EtIndonesia. 2 hari yang lalu saya melihat berita yang disampaikan oleh media besar menyebutkan bahwa orang Amerika Serikat menjadi frustasi sampai hamburger saja tak terbeli oleh mereka – Itu hoax, tidak benar.
Masyarakat termiskin di New York adalah para pengangguran dan mereka hanya mendapat tunjangan hidup sebesar 600 dolar per bulan.
Seorang guru wanita bernama Gao Yaojie adalah orang yang hidup dengan mengandalkan uang tunjangan ini. Bahkan dia masih dapat menghemat sejumlah uang yang digunakan untuk menerbitkan buku kemudian diberikan kepada orang lain. Namun tunjangan hidup ini diperuntukkan bagi orang yang tidak memiliki penghasilan, begitu yang bersangkutan sudah memiliki penghasilan yang dikreditkan ke dalam rekening di bank, maka tunjangan itu langsung dibatalkan.
600 dolar tidaklah besar, tetapi kopi termurah harganya cuma 2 dolar per cangkir. Baguette berharga lebih dari 4 dolar.
Selain itu, selain menerima 600 dolar, orang miskin juga dapat menerima kupon yang dapat digunakan untuk membeli makanan di banyak supermarket.
Tentu saja, ada batasan untuk membeli barang lewat kupon, seperti tidak dapat digunakan untuk membeli makanan organik, boleh membeli daging ikan salmon dan daging sapi, tetapi yang berkualitas biasa. Selain itu kupon tidak dapat dipakai untuk membeli rokok dan minuman beralkohol. Karena ini bukan kebutuhan pokok.
Di New York dan California, ada juga “kartu putih” yang dapat diajukan oleh siapa saja. Dengan memiliki kartu ini, Anda dapat berobat ke beberapa rumah sakit untuk mendapatkan layanan gratis (tidak di semua rumah sakit). Kartu putih itu sebenarnya adalah kartu pengobatan yang biayanya dibayar oleh pemerintah, juga merupakan semacam jaminan kesehatan, karena perusahaan asuransi berada di belakangnya.
Dalam praktiknya, kualitas pelayanan dari rumah sakit yang menerima “kartu putih” itu masih jauh lebih baik dibandingan denan beberapa rumah sakit di Tiongkok. Alasan utamanya adalah tidak banyak pasien di institusi medis dan para dokternya telaten dan sabar. Setelah diberikan resep obat Anda boleh langsung ke apotik terdekat untuk mendapatkan obatnya. Anda tidak perlu mengeluarkan uang – tidak perlu membayar dulu baru mendapat penggantian (reimbursements), tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun selama masa pengobatan.
Di daerah tempat tinggal saya, ada seorang wanita tunawisma yang “tinggal” di sebuah taman di tengah jalan. Ketika musim dingin tiba, hujan serta salju turun, dia terpaksa mengungsi ke emperan depan toko McDonald’s. Wanita tersebut hampir sepanjang waktu berada dalam keadaan tidur, karena mungkin kesehatannya bermasalah. Namun sering kali terlihat ada berbagai makanan ringan dan rokok yang diletakkan di samping kain selimutnya.
Suatu malam beberapa hari yang lalu, datang sebuah mobil ambulans yang dihentikan di pinggir jalan. Dua orang staf medis turun dari mobil dan mengobrol dengan wanita itu. Keesokan harinya, dia sudah tidak berada di sana lagi, rupanya ia sudah dibawa ke rumah sakit untuk mendapat perawatan. Ada saja orang berbaik hati yang mendatangi tempat itu untuk membantunya mengemasi selimut, alas untuk tidur dan barang-barang lain miliknya, yang kemudian ditumpuk secara rapi di pinggir jalan. Bahkan ada sebuah apel merah yang cukup mencolok terletak di atas bangku kecil.
Pagi ini ketika saya melewati daerah sana, saya menemukan dia sudah kembali lagi dan masih tidur di pinggir jalan. Bagi seorang tunawisma, meskipun emperan di pinggir jalan bukanlah wisma, tapi masih bisa dianggap sebagai rumah, karena lingkungan di sana sudah akrab dan menjadi bagian dari kehidupannya.
Berbicara tentang kurangnya rasa peduli, mungkin masyarakat adalah yang cukup acuh tak acuh terhadap penderitaan orang lain, begitu banyak orang yang melewati sana setiap harinya, tetapi tidak ada yang memperhatikan penderitaannya. Tapi antara “tidak memperhatikan” dengan “tidak mengganggu” seperti ada hubungannya dengan rasa hormat. Jika dikatakan tidak peduli, bagaimana ada makanan, barang-barangnya lainnya bahkan rokok yang diletakkan di sana ? Kadang-kadang ada seseorang yang mengajak wanita tunawisma itu mengobrol.
Suatu kali dia kedatangan 3 orang anak yang tampak seperti siswa sekolah dasar, masing-masing membawa ransel, dan memberinya makanan. Mereka berjalan di sepanjang jalan, dan mengeluarkan dari dalam ransel mereka makanan, uang receh atau beberapa potong pakaian yang dibagikan kepada tunawisma yang ditemui. Saya kira itu adalah kegiatan sekolah atau perkumpulan.
Jarak antara tempat tinggal saya dengan Universitas Columbia kira-kira ditempuh dengan 10 menit berjalan kaki. Dalam perjalanan saya dapat menemui beberapa orang pengemis. Seringkali, saya melihat ada orang yang memberi mereka uang. Hal ini membuat saya merasa malu, karena selama berada di Tiongkok saya tidak pernah memberikan uang kepada pengemis, dan kebiasaan ini yang saya bawa ke New York.
Suatu kali ketika saya berada dalam kereta bawah tanah bertemu dengan seseorang pengamen yang bernyanyi dengan suaranya yang sangat indah. Saya terdorong untuk memberikan uang, tetapi dia keburu turun dari kereta ketika saya membuka dompet untuk mencari uang yang mau saya berikan.
Hal ini menyadarkan saya bahwa saya memberinya uang karena menurut saya dia bernyanyi dengan baik – ini adalah sebuah transaksi pembelian. Memang, ada orang yang hanya meminta uang di kereta bawah tanah tanpa melakukan pertunjukan apa pun, namun masih banyak juga orang yang “menyumbang”.
Banyak orang Amerika Serikat yang memiliki attitude mulia ini. Mereka akan membawa uang receh dalam sakunya untuk membantu mereka yang membutuhkan. Jadi sebagai perbandingan, rasanya saya (dari Tiongkok) jauh lebih acuh tak acuh terhadap orang lain.
Wanita tunawisma yang berobat ke rumah sakit, pasti tidak dipungut biaya karena dia tidak meminta ke rumah sakit, tetapi pihak rumah sakit yang berinisiatif membantunya. Begitu pula dengan “kartu putih” yang disebutkan di atas, yang merupakan hak dasar seorang. Seseorang harus dihormati, harus mendapat jaminan hidup dasar (makan, pengobatan) tanpa prasyarat apa pun.
Tentu saja, tidak ada yang benar-benar gratis, pembayar pajak lain yang membayarnya, dan orang-orang yang punya uang, yang memiliki kemampuan, dan keberuntunganlah yang membantu mereka.
Amerika Serikat adalah sangat mahal bagi mereka yang “mampu”. Seorang teman menderita radang usus buntu dan pertama kali berobat, alih-alih dioperasi, ia memilih dirawat di rumah sakit untuk pengobatan konservatif, sudah menghabiskan biaya sebesar 80.000 dolar dalam beberapa hari saja. Dia sampai mengeluh : Untungnya, perusahaan membelikan asuransi, tetapi dia sendiri masih harus merogoh kantong sebanyak 3.000 – 4.000 dolar .
Namun pengobatan tersebut tidak banyak bermanfaat, dan tidak lama kemudian kambuh lagi penyakitnya, kali ini mau tidak mau harus menjalani pembedahan. Namun membuatnya terasa ringan karena boleh langsung pulang berjalan kaki usai pembedahan. Kali ini dia berkata : “Untung ada asuransi, jika tidak entah bagaimana jadinya”.
Melihat saya kebingungan, teman saya itu mengatakan : “Kalau sakit tetap harus pergi mencari dokter. Pokoknya harus ke dokter dulu baru bayar. Kalau memang tidak punya uang, tidak perlu bayar.”
Dalam masyarakat seperti itu, setiap orang dapat melakukan yang terbaik untuk membayar pajak dan berdonasi, serta berusaha untuk tidak menjadi orang yang hanya bergantung pada keuntungan dari “kartu putih”. Dan begitu Anda kurang beruntung dan jatuh ke dalam kelas ekonomi terbawah atau menjadi tunawisma, beban hidup dapat diringankan dengan menerima bantuan dari orang lain dan pemerintah. (sin/yn)
Sumber: aboluowang