oleh Zhang Ting
Penurunan pertumbuhan ekonomi Tiongkok, permintaan domestik yang lesu, dan krisis real estate telah secara langsung mempengaruhi kelangsungan hidup banyak usaha kecil dan pendapatan kelas menengah di Tiongkok. Hal ini juga membawa tekanan finansial bagi para pelajar Tiongkok yang studi di luar negeri. Bahkan tidak sedikit dari mereka ini tidak bisa lagi bergantung pada kiriman uang dari orang tua untuk membiayai sekolah dan hidup.
Baik di Inggris atau Amerika Serikat, kesulitan keuangan yang dihadapi pelajar Tiongkok di luar negeri semakin mendapat perhatian. “Putus pasokan dana studi di luar negeri” telah menjadi topik hangat di media sosial Tiongkok.
Pada 2019, ketika Zhang Xiao, seorang mahasiswi asal Tiongkok sedang belajar di Amerika Serikat, dia tidak pernah membayangkan suatu ketika di kemudian hari dia harus bekerja paruh waktu untuk membayar biaya kuliahnya sendiri.
Menurut berita keuangan AS “CNBC”, mahasiswi berusia 24 tahun tersebut saat ini sedang belajar desain di sebuah universitas di Alabama, dan semua biayanya ditanggung oleh kedua orang tuanya yang berada di Tiongkok. Namun pada bulan Oktober tahun lalu, orang tuanya memberitahunya bahwa mereka menghadapi masalah keuangan sehingga tidak dapat lagi membiayai studinya di Amerika Serikat. Saat itu, Zhang Xiao hanya punya cukup uang untuk membayar sewa tempat tinggal selama 3 bulan. Selain itu, dia juga masih perlu membayar uang kuliah untuk semester berikutnya.
“Saya tidak punya waktu untuk merasa sedih karena saya perlu menghasilkan uang sesegera mungkin untuk membayar uang sekolah dan sewa tempat tinggal saya,” kata Zhang Xiao, seraya menambahkan bahwa ayahnya yang berinvestasi di industri farmasi selama pandemi COVID-19 telah mengalami kerugian yang cukup besar. Setelah ayah menyadari bahwa kekayaan dan investasinya akan menyusut, ia terpaksa memberitahu dirinya bahwa dia tidak dapat lagi membiayai pendidikannya di Amerika, kecuali membelikan tiket pesawat untuk pulang.
Untuk mengatasi kesulitan keuangan yang datang secara tiba-tiba ini, Zhang Xiao mulai mencari pekerjaan paruh waktu, seperti mengasuh anak atau bekerja di kampus, tetapi itu tidak mudah. Sebulan kemudian dia mendapatkan pekerjaan sementara di negara bagian lain.
“Dari bulan November (tahun lalu) hingga Januari (tahun ini), saya harus bekerja mulai jam 7 pagi setiap hari”. “Saya sangat lelah selama waktu itu dan tidak punya waktu untuk belajar. Tapi setidaknya saya mendapat cukup uang untuk membayar uang kuliah untuk semester berikutnya.
Kasus Zhang Xiao bukanlah kasus satu-satunya. Ketika perekonomian Tiongkok terus merosot, hal serupa menjadi semakin umum. Bloomberg sebelumnya juga telah mewawancarai pelajar asal Tiongkok, mereka bercerita tentang situasi keuangan orang tua yang terpuruk setelah COVID-19, sehingga membuat mereka sulit membayar biaya kuliah yang mahal di luar negeri. Emily Xiong adalah salah satunya.
Bloomberg melaporkan bahwa Emily Xiong yang sedang belajar di kelas persiapan di Birmingham, Inggris berharap dapat tetap melanjutkan studinya ke universitas di luar Tiongkok. Ketika dia pulang ke Tiongkok untuk liburan musim dingin, ayahnya memberitahu dirinya bahwa bisnisnya sedang berada dalam kesulitan, bahwa dia terpaksa menjual aset yang ada untuk memenuhi kebutuhan hidup, bahkan masih perlu membiayai pengobatan yang mahal. Meskipun Emily Xiong kembali ke Birmingham, tetapi ibunya berpesan agar dirinya mempertimbangkan untuk belajar di Malaysia, dengan biaya kuliahnya lebih rendah yang masih bisa ditanggung orang tua. Emily mengatakan bahwa dirinya terpaksa mengikuti pilihan tersebut, walau tahu lebih baik belajar di Inggris.
Cheersyou, sebuah perusahaan konsultan pendidikan di New York memberitahu Bloomberg bahwa sebelum epidemi, belajar di luar negeri jarang menjadi masalah bagi pelajar asal Tiongkok, namun di antara pelajar Tiongkok yang diajak konsultasi baru-baru ini, terungkap ada 10% dari mereka yang mengubah rencana studi karena kurangnya dana.
Para ekonom yakin kesulitan keuangan yang dialami para pelajar ini menyoroti kerentanan kelas menengah Tiongkok. Ketika kondisi ekonomi memburuk, mereka nyaris tidak memiliki sandaran. Pertumbuhan Tiongkok yang pesat dalam beberapa dekade terakhir ternyata hanya memberikan banyak rumah tangga rasa aman ekonomi yang semu, mereka kekurangan aset yang terdiversifikasi seperti yang dimiliki oleh orang-orang yang benar-benar kaya.
Sejak tahun lalu, tagar “Putus pasokan dana studi di luar negeri” telah dilihat oleh 4,622 juta kali di platform media sosial Tiongkok “Xiaohongshu”. Ketika semakin banyak pelajar Tiongkok yang studi di luar negeri mengalami kesulitan keuangan karena kekayaan keluarga mereka menyusut, banyak yang beralih ke Internet untuk mendapatkan bantuan dan nasihat tentang cara mengatasinya.
Topik terkait di “Xiaohongshu” meliputi : “Bagaimana cara menyelamatkan diri ketika putus pasokan dana studi di Inggris ?” “Belajar di Amerika Serikat tiba-tiba mengalami terhentinya kiriman, pupus harapan mendapat kiriman dana dari keluarga”. “Putus pasokan dana studi di luar negeri, keluarga tiba-tiba anjlok dari kelas menengah”, dan lain sebagainya.
Sejauh ini, otoritas komunis Tiongkok belum berhasil mengatasi krisis real estate yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Akibat 70% aset rumah tangga terkait erat dengan real estat, maka keruntuhan industri ini berarti terjadinya pembalikan mendadak bagi banyak rumah tangga Tiongkok, yang berdampak langsung terhadap anak-anak mereka yang studi di luar negeri. (sin)