Luo Tingting
Selama tiga tahun pengendalian epidemi menyebabkan resesi ekonomi Tiongkok, lingkungan kerja semakin memburuk, semakin banyak anak muda ingin melarikan diri dari Tiongkok, memilih untuk menetap di luar negeri, Chiang Mai sebuah kota yang berbiaya rendah, telah menjadi pilihan pertama bagi warga Tiongkok.
Connie Chen, 26 tahun, awalnya adalah seorang pegawai sebuah bank di Shanghai. Dia memiliki pekerjaan yang stabil dan gaji yang tinggi. Namun, pengalaman lockdown di Shanghai selama epidemi dan kemerosotan ekonomi Tiongkok membuatnya merasa bingung tentang prospek hidupnya di masa depan.
Connie mengatakan kepada AFP bahwa untuk mengubah kondisi kehidupan mereka saat ini, dia dan suaminya mengajukan visa belajar setahun di Thailand dan secara resmi pindah ke Chiang Mai, Thailand pada Mei tahun ini.
Dibandingkan dengan negara-negara Eropa dan Amerika, Thailand menawarkan berbagai jenis visa jangka panjang, termasuk kursus bahasa setahun, yang biayanya hanya US$700 hingga US$1.800.
Chiang Mai adalah kota terbesar kedua di Thailand, dengan harga murah dan kehidupan yang lambat.
Connie dan suaminya saat ini mengandalkan tabungan untuk mempertahankan hidup mereka, namun mereka memutuskan untuk tidak kembali ke negaranya dan tinggal selamanya di luar negeri.
“Ada begitu banyak peluang di luar sana, dan saya merasa penuh harapan,” kata Connie.
Sejak awal tahun ini, penelusuran untuk “imigrasi” di aplikasi perpesanan Tiongkok WeChat telah melonjak, mencapai 510 juta dalam satu hari di Oktober dan lebih dari 300.000 untuk “imigrasi ke Thailand” pada akhir Januari.
Yin Wenhui, 31 tahun, tinggal di Chiang Mai selama epidemi. Dia tidak ingin kembali ke Tiongkok dan menghadapi tekanan pekerjaan dari keluarga dan teman-temannya, jadi dia membuka hotel di Chiang Mai bersama teman-temannya.
Dia pergi ke gym setiap hari, memasak makanannya sendiri, dan belajar bermain gitar. Namun, lambatnya kehidupan membuatnya merasa sedikit bosan, ia ingin pergi ke negara yang lebih maju, “di mana budaya, pekerjaan dan upahnya lebih baik daripada di Tiongkok atau Chiang Mai.”
Banyak keluarga Tiongkok yang memiliki anak juga memilih pindah ke Thailand, membeli rumah mewah, menyekolahkan anaknya ke sekolah internasional Thailand dan kemudian menetap di Thailand bersama keluarganya.
Reuters pernah melaporkan bahwa agen real estat Thailand Owen Zhu mengatakan bahwa di masa lalu, pembeli Tiongkok terutama membeli rumah untuk investasi, tetapi “setelah epidemi, situasinya telah banyak berubah. Kebanyakan orang Tiongkok memilih membeli apartemen mewah untuk ditinggali.”
Dia mengatakan bahwa banyak pelanggan Tiongkok berharap untuk membeli apartemen mewah senilai RMB.2 juta di Bangkok.Uang ini hanya dapat membeli rumah sederhana di kota-kota tingkat pertama Tiongkok dan lokasinya mungkin tidak terlalu bagus. Oleh karena itu, beberapa di antara mereka akan menjual rumah di Tiongkok dan membeli properti di sini untuk masa pensiun.”
Reuters menyebutkan, motivasi masyarakat Tiongkok membeli properti di luar negeri bukan hanya karena harapan akan keamanan jika terjadi epidemi serupa, tetapi juga rasa tidak aman terhadap risiko perekonomian dalam negeri Tiongkok.
Pasca merebaknya epidemi, perekonomian Tiongkok semakin memburuk dan masyarakat Tiongkok pergi ke luar negeri untuk mencari pekerjaan. Selain Thailand, Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan Malaysia yang relatif dekat dengan Tiongkok, semuanya menyukai negara-negara tersebut.
Menurut informasi dari Kementerian Kehakiman Korea Selatan, dalam lima tahun terakhir (2018-2022), 1,799 orang asing telah disetujui untuk imigran investasi kesejahteraan masyarakat, dimana 1,274 orang di antaranya adalah orang Tiongkok terhitung 70.8%.
Pada 29 Juni lalu, Kementerian Kehakiman Korea Selatan mengeluarkan “Rencana Peningkatan Sistem Imigrasi Investasi Kesejahteraan Masyarakat”, yang meningkatkan standar jumlah investasi bagi orang asing untuk memperoleh kualifikasi tempat tinggal dan tempat tinggal permanen sebanyak 2 hingga 3 kali lipat.
Selain itu, kini semakin banyak orang-orang Tiongkok yang berimigrasi ke Jepang. Menurut data yang dirilis oleh Layanan Imigrasi dan Kediaman Jepang, pada akhir tahun 2022, jumlah orang asing yang tinggal di Jepang untuk pertama kalinya melebihi 3 juta yang merupakan rekor tertinggi. Di antara mereka, orang-orang dari Tiongkok menyumbang proporsi terbesar, melebihi 760.000 orang.
Selain itu, sejumlah besar orang Tiongkok telah berdatangan ke Amerika Serikat melalui metode “jalur kawat” yang berbahaya. Menurut data dari Layanan Imigrasi Panama, jumlah imigran Tiongkok yang melintasi rute paling berbahaya “Celah Darién” setiap bulan meningkat secara bertahap pada tahun ini, dari 913 pada Januari menjadi 2.588 pada September.
Dalam sembilan bulan pertama tahun ini, otoritas imigrasi Panama mencatat 15.567 orang Tiongkok melintasi hutan, menjadikan mereka kelompok terbesar keempat setelah warga Venezuela, Ekuador, dan Haiti. Sebagai perbandingan, 2.005 warga Tiongkok melakukan perjalanan melalui hutan pada tahun 2022, dan antara tahun 2010 dan 2021, totalnya hanya 376 orang.
Banyak warga Tiongkok yang mengakses internet mengatakan kepada media bahwa mereka dianiaya dan ditekan oleh pemerintah PKT, kehilangan kebebasan, dan tidak memiliki cara untuk membela hak-hak mereka, jadi mereka mengambil risiko dan meninggalkan Tiongkok, berharap untuk memulai hidup baru di Amerika Serikat yang bebas.
Xiang Biao, antropolog sosial di Institut Max Planck untuk Antropologi Sosial di Jerman, mengatakan kepada AFP bahwa masyarakat Tiongkok saat ini berbeda dari masa lalu. Mereka ingin meninggalkan kampung halaman sepenuhnya. Mereka tidak mencari keuntungan di luar negeri, tetapi ingin menjalani kehidupan yang lebih layak dan bermartabat. (Hui)