Fu Yao
Mengenai kasus penduduk yang menghilang misterius dalam jumlah besar pada 900 tahun silam, dimana jutaan orang mendadak menghilang dari muka bumi dalam waktu singkat, tidak ada yang mengetahui kemana mereka pergi. Mereka itulah bangsa Khitan yang pernah menguasai Tiongkok Utara selama 200 tahun.
Benarkah Khitan Adalah Tiongkok?!
“Khitan” dalam bahasa Khitan bermakna besi Damaskus atau pedang/golok. Dari nama ini bisa dipastikan bahwa bangsa ini adalah pemberani dan jago berperang. Memang demikianlah halnya, pada masa itu pasukan kavaleri berbaju zirah Dinasti Liao (907 – 1125) yang dibentuk oleh etnis Khitan jarang ada yang mampu menandingi dimanapun mereka berada. Dengan cepat bangsa ini telah mendirikan kerajaan yang tersohor ke seluruh penjuru, dan wilayahnya sangat luas, ke timur sampai ke Laut Jepang, ke barat sampai ke Pegunungan Altai di Kazakhstan, ke utara sampai Da Hinggan Ling dan sungai perbatasan Tiongkok-Rusia kini, Sungai Reka Argun, ke selatan hingga mencapai Sungai Baigou di selatan Provinsi Hebei. Bahkan negara-negara di Asia Barat dan Eropa pada masa itu pun hanya tahu ada Khitan, tapi tidak mengetahui keberadaan Dinasti Song.
Sampai sekarang tidak sedikit negara yang menyebut Tiongkok adalah Khitan. Misalnya seperti dalam bahasa Rusia menyebut Tiongkok dengan sebutan “Китай” (dibaca: Kitai), orang Spanyol menyebut Tiongkok “Catay”, sementara orang Iran di Asia Barat menyebut Tiongkok dengan sebutan “Katay”. Bahkan dalam bahasa Inggris juga terdapat istilah kuno “Cathay” dalam menyebut Tiongkok. Maskapai penerbangan terbesar Hong Kong bernama “Cathay Pacific”, yang jika diterjemahkan maknanya adalah “Tiongkok Pasifik”.
Namun pasukan kavaleri Khitan sesampainya di bawah Tembok Raksasa tak bisa bergerak maju lagi, pada akhirnya tidak bisa menyatukan Tiongkok seperti orang Mongol. Mengapa? Karena di masa itu ada para jenderal keluarga (marga) Yang yang gagah berani dan mahir berperang.
Jenderal Yang Tak Terkalahkan
Jenderal Yang Ye telah puluhan tahun berurusan dengan pasukan Khitan di perbatasan, di mana pun Jenderal Yang berada musuh selalu dikalahkannya, kemudian muncullah julukan baginya yakni “jenderal yang tak terkalahkan”. Sayangnya dia dicelakakan (dikhianati) oleh teman seperjuangannya sendiri yakni Pan Mei, sehingga dirinya tertangkap oleh pasukan Khitan. Bangsa Khitan sangat menghargai orang-orang yang hebat, mereka berusaha membujuk sang jenderal agar mau mengabdi bagi Khitan, dan membantu mereka menyatukan seantero negara, Jenderal Yang juga bakal menjadi terpandang. Sayangnya Yang Ye tidak mau bekerjasama, setelah tiga hari mogok makan akhirnya sang jenderal meninggal dunia.
Walaupun sangat menyayangkannya namun bangsa Khitan pun agak kegirangan, setelah batu sandungan besar ini tersingkir, invasi ke wilayah selatan tidak ada masalah lagi. Penyatuan seluruh Tiongkok akan segera terwujud. Sayangnya yang tidak mereka duga, seorang yang lebih hebat daripada Yang Ye telah muncul, ia adalah putra sulung Yang Ye yang bernama Yang Yanzhao.
Bicara soal Yang Yanzhao, ia memiliki nama alias lain yang mungkin lebih dikenal luas, yaitu Yang Liulang (arti harfiah: putra keenam keluarga Yang, red.). Tetapi walaupun putra sulung, seharusnya ia dipanggil si Sulung Yang, tetapi mengapa disebut Liulang? Sebutan ini ada asal usulnya. Menurut catatan sejarah “Song Shi (Sejarah Song)”, sebutan Liulang diberikan oleh bangsa Khitan. Yang Yanzhao selalu mampu mengalahkan bangsa Khitan sampai takluk berkali-kali. Bangsa Khitan sangat menghormati ksatria, sehingga memujinya sebagai titisan Dewa Jiang Xing (Bintang Jenderal). Mereka menyebut Dewa Jiang Xing dengan sebutan Liulang Xing (Bintang Putra ke 6), maka Yang Yanzhao disebut juga Yang Liulang.
Yang Liulang selalu penuh dengan taktik dalam berperang, banyak akal, dan sering mengalahkan lawan yang banyak dengan sedikit pasukan, sangat mirip dengan Dewa Perang Han Xin. Dalam Perang Suicheng Yangshan (4 November 1001 hingga 16 November 1001) yang terkenal itu, Yang Liulang menjaga benteng seorang diri, ditambah dengan seluruh warga kota yang mengikutinya, total hanya ada tiga ribu orang. Sementara seratus ribu serdadu Dinasti Liao berikut persenjataan lengkap yang dipimpin oleh Ratu Xiao Yanyan berbaris di depannya, sementara bala bantuan di belakangnya tak kunjung tiba, bagaimana pun pasti kalah. Akan tetapi di tengah keputus-asaan itu Yang Liulang mendapat suatu ide brilian.
Waktu itu bertepatan dengan masa di musim dingin yang paling menusuk tulang, tetesan air pun langsung membeku menjadi es. Ia meminta pasukan dan warga kota ramai-ramai menyiram air di sepanjang tembok kota sepanjang malam. Keesokan harinya tembok di seluruh benteng kota itu telah membeku menjadi tembok es, seluruh tembok menjadi licin. Bangsa Khitan pun bingung. Bagaimana memanjat naik ke benteng? Dengan pasukan lebih banyak pun tidak akan bisa menaiki tembok kota. Akhirnya Khitan memutar hendak menyerang Taizhou di dekatnya. Namun begitu mereka menarik pasukan, Yang Liulang langsung menghubungi jenderal di dua benteng lain yang terdekat, dan memutuskan membuka gerbang kota menyerbu keluar bersamaan, menyerang musuh dari belakang. Akibatnya pasukan Liao kalah telak, korban berjatuhan, baju zirah dan panji mereka berserakan hingga sejauh ratusan li.
Enam Belas Wilayah Yanyun
Setelah beberapa kali pertempuran seperti ini, ambisi bangsa Khitan menguasai Tiongkok pun surut, kemudian ditandatangani “Perjanjian Chanyuan” dengan Dinasti Song Utara, dan kedua negara pun bersahabat, serta mengangkat persaudaraan. Dinasti Song sebagai kakak, Dinasti Liao sebagai adik. Yang menjadi kakak seharusnya setiap tahun memberikan uang jajan kepada sang adik, dan sang adik pun tidak akan mengganggu kakak di selatan. Tetapi uang jajan ini bukan angka yang kecil, Liao meminta seratus ribu tael perak, dan dua ratus ribu potong kain sutra. Akan tetapi sebagai dinasti yang paling lemah sekaligus juga paling kaya dalam sejarah Tiongkok, Dinasti Song Utara telah menyanggupinya.
Itulah perdamaian yang diraih hingga beberapa abad kemudian. Sayangnya sepanjang drama kolosal 5000 tahun sejarah Tiongkok selalu disertai dengan gejolak dan jatuh bangun, permukaan air yang terlihat tenang acap kali bergejolak di dalamnya. Bangsa Jurchen di timur diam-diam mulai bangkit, dan mendirikan kerajaan, yang disebut juga Jin Raya (dibaca: cin raya atau Dinasti Kin, 1115-1234, red.).
Bangsa Jurchen datang kepada Dinasti Song Utara untuk berunding, mengatakan Dinasti Liao keterlaluan, karena sudah menindas Dinasti Song, dan selain memaksa Dinasti Song membayar upeti, di sisi lain juga menindas kaum wanita di Jurchen. Maka bangsa Jurchen mengajak Dinasti Song untuk bersatu menumpas Khitan. Imbalannya Dinasti Song dapat menguasai kembali enam belas wilayah Yanyun yang dulunya direbut oleh mereka, dan bangsa Jurchen hanya meminta jatah upeti Khitan diberikan kepada mereka. Bicara soal enam belas wilayah Yanyun itu, juga ada cerita di baliknya.
Enam belas wilayah Yanyun di zaman sekarangi ini adalah: Beijing dan Tianjin serta Provinsi Hebei utara, juga sebagian wilayah Provinsi Shanxi utara, medannya tinggi, sehingga mudah bertahan dan sulit diserang, merupakan garis perbatasan alami antara bangsa nomaden di utara dengan warga petani di selatan, juga merupakan wilayah strategis penting yang diperebutkan antara dinasti di Tiongkok dengan bangsa nomaden di utara.
Enam belas wilayah Yanyun awalnya dikuasai oleh Dinasti Tang. Setelah Dinasti Tang runtuh, Tiongkok memasuki era Lima Dinasti dan Sepuluh Negara (907-960 Masehi). Kaisar Shi Jingtang dari Dinasti Jin Akhir demi mendapatkan dukungan dari bangsa Khitan, mengikhlaskan semua wilayah tersebut kepada Kaisar Liao yakni Yelu Deguang. Kaisar Liao sangat senang, dan mengatakan ini adalah hadiah dari Tuhan kepadanya. Sejak saat itu bangsa Khitan mulai hidup bercampur dengan bangsa Han (etnis mayoritas di Tiongkok. Red.), hal ini juga yang menjadi dasar punahnya bangsa ini, mengenai hal ini berikutnya akan dijelaskan lebih lanjut.
Begitu mendengar dapat mengambil alih enam belas wilayah Yanyun tersebut Dinasti Song merasa transaksi ini menguntungkan, karena mengambil kembali wilayah tersebut selalu menjadi impian Dinasti Song. Tetapi awalnya rencana mereka adalah menebusnya dengan uang, untuk itu Kaisar Dinasti Song bahkan khusus membangun sebuah gudang emas mini yang disebut “Feng Zhuang Ku”.
Begitulah kedua pihak mencapai kesepakatan, dan dibuatlah “perjanjian”, kedua pihak menyerang menjepit Dinasti Liao secara berbarengan. Dengan cepat pada tahun kedua, Liao telah kehilangan setengah wilayahnya, dan setahun kemudian, kaisar terakhir Dinasti Liao yakni Kaisar Tianzuo (Yelu Yanxi) memulai pelariannya, tiga tahun kemudian berhasil ditangkap oleh Dinasti Kin, maka hancurlah Dinasti Liao. Setelah kerajaannya musnah, sejumlah keluarga kerajaan Liao yang tersisa mendirikan Liao Barat di Xinjiang (Uighur). Dan Liao Barat sempat berekspansi hingga mencapai Persia, serta menjadi negara kuat di Asia Tengah, tapi mereka hanya bertahan sekitar 80 tahun sebelum akhirnya dimusnahkan oleh kavaleri Mongol. Sejak saat itu bangsa Khitan pun menghilang dari sejarah.
Bagaimana dengan Dinasti Song Utara? Bukankah Dinasti Song Utara telah mengikat janji persaudaraan dengan Dinasti Liao? Dua tahun setelah Liao dimusnahkan, Song Utara juga hancur di tangan Jin Raya. Walaupun kemudian muncul Dinasti Song Selatan, tapi enam belas wilayah Yanyun kemudian direbut kembali oleh Jin Raya, dan setiap tahun upeti yang dibayar terus bertambah. Bisa dibilang sia-sia belaka, bagai mimpi di siang bolong.
Jutaan Orang Menghilang Bersamaan?!
Sementara itu Bangsa Khitan bernasib lebih tragis lagi. Kehancuran suatu dinasti semestinya adalah hal lumrah, tapi sebagai suatu kerajaan besar yang menguasai Tiongkok utara mencapai 200 tahun lamanya, saat baru didirikan, Kerajaan Liao yang berpenduduk 2 juta orang, pada masa kejayaannya bahkan mencapai 9 juta orang. Akan tetapi pada saat Dinasti Liao dari Bangsa Khitan itu runtuh, populasi yang cukup besar itu lenyap tak berbekas, dalam buku sejarah pun tidak ditemukan jejak mereka, hal ini sungguh aneh.
Seperti diketahui, setelah kehancuran Imperium Mongol bangsa Mongol masih hidup di padang rumput leluhur mereka, setelah Dinasti Qing (dibaca: ching) runtuh bangsa Manchu masih eksis. Akan tetapi setelah Liao runtuh, bangsa Khitan tidak lagi eksis, dalam 56 suku yang ada di TIongkok sekarang tidak ada bangsa Khitan. Dimanakah mereka berada? Ada sebagian kecil di antaranya telah mengungsi ke Liao Barat, akhirnya berasimilasi dengan bangsa di Asia Barat. Ada juga bangsawan yang mengubah marganya setelah takluk pada Dinasti Kin, di antaranya mayoritas bermarga “Liu” (劉). Ada juga yang menyerah pada bangsa Mongol, salah satu contohnya adalah Yelu Chucai yang pernah menjadi penasihat Jengis Khan, dan kemudian menjadi perdana menteri Dinasti Yuan. Tetapi ini pun hanya segelintir orang saja, terutama dari kalangan bangsawan dari populasi Khitan, lantas, dimana populasi jutaan rakyatnya?
Faktanya terkait menghilangnya bangsa Khitan dalam sekejap, selama ini selalu menjadi misteri tak terpecahkan di kalangan ilmu sejarah. Jika mereka tidak lenyap, melainkan tetap eksis dengan metode tertentu, lalu dimanakah keturunan mereka berada?
DNA Membuktikan Keturunan Bangsa Khitan Adalah…
Terkait pertanyaan ini, di internet beredar tiga versi jawaban yang berbeda.
Jawaban pertama adalah mereka kembali ke kampung halamannya di timur laut Tiongkok, dan menjadi suku Dauria (Tanah Daurian). Ada akademisi yang telah membandingkan kebiasaan hidup, agama kepercayaan, dan bahasa orang Khitan dengan suku Dauria, hasilnya suku Dauria ini dinilai mewarisi paling banyak tradisi orang Khitan. Misalnya, orang Khitan memiliki tradisi saling menyiramkan air untuk meminta hujan, di suku Dauria juga ada kebiasaan ini. Bangsa Khitan sangat mengunggulkan warna hitam, dan berlutut untuk memberikan penghormatan, demikian pula suku Dauria. Bangsa Khitan sangat menyukai olahraga polo, yang pada masa itu disebut “Dakyu”, suku Dauria juga acap kali mengadakan pertandingan Dakyu, dan pria wanita tua muda akan ikut berpartisipasi.
Namun melulu kemiripan kebiasaan tertentu belum dapat benar-benar menjelaskan pertanyaan ini. Untuk benar-benar memecahkan misteri ini, para pakar mengeluarkan jurus pamungkas, yakni pemeriksaan DNA. Setelah 1922, dari sejumlah tempat di Mongolia Dalam telah digali sejumlah makam kuno bangsa Khitan. Dari specimen gigi dan tulang di dalam makam kuno tersebut para pakar berhasil mengumpulkan mitokondria DNA, lalu mencocokkannya dengan DNA suku Dauria, hasil yang diperoleh menyimpulkan, keduanya memiliki hubungan genetik yang paling mirip, suku Dauria adalah keturunan langsung dari bangsa Khitan.
Identifikasi DNA yang sama juga dilakukan terhadap suku “Benren” dari Yunnan. Inilah jawaban versi kedua tentang keturunan bangsa Khitan.
Konon pada akhir abad ke-12, sekelompok bangsa Khitan mengikuti pasukan Mongolia datang ke Yunnan di selatan Tiongkok, kemudian menjadi kekuatan utama bagi Dinasti Yuan dalam menguasai kawasan Yunnan, sejumlah orang Khitan bahkan menjadi pejabat daerah setempat. Kemudian setelah Dinasti Yuan menyatukan seluruh daratan Tiongkok, perang pun usai, para prajurit itu beralih profesi, dan menetap di Yunnan. Lalu pada masa Dinasti Ming dan Qing diberlakukan kebijakan “menghapus jabatan pejabat daerah dan menggantikannya dengan pejabat utusan dari kerajaan”, sistem pejabat daerah yang sudah turun temurun itu dicabut, orang Khitan sangat tidak puas, sejak saat itu mereka mengubah marga dan nama serta mengasingkan diri di pedalaman hutan. Mereka menyebut dirinya “Benren”, sekarang populasi mereka masih ada sekitar 150.000 orang. Jika pembaca berasal dari Yunnan, dan bermarga “A” (阿), atau bermarga “Mang” (莽), atau bermarga “Jiang” (蔣), maka ada kemungkinan Anda adalah keturunan bangsa Khitan.
Namun jumlah populasi kedua suku ini tidak banyak, dan tidak mampu menjelaskan misteri menghilangnya jutaan orang bangsa Khitan. Maka muncullah jawaban versi ketiga, yang mengatakan bangsa Khitan mungkin telah berasimilasi dengan bangsa Han setempat. Hal ini dapat dilihat dari sejarah Khitan.
Terkait asal usul bangsa Khitan, terdapat dua macam penjelasan dalam kitab sejarah “Liao Shi”. Penjelasan pertama mengatakan mereka adalah keturunan dewa. Ada seorang dewa datang ke Sungai Futu di Gunung Mayu, melihat seorang bidadari mengendarai kereta sapi dari hutan cemara menyusuri Sungai Kuning, dan keduanya bertemu di pertemuan aliran kedua sungai. Setelah itu saling jatuh hati dan menjadi suami istri, lalu melahirkan 8 orang anak laki-laki, merekalah leluhur pada delapan perkampungan bangsa Khitan.
Ada semacam penjelasan lain yang lebih sederhana, yang mengatakan mereka adalah “keturunan dari Kaisar Yan Dinasti Liao”. Jika menggabungkan keduanya, bangsa Khitan beranggapan mereka adalah keturunan dewa, sama seperti bangsa Han, juga merupakan keturunan leluhur Tiongkok. Faktanya Dinasti Liao selalu menyebut kerajaannya “Dinasti Utara”, sedangkan Dinasti Song di selatan mereka sebut sebagai “Dinasti Selatan”, apa maknanya? Yaitu mereka sendiri merasa bahwa merekalah bangsa Tiongkok yang ada di utara, bukan bangsa asing, dan juga berhak berkompetisi di Dataran Tengah Tiongkok.
Setelah memperoleh enam belas wilayah Yanyun, mereka sangat menjunjung budaya Han. Kaisar Dinasti Liao yakni Yelu Degung sendiri adalah pengikut setia ajaran Konfusius. Tapi kebudayaannya sendiri tidak boleh sampai hilang, lalu bagaimana?
Ia lantas memikirkan suatu cara, menerapkan “sistem birokrasi utara-selatan”, dan pada buku sejarah disebut “mencakup Tiongkok, birokrasi dibagi utara dan selatan”.
Pejabat dibagi menjadi dua kelompok yakni pejabat utara dan pejabat selatan. Pejabat utara adalah pejabat Dinasti Liao, menangani bangsa Khitan. Pejabat selatan disebut juga pejabat Han, menangani bangsa Han dengan sistem pemerintahan Han. Pejabat utara dibentuk berdasarkan sistem yang sudah ada pada bangsa Khitan. Pejabat selatan dibentuk meniru sistem Dinasti Tang, semua jabatan ada sesuai dengan sistem.
Jadi ada sejarawan yang mengatakan, “Kerajaan Khitan sesungguhnya meliputi dua negara, yang satu dibentuk dari bangsa Khitan dan suku di luar suku Han, dan dikuasai sendiri oleh Kaisar Liao; dan yang satu lagi dibentuk dari bangsa Han, yang dikuasai oleh pejabat yang ditunjuk oleh Dinasti Liao.” (buku “Penelitian Sejarah Liao: Lima Bab Penelitian Empat Generasi Liao” karya Fu Lehuan)
Dengan begitu, kebudayaan Han mendapat perlindungan yang sangat baik di enam belas wilayah Yanyun, dan bangsa Khitan juga dapat hidup damai dengan bangsa Han. Ditambah lagi di Dinasti Liao mulai dari rajanya sampai rakyatnya sangat menyanjung kebudayaan Han, jadi setelah Dinasti Liao dimusnahkan, agar terhindar dari kejaran, rakyat mereka pun menyamar menjadi bangsa Han.
Ditambah lagi dalam kebudayaan Khitan sendiri, hanya bangsawan yang memiliki marga. Seluruh kerajaan hanya memiliki dua marga: keluarga raja bermarga Yelu, dan keluarga ratu bermarga Xiao (蕭, dibaca: siao, red.). Selain itu, semua rakyat hanya memiliki nama, tidak memiliki marga, hal ini menimbulkan kesulitan untuk menelusuri garis keturunan mereka setelah berasimilasi dengan bangsa Han, hal itu telah menyebabkan bangsa Khitan seolah telah menghilang dalam semalam. (sud/whs)