oleh Chen Ting
Pentagon menyatakan bahwa ada lebih dari 20 negara yang setuju untuk bergabung dengan aliansi baru pimpinan AS dalam melindungi lalu lintas komersial di Laut Merah dari serangan kelompok bersenjata Houthi.
Pada Kamis (21 Desember), juru bicara Pentagon Pat Ryder mengatakan pada sebuah konferensi pers, bahwa ada 10% hingga 15% pelayaran dunia yang melewati Laut Merah, dan “serangan oleh angkatan bersenjata Houthi ini berdampak negatif terhadap perekonomian di seluruh dunia, dan merugikan perusahaan pelayaran komersial hingga miliaran dolar”.
Ryder mengatakan bahwa sejauh ini, lebih dari 20 negara telah menandatangani perjanjian partisipasi dalam “Operation Prosperity Guardian” yang dipimpin oleh Amerika Serikat.
“Dalam beberapa hari mendatang, Amerika Serikat akan terus berkonsultasi erat dengan sekutu dan mitra kami yang juga mendukung prinsip-prinsip dasar kebebasan navigasi, dan kami berharap aliansi ini terus membesar,” katanya.
Pada Senin, Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin mengumumkan peluncuran Operation Prosperity Guardian di Bahrain. Inisiatif yang berfokus pada keamanan di perairan Laut Merah dengan meningkatan patroli ini dipimpin oleh Satuan Tugas 153 Pasukan Maritim Gabungan.
Selama kunjungan minggu ini ke Timur Tengah, Menhan Austin tidak hanya bertemu dengan para pemimpin Kuwait, Bahrain, Qatar dan Israel, tetapi juga mengadakan pertemuan virtual tingkat menteri di Bahrain. Pesertanya termasuk para menteri, menteri pertahanan dan pejabat senior dari 40 lebih negara, serta perwakilan dari Uni Eropa dan NATO untuk membahas masalah meningkatnya ancaman keamanan di Laut Merah.
Ryder mengatakan bahwa setiap negara yang bergabung dalam aliansi yang disebut “koalisi yang bersedia” atau “koalisi sukarelawan” akan memberikan bantuan sesuai kemampuan masing-masing.
“Setiap negara akan menyumbangkan apa yang mereka bisa”. Ryder mengatakan bahwa bantuan dari beberapa negara mungkin berupa aset militer seperti kapal dan pesawat terbang, dan beberapa negara mungkin berupa personel dan jenis dukungan lainnya.
Krisis Laut Merah ini bermula dari perang antara Israel dan Hamas yang berkobar setelah militan Hamas melintasi perbatasan Gaza ke Israel selatan pada 7 Oktober tahun ini, kemudian membunuh sekitar 1.200 orang yang sebagian besar adalah warga sipil Israel dan orang asing.
Sejak pecahnya konflik Israel – Hamas, proksi Iran termasuk Houthi dan Hizbullah Lebanon telah menembakkan roket ke Israel.
Sementara itu, Houthi meningkatkan serangan di Laut Merah, mengancam akan menyerang semua kapal yang berlayar menuju Israel.
Serangan tersebut juga mengacaukan pelayaran yang melalui Terusan Suez yang menghubungkan Eropa dengan Asia, menyebabkan biaya pengiriman peti kemas meningkat tajam karena perusahaan pelayaran terpaksa mencari rute lain yang lebih panjang demi keamana barang yang diangkut.
Langkah-langkah tanggapan yang diambil oleh angkatan laut Amerika Serikat, Inggris dan Perancis adalah dengan menembak jatuh drone dan rudal angkatan bersenjata Houthi, namun beberapa kritikus percaya bahwa tindakan defensif ini tidak cukup untuk mencegah angkatan bersenjata Houthi terus melancarkan serangan.
“Houthi tidak hanya menyerang satu negara, sasaran serangan mereka adalah komunitas internasional”, kata Ryder.
“Mereka menyerang kesejahteraan ekonomi dan kemakmuran negara-negara di seluruh dunia. Jadi, sebenarnya mereka telah menjadi bandit di Laut Merah yang menjadi jalur pelayaran internasional”.
“Hal terakhir yang ingin saya katakan adalah bahwa Houthi harus menghentikan serangan-serangan ini, bahkan menghentikannya sekarang juga,” katanya.
“Pernyataan ini cukup sederhana dan sangat jelas. Mereka perlu bertanya kepada diri sendiri apakah tidak keterlaluan jika mereka ingin berkonfrontasi dengan seluruh komunitas internasional. Tindakan itu dapat berdampak negatif terhadap perdagangan global yang bernilai miliaran dolar, juga mempengaruhi kemakmuran ekonomi negara, dan merusak hukum internasional. Apakah mereka tidak terlalu berlebihan untuk menganggap dirinya superior.” (sin)