oleh Xia Dunhou dan Yu Wei
Akibat terus memburuknya lingkungan kebebasan di Hongkong, Wall Street Journal baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka akan memindahkan kantor pusat urusan Asia dari Hongkong ke Singapura. Ini adalah media asing lainnya yang menarik diri dari Hongkong setelah Radio Free Asia.
Wall Street Journal yang mengutamakan laporan di bidang keuangan dan investasi memberitahu karyawannya pada 2 Mei, bahwa fokus operasinya di Asia akan dipindahkan dari Hongkong ke Singapura.
Pada akhir Maret, kurang dari seminggu setelah Hongkong mengumumkan “Hongkong Basic Law Article 23”, stasiun radio Amerika Serikat “Radio Free Asia” mengumumkan penutupan kantor fisiknya di Hongkong.
Mrs. Pan, penanggung jawab Aliansi Makau-Hongkong mengatakan : “Pertama, Radio Free Asia menarik diri dari Hongkong, kemudian Wall Street Journal juga mengumumkan bahwa pemindahan kantor pusat urusan Asia-nya dari Hongkong ke Singapura, ia hanya menyisakan sebuah kantor dengan staf kurang dari 10 orang di Hongkong. Kami tidak terkejut dengan berita terkait, karena setelah diundangkannya Pasal 23, seluruh lingkungan di Hongkong, terutama tentang kebebasan pers dan kebebasan berpendapat, menjadi lebih buruk”.
Pasal 23 adalah perpanjangan dari “Undang-undang Keamanan Nasional” versi Partai Komunis Tiongkok di Hongkong pada tahun 2020, yang mengkriminalisasi apa yang disebut “campur tangan eksternal” dan “pencurian rahasia negara”. Contohnya adalah Perwakilan Reporters Without Borders yang ditolak untuk masuk ke Hongkong bulan lalu.
Mrs. Pan mengatakan : “Karena istilah ‘rahasia negara’ itu yang memang sengaja tidak dideskripsikan secara jelas oleh pihak berwenang, sehingga para jurnalis mudah masuk jebakan atau menginjak ‘garis merah’ itu. Semua karyawan atau reporter organisasi media asing akan menghadapi risiko ini ketika mereka bertugas di Hongkong”.
Kantor berita AFP melaporkan bahwa sejak Beijing memberlakukan undang-undang keamanan nasional versi Hongkong, lebih dari 290 orang di Hongkong telah ditangkap, 174 orang diadili, dan 114 orang dijatuhi hukuman. Kebanyakan dari mereka adalah para politisi, aktivis, dan reporter media pro-demokrasi.
Pada 3 Mei Reporters Without Borders mengumumkan “Indeks Kebebasan Pers Dunia” tahun 2024, yang menempatkan Hongkong pada peringkat ke-135. Padahal pada tahun 2002, ketika pertama kali indeks dirilis, Hongkong berada di peringkat ke-18.
Li Yuanhua, seorang sejarawan yang tinggal di Makau, menunjukkan bahwa Hongkong di masa lalu memiliki ruang kebebasan pers yang relatif besar, namun sekarang, di bawah tekanan PKT, media Hongkong tidak lagi berani melaporkan kebenaran.
Li Yuanhua mengatakan : “Setelah diberlakukannya undang-undang jahat PKT, banyak media asing meninggalkan Hongkong. Oleh karena itu, media lokal Hongkong hanya dapat bertahan hidup dengan menahan diri dari gaya pemberitaan bebas mereka di masa lalu. Terutama kalau berita menyangkut soal politik, hak asasi manusia dan kebenaran, maka mereka pasti akan menyensor diri mereka sendiri dan beralih ke pemberitaan tentang kehidupan, teknologi dan sebagainya.” (sin)