Julia Ye dan Sean Tseng
Pasar global bersiap-siap menghadapi devaluasi signifikan terhadap yuan Tiongkok, seiring dengan depresiasi yang tak menunjukkan tanda-tanda mereda pasca Tahun Baru Tiongkok. Para investor secara aktif mencari strategi yang hemat biaya guna melindungi diri dari penurunan nilai Yuan.
Sebagai tanggapan, otoritas Tiongkok telah memprakarsai penjualan dolar AS melalui bank-bank milik negara untuk memitigasi depresiasi lebih lanjut. Sejak tahun 2022, yuan telah menghadapi devaluasi terus menerus, dengan proyeksi teoritis menunjukkan nilai tukar dolar terhadap yuan melebihi 1:20.
Agustus lalu, sejalan dengan ekspektasi investor internasional, nilai tukar dolar terhadap yuan luar negeri melonjak ke level tertinggi dalam 16 tahun terakhir, melampaui ambang batas 7,3. Berikutnya, nilai tukar yuan bertahan pada level yang lebih rendah selama hampir tiga bulan. Untuk memitigasi risiko ini, para investor luar negeri telah beralih ke opsi, yang dianggap sebagai alat paling efektif untuk melakukan lindung nilai terhadap depresiasi yuan yang tak terduga.
Brent Donnelly, presiden Spectra FX Solutions dan pedagang valuta asing (FX) veteran yang saat ini bekerja di HSBC New York, mencatat bahwa volatilitas tersirat jangka pendek yuan luar negeri telah menurun sejak Oktober 2022, yang mengindikasikan kecenderungan ke arah depresiasi. Tingkat volatilitas tersirat selama satu bulan dan tiga bulan saat ini berada dekat level terendah dalam dua tahun terakhir, menjadikannya saat yang tepat bagi buyer opsi untuk mendapatkan proteksi yang terjangkau.
Donnelly menyoroti bahwa dinamika politik, terutama yang berkaitan dengan Tiongkok, mempengaruhi sentimen pasar, sebagaimana dibuktikan oleh tingkat volatilitas tersirat sembilan bulan yang tidak turun sesignifikan metrik jangka pendek.
Pada awal Februari, Donnelly merekomendasikan opsi call atau opsi beli setahun untuk dolar terhadap yuan luar negeri di angka 7,60, mengingat hal ini merupakan mekanisme lindung nilai yang ekonomis, dengan harga perdagangan saat itu di angka 7,2250. Rekomendasi ini dibuat sehubungan dengan pemilihan presiden AS akan datang, yang menunjukkan relevansinya terlepas dari hasil pemilihan.
Jasper Lo, seorang analis FX independen, dan Kiyong Seong, seorang ahli strategi makro di Société Générale, sebuah perusahaan jasa keuangan multinasional yang berbasis di Perancis, telah menyuarakan sentimen untuk melakukan lindung nilai terhadap pelemahan Yuan.
Tingkat paritas sentral People’s Bank of China (PBoC) relatif statis, berada di sekitar 7,10 dalam beberapa bulan terakhir. Seong mengantisipasi bahwa depresiasi melebihi 7,25 akan memaksa bank sentral Tiongkok untuk menyesuaikan tingkat paritas sentral ke bawah, yang berpotensi memicu respon pasar yang negatif dan mendorong dolar/yuan luar negeri ke dalam kisaran 7,30-7,35.
Pengumuman Bos The Federal Reserve AS Jerome Powell pada 1 Februari tentang antisipasi penurunan suku bunga tahun ini, telah diredam oleh Indeks Harga Konsumen (IHK) AS yang lebih tinggi dari perkiraan untuk bulan Januari, meredam harapan untuk penurunan suku bunga pada paruh pertama tahun 2024.
Pertumbuhan ini menambah tekanan depresiasi terhadap yuan, dengan Lo memperkirakan bahwa nilai tukar dolar terhadap yuan dapat mencapai 7,37, yang mengindikasikan meningkatnya tekanan pemangkasan suku bunga terhadap yuan dibandingkan dengan AS dan negara maju lainnya.
Nilai Tukar Teoritis Dolar ke Yuan Melebihi 1:20
Wu Chia-Lung, seorang ahli ekonomi makro terkemuka dari Taiwan, telah mencatat bahwa yuan telah menghadapi tekanan depresiasi sejak tahun 2022. Dia berpendapat bahwa, secara teoritis, nilai tukar dolar terhadap yuan saat ini harus melebihi 1:20.
Analisis Wu, yang berakar pada prinsip paritas daya beli (purchasing power parity/PPP), menunjukkan adanya undervaluation yang signifikan dari yuan terhadap dolar.
Metodologi Wu menggunakan PPP, membandingkan rasio jumlah uang beredar (M2) dengan produk domestik bruto (PDB) untuk mengukur nilai yuan terhadap dolar. Dengan nilai tukar patokan yang ditetapkan pada 7,2 (dengan sedikit penyesuaian berikutnya), ia mencatat bahwa pada akhir Desember 2023, M2 Tiongkok mencapai 292,27 triliun yuan (sekitar $41 triliun), dua kali lipat dari saldo M2 AS sebesar $20,8 triliun.
Sementara itu, PDB Tiongkok untuk tahun 2023 mencapai 126 triliun yuan (sekitar $17,5 triliun), yang merupakan sekitar 64 persen dari PDB AS sebesar $27,36 triliun. Dengan menggunakan angka-angka ini, Wu menghitung nilai tukar teoritis sebesar 22,5 yuan per dolar, sangat kontras dengan nilai tukar saat ini.
Selama wawancara dengan program “Pinnacle View” di NTD, Wu mengakui adanya potensi inflasi dalam angka-angka PDB Tiongkok, yang menunjukkan kemungkinan yang lebih besar untuk depresiasi yuan ketika mempertimbangkan data resmi dari Tiongkok. Namun, ia memperingatkan bahwa meskipun perhitungan berbasis PPP memberikan panduan yang berwawasan luas, penentuan nilai tukar yuan terhadap dolar yang sebenarnya juga harus memperhitungkan lanskap ekonomi dan politik Tiongkok.
Wu menekankan bahwa meskipun tidak ada tindakan depresiasi langsung, kerangka kerja teoritis menunjukkan adanya devaluasi yuan yang diharapkan. Perspektif ini menawarkan lensa kritis untuk melihat valuasi yuan, yang mana menandakan implikasi potensial untuk pasar keuangan global dan strategi ekonomi.
Perspektif kontra: ‘Intervensi Pemerintah Menentukan Nilai Tukar Yuan’
Guo Jun, pemimpin redaksi The Epoch Times edisi bahasa Mandarin, mempertanyakan penggunaan PPP secara langsung untuk menghitung nilai tukar Yuan, dengan menekankan kerumitan yang ditimbulkan oleh faktor politik dan regulasi di Tiongkok.
Ia menunjukkan bahwa kondisi ideal yang diandaikan oleh PPP – yang mencerminkan dinamika ekonomi pasar murni – sering kali terganggu oleh intervensi pemerintah, seperti kontrol harga atau praktik monopoli, yang mana dapat mendistorsi keseimbangan supply-demand yang sebenarnya.
Dalam paparannya di “Pinnacle View,” Guo menyoroti tingkat pengawasan pemerintah yang luas di Tiongkok, dan menunjukkan bahwa semakin beratnya pengawasan, semakin tidak relevan formula ekonomi tradisional seperti PPP.
Dia mengidentifikasi Tiongkok sebagai salah satu negara dengan kontrol devisa yang paling ketat, dan menyatakan bahwa dalam skenario yang dianggap kritis oleh pihak berwenang Tiongkok, bisa saja negara tersebut kembali ke peraturan devisa yang ketat seperti pada tahun 1980-an.
Rumusan teoritis Guo bahkan mempertimbangkan kemungkinan nilai tukar resmi ditetapkan secara sewenang-wenang, seperti 1:1 untuk dolar terhadap yuan, di bawah kendali penuh pemerintah atas arus inflow dan outflow mata uang.
Aktivitas pasar baru-baru ini mendukung pernyataan Guo. Sejak Agustus tahun lalu, nilai tukar yuan terhadap dolar melonjak ke puncak tahunan 7,36 dan tetap tinggi hingga November, mengalami penurunan 2,1% dari Agustus hingga awal November.
Tepatnya, pada 20 Februari, dilaporkan adanya intervensi signifikan dari bank-bank BUMN Tiongkok yang bertujuan untuk menghentikan depresiasi yuan dengan menjual dollar. Bank-bank ini disebut-sebut mengonversi yuan ke dolar di pasar swap onshore, kemudian menjual dolar di pasar spot demi meningkatkan nilai yuan.