar para jurnalis, melakukan pengecekan fakta yang tepat dari semua klaim-klaim dan juga diberitahu mengenai latar belakang para ahli yang mereka ajak bicara.
“Periksa latar belakang mereka, dan di mana mereka terhubung,” kata Marcus Kolga. (Vv)