Li Yingying dan Yifan
Seorang ayah bernama Albert sama sekali tidak menyangka, putrinya yang masih remaja setelah mengenal teman dari kalangan transgender, dalam waktu satu dua bulan telah melihat ribuan film tentang transgender. Sejak saat itu putrinya berusaha mengubah kelaminnya. Albert dan istri melakukan upaya berkali-kali lipat, hingga pada akhirnya berhasil menarik kembali putrinya dari jalan yang menyimpang itu.
Belum lama ini Albert telah berbagi pengalaman pahitnya tersebut dengan surat kabar The Epoch Times, serta berbagi pemikirannya terhadap kondisi masyarakat saat ini. Ia berharap kisah ini dapat menjadi peringatan dan membantu keluarga-keluarga lainnya.
Albert yang berdiam di California, AS, adalah seorang CEO pada sebuah perusahaan yang baru saja didirikan, istrinya adalah seorang guru. Mereka hanya memiliki seorang putri yang tahun ini berusia 15 tahun.
Sekitar satu tahun lalu, pada saat mengikuti semacam homeschool programme, putrinya telah mengenal seorang teman transgender. Putrinya sangat terpengaruh temannya itu, dan mulai berhubungan dengan ideologi transgender.
Dalam satu dua bulan setelah itu, Hanna telah menyaksikan ribuan film tentang transgender di YouTube. “Suatu kali saya menemukan, dalam satu hari dia telah meng-klik lebih dari 700 film mengenai transgender. Dalam waktu begitu singkat anak saya telah melihat begitu banyak konten transgender, sungguh sulit dipercaya”, sesal Albert.
Waktu itu, kedua suami istri tersebut dengan tegas melarang putrinya menggunakan internet, tetapi tak disangka tak lama setelah itu Hanna malah memutuskan untuk bunuh diri.
Setelah diberikan pertolongan darurat, nyawa Hanna dapat diselamatkan, tapi karena masalah kesehatan psikologis, Hanna harus dirujuk ke fasilitas kesehatan jiwa. Setelah putrinya itu dirawat selama satu minggu lalu ketika sesampainya di rumah, kepada kedua orang tuanya si anak perempuan berkata dia merasa dirinya adalah seorang anak laki-laki, dan ingin melakukan transgender. Albert dan istrinya terkejut bukan main, sebelumnya mereka pernah mendengar hal semacam ini, namun tidak pernah menyangka di suatu hari akan terjadi pada anak mereka.
Keduanya mulai mencari cara pertolongan. Dengan cepat mereka mendapati, fenomena transgender adalah semacam penyakit menular sosial, pemikiran transgender pada putrinya telah “ditularkan” oleh teman transgendernya dan internet.
Psikiater anak dan remaja bernama Miriam Grossman pernah menunjukkan, penularan sosial adalah semacam fenomena perasaan atau perilaku yang menyebar di tengah kelompok orang yang seusia, biasanya menyebar di kalangan remaja, terutama remaja putri. Dalam ilmu psikiatri, pernah terjadi sejumlah kasus penularan sosial, misalnya bunuh diri, menyakiti diri (self-harm), dan gangguan makan. Dia berkata, “Tidak heran ada sekumpulan anak perempuan, mereka mengenal teman di sekolah atau melalui internet, kemudian bersama-sama pergi ke lembaga keluarga berencana (Planned Parenthood Federation of America atau PPFA, red.) atau ke klinik gender untuk disuntik hormon testosteron.”
Membantu Anak Menjauhi Sumber Penularan
Demi membantu putri mereka, Albert dan istrinya melakukan klasifikasi untuk menanganinya.
Contohnya, Hanna memiliki kecenderungan bunuh diri, apa yang harus dilakukan? Albert menyatakan, untuk menstabilkan emosinya, awalnya diberikan obat anti-depresi, dan langsung mengeluarkannya dari pelajaran homeschool programme tersebut, agar memutus hubungannya dengan teman transgendernya itu.
Kemudian, mereka mengirim sang putri ke sebuah sekolah Kristen swasta, dan memasuki lingkungan sekolah yang tidak memuja ideologi transgender. “Beruntung di sana tidak ada transgender lain, Hanna telah mendapatkan sejumlah teman baru, dan semuanya berjalan lancar”, kata Albert lega.
Mereka juga aktif berkomunikasi dengan para guru, dan meminta pihak sekolah untuk tetap mempertahankan jenis kelamin Hanna yang sesungguhnya, serta namanya pada saat lahir.
Di saat yang sama, agar putri mereka menjauhi lingkungan internet yang merusak, Albert dan istri membatasi Hanna hanya boleh menggunakan internet selama 15 menit, serta mengawasi semua mesin pencarinya. Mereka juga sangat berhati-hati dalam memilih acara televisi yang ditonton putrinya.
Mengajak Putrinya Melakukan Hal Positif
Pasutri itu berusaha sebanyak mungkin berkomunikasi dengan Hanna, dan sebisa mungkin mengajaknya melakukan aktivitas yang positif.
“Kami telah membeli seperangkat alat memanah, dengan begitu kami bisa berolahraga memanah bersama. Kami juga membelikannya bebek, dengan demikian dia bisa merawat bebek itu.” Selain itu, Albert juga mencarikan sebuah pekerjaan bagi Hanna, agar dia dapat membeli tiket pesawatnya sendiri ke Alaska, dan mereka sekeluarga berwisata bersama.
“Semuanya itu adalah hal yang sangat positif, menurut saya segala sesuatunya itu telah memperbaiki kesehatan jiwanya”, kata Albert.
Mencari Dokter Terapi Yang Bisa Diandalkan
Albert berpendapat, akibat perubahan sosial, bagi sebuah keluarga dalam membantu anak menjauhi jalan transgender adalah sangat menyendiri, sebab tidak ada orang yang dapat dipercaya.
“Kalangan medis sekarang ini hampir seluruhnya telah dikendalikan oleh ideologi transgender, dokter psikologi akan menganjurkan agar anak melakukan perawatan penegasan identitas gender (Gender Affirming Care, red.), dan menganjurkan anak agar pergi ke klinik gender untuk disuntik testosteron.” Kata Albert, Ketika para dokter mendapatkan pelatihan akan diberitahu bahwa apabila ada pasien datang untuk berkonsultasi masalah jenis kelamin, perlakuan terbaik adalah menegaskan transgender mereka.
Albert sangat berhati-hati dalam memilih terapis bagi putrinya, “Beruntung kami telah menemukan seorang dokter yang langka, dia bersedia mendengarkan suara hati kami, dan telah membantu anak kami.” Hanna telah membangun hubungan yang sangat dekat dengan sang terapis, juga menjalani pengobatan yang sesuai, hanya saja biayanya sangat mahal, dalam setahun telah menghabiskan 12.000 dolar AS (187 juta rupiah).
Sebenarnya sangat sulit bagi Albert dalam menemukan terapis ini, awalnya dokter yang ditemui pada dasarnya adalah tipe yang bersahabat pada LGBTQ dan mendukung transgender, bahkan di situs internetnya disematkan bendera pelangi (simbol yang diadopsi oleh para LGBTQ, Red.). Akhirnya Albert memiliki dokter ini karena tidak menuliskan apa-apa di situs internetnya. Albert yang cerdik menyadari, “Tidak mengatakan apapun lebih menegaskan pemikiran sang terapis.”
Membaca dan Membantu Pertumbuhan
Sejak saat itu, emosi Hanna tidak lagi bersedih dan depresif. Dia semakin mencurahkan perhatian pada kehidupannya, tidak lagi berkutat pada masalah jenis kelamin, sekarang dia bahkan menyukai seni dan ketertarikan lainnya. Seiring dengan perbaikan kesehatan mentalnya, Albert mulai menganjurkan putrinya membaca buku, untuk membantu tumbuh kembangnya. “Saya membantunya memahami sejarah, dan mengaitkan pengetahuan ini dengan ideologi transgender, berharap agar pada suatu ketika, dia dapat memperoleh kesimpulannya sendiri, dan dapat melihat betapa kacaunya pemikiran (transgender) semacam ini.”
Albert beranggapan, hingga saat ini, putrinya belum sepenuhnya keluar dari permasalahan, karena terkadang dia masih berpakaian seperti anak laki-laki. “Kami akan terus menciptakan lingkungan yang sesuai baginya, berharap lewat terapi, dan pengalaman hidup yang aktif, pada akhirnya dapat membantunya keluar dari kesulitan ini.”
Anak Melakukan Transgender, Orang Tua Menanggung Beban
Keseluruhan proses ini memberikan beban mental yang teramat besar bagi Albert dan istri.
“Beban kami sangat besar, merasa cemas, tertekan, marah, dan sendirian. Itu sebabnya setiap hari saya mengandalkan meditasi dan mencurahkan perhatian pada latihan pelaksaan menstabilkan emosi saya, di saat yang sama mengkonsumsi obat-obatan kejiwaan.” Kenang Albert.
Albert tidak berani memublikasikan masalah ini di media sosial, karena khawatir akan berpengaruh pada pekerjaannya. “Walaupun saya banyak memahami (masalah transgender), tapi saya tidak akan membahasnya secara terbuka di media sosial, karena akan kehilangan pekerjaan.”; “Walaupun berganti perusahaan baru, mereka pun akan memeriksa media sosial saya. Begitu mendapati sikap saya terhadap ideologi transgender, saya akan dicap sebagai ‘paranoid’ dan ‘transphobia’. Betapapun hebatnya kemampuan saya, mereka tidak akan mempekerjakan saya.” Tutur Albert.
Albert menyebutkan, buruknya kondisi sekarang membuat orang sulit percaya, inilah realita yang dialami di banyak negara Barat.
Himbauan Albert
Dalam wawancara itu, Albert menyimpulkan pengalaman dan hikmahnya, ia ingin memberikan saran bagi para orang tua, dan memberikan bekal penyembuhan bagi orang lain. Ia menyatakan, semakin orang tua meyakini status transgender anak, maka anak akan semakin sulit melangkah keluar. “Dari kelompok para orang tua, kami memahami bahwa masalah yang paling gawat adalah memanggil anak dengan gender baru atau nama barunya.” Itu sebabnya Albert dan istrinya bersikukuh memanggil Hanna dengan nama gender asli saat kelahirannya.
Selain itu, pemikiran transgender pada masyarakat ada dimana-mana, jangan sampai membiarkan anak berkumpul bersama pada transgender, karena mereka akan menulari diantara kalangan anak-anak. Tak terkecuali, internet yang berbahaya itu sedang menimbulkan dampak yang sangat besar. “Hanna hanya membutuhkan waktu satu dua bulan menyaksikan film-film itu dan langsung terperosok ke dalamnya, tetapi kami harus menghabiskan waktu berbulan-bulan bahkan tahunan baru bisa menyelamatkannya, ini adalah semacam ketimpangan yang sangat gila”, kata Albert. “Jangan mengira anak Anda tidak rapuh. Hal terbaik yang dapat Anda lakukan adalah segera memutus hubungan internetnya, agar mereka menjauh dari para transgender, mengisolasi mereka dengan sumber penularan itu.”
Dari sudut pandang psikologis, Albert menganalisa, anak pada usia remaja paling mudah terpengaruh. Hanna sedang dalam masa pubernya, ditambah lagi pengalaman yang tidak menyenangkan dengan teman cowoknya serta luka di hati pada masa kanak-kanak, sehingga ia merasa tidak nyaman dengan tubuhnya sendiri.
Pada saat itu, dia terpengaruh oleh teman dan internet, dan diberitahu jika berubah menjadi anak laki-laki, maka masalah seperti itu akan dapat terselesaikan. “Saya merasa semua faktor itu terakumulasi menjadi satu, dan membuatnya mulai mempertimbangkan menjadi transgender.”
Maka dari itu, akan sangat membantu jika orang tua memberikan lingkungan yang baik kepada anak. Di saat yang sama harus sebisa mungkin menyelesaikan kegalauan sosial mereka, dan membantu mereka mengobati duka lara di hatinya.
Albert menunjukkan, ini adalah sebuah krisis sosial, yang merupakan krisis yang dihadapi hampir di setiap negara Barat di dunia zaman now, adalah salah satu tantangan peradaban yang sedang kita hadapi! Jadi, saat memilih dokter terapi bagi anak, orang tua harus berhati-hati, jangan percaya begitu saja pada para professional apapun.
“Sekarang sangat sulit mencari terapis dan psikolog yang mau memberikan bantuan, sementara anak Anda sedang berada di atas konveyor yang menuju terapi menjadi transgender, disana mereka akan menghadapi tantangan seumur hidup: Seorang remaja yang bertubuh sehat, akan diangkat organ reproduksinya, atau diangkat payudaranya, dan disuntik hormon, sementara kesemuanya itu tidak dilakukan penghambatan.” Tegasnya dengan sangat geram.
Dalam keseluruhan proses dalam membantu sang putri, Albert juga secara bersamaan telah melihat suatu sisi positif, telah melihat secercah cahaya terang, “Ada sebagian orang mulai menyerukan dengan lantang agar para orang tua bersatu, dan berusaha menyelamatkan anak-anak mereka.” Imbuh Albert.
“Saya mencintai putri saya, saya percaya dia berpotensi tumbuh menjadi wanita yang benar-benar hebat, yang memiliki kebijaksanaan dan wawasan yang kaya dan kritis. Jika seluruh masyarakat bisa disembuhkan, maka kita akan menemukan potensi manusia, menemukan keindahan setiap insan yang dibawa sejak lahir. Kita dapat menemukan cinta di tengah masyarakat. Jika memungkinkan, kita bisa mulai menapak jalan yang benar,” pungkasnya. (sud/whs)