‘Sepertinya…ada perbedaan kepentingan yang bermakna antara Tiongkok dengan Rusia,’ kata pakar hukum Tiongkok Du Wen kepada The Epoch Times
Jessica Mao dan Michael Zhuang
Presiden Rusia Vladimir Putin mengakhiri kunjungan kenegaraan selama dua hari ke Tiongkok pada tanggal 17 Mei 2024. Meskipun ada klaim-klaim dari Tiongkok dan Rusia bahwa kunjungan tersebut untuk memperkuat hubungan ‘Kemitraan Koordinasi yang Strategis dan Komprehensif untuk Era Baru,’ di antara kedua negara tersebut, tidak ada kesepakatan terobosan tercapai. Namun, para ahli hal itu menunjukkan Tiongkok tampaknya memiliki beberapa keraguan mengenai pendalaman ikatan-ikatan militer dan ekonomi dengan Rusia.
Vladimir Putin tiba di Beijing pada tanggal 16 Mei 2024, menandai kunjungan keduanya ke Tiongkok dalam waktu tujuh bulan dan perjalanan pertamanya ke luar negeri sejak ia terpilih kembali. Tiongkok menyambutnya dengan menggelar karpet merah di bandara, dengan penampilan penyambutan yang langka dari seorang pejabat wanita, anggota Dewan Negara Republik Rakyat Tiongkok Shen Yiqin, untuk menyambutnya.
Beberapa media di Tiongkok menggambarkan peran Shen Yiqin dalam menyambut Vladimir Putin sebagai sebuah pengaturan khusus, yang menunjukkan rasa hormat dan refleksi yang tinggi oleh Beijing terhadap Vladimir Putin dan menunjukkan hubungan-hubungan yang hangat antara kedua negara tersebut.
Penulis dan analis politik keturunan Tionghoa-Amerika, Chen Pokong mengungkapkan ia terkejut atas keterlibatan Shen Yiqin, dan menyadari bahwa pekerjaan Shen Yiqin tidak ada hubungannya dengan diplomasi, perniagaan, atau perdagangan. Chen Pokong menyatakan bahwa pengaturan ini adalah sebuah langkah yang disengaja oleh Beijing untuk mengurangi perhatian dari Amerika Serikat dan Eropa, menandakan niat baik terhadap Amerika Serikat dan Eropa.
Kebutuhan Vladimir Putin akan Dukungan Partai Komunis Tiongkok
Pada bulan Februari 2022, Rusia menginvasi Ukraina. Selama dua tahun terakhir, Partai Komunis Tiongkok telah menjadi sekutu penting bagi Rusia, di mana menyebabkan pengawasan yang bermakna dari Amerika Serikat dan Uni Eropa. Menghadapi sanksi berat dari negara-negara Barat, perekonomian Rusia telah terpisah dari Barat, membuat Vladimir Putin menjadi sangat bergantung pada Beijing untuk urusan diplomatik dan dukungan ekonomi.
Menurut data dari Administrasi Umum Kepabeanan Tiongkok, perdagangan Tiongkok-Rusia mencapai rekor usd 240,1 miliar pada tahun 2023, peningkatan dari tahun ke tahun sebesar 26,3 persen, melampaui target para pemimpin sebelumnya.
Sumber daya mineral, termasuk minyak, batu bara, dan produk minyak bumi, diperhitungkan 73 persen ekspor Rusia ke Tiongkok, atau hampir 40 persen perdagangan bilateral. Ekspor Tiongkok ke Rusia sebagian besar terdiri dari produk elektromekanis, peralatan rumah tangga, dan mobil, yang menyumbang hampir 40 persen dari total ekspor Tiongkok ke Rusia. Pada tahun 2023, Tiongkok mengimpor 107 juta ton minyak dari Rusia, menjadikan Rusia sebagai pemasok minyak terbesar bagi Tiongkok.
Rusia juga menjual gas alam ke Tiongkok dengan harga murah. Pada bulan Februari 2024, raksasa energi Rusia Gazprom mengumumkan bahwa Gazprom telah melampaui Turkmenistan sebagai pemasok gas alam terbesar di Tiongkok.
Sebelum kunjungannya, Vladimir Putin mengatakan kepada corong Partai Komunis Tiongkok, Kantor Berita Xinhua bahwa dalam lima tahun terakhir, perdagangan Tiongkok-Rusia meningkat dua kali lipat, salah satunya adalah Tiongkok menjadi mitra dagang terbesar Rusia selama 13 tahun berturut-turut. Vladimir Putin menekankan bahwa kerja sama di masa depan akan fokus pada sektor industri dan teknologi-tinggi, luar angkasa, energi nuklir, kecerdasan buatan, energi terbarukan, dan bidang inovatif lainnya. Vladimir Putin menggambarkan Tiongkok sebagai “tetangga yang baik dan teman yang dapat diandalkan.”
Konflik Kepentingan Partai Komunis Tiongkok
Meskipun Vladimir Putin sangat memuji persahabatan bilateral tersebut, pemimpin Tiongkok Xi Jinping mungkin memiliki beberapa keberatan. Pernyataan bersama yang dirilis pada tanggal 16 Mei 2024 tidak lagi mencantumkan kalimat persahabatan dengan “tidak ada batas” dan “tidak ada wilayah yang dilarang,” yang sebelumnya digunakan untuk menggambarkan hubungan Tiongkok-Rusia.
Dalam konferensi pers setelah pertemuan dengan Vladimir Putin, Xi Jinping menyatakan kedua belah pihak akan menjunjung tinggi prinsip “non-blok, non-konfrontasi, dan tidak menargetkan pihak ketiga mana pun.” Xi Jinping menekankan perlunya menemukan kepentingan bersama, memanfaatkan keunggulan satu sama lain, memperdalam integrasi, dan mencapai prestasi bersama.
Komentator urusan Tiongkok yang berbasis di Amerika Serikat, Tang Jingyuan, mengatakan kepada The Epoch Times pada tanggal 17 Mei bahwa isi pernyataan bersama secara menunjukkan kerja sama komprehensif antara kedua negara. Namun, kenyataan, terutama melibatkan Partai Komunis Tiongkok yang mendukung dan membantu Rusia.
“Setelah lebih dari dua tahun Perang Rusia-Ukraina, perbendaharaan Rusia sudah habis, dan sekarang sepenuhnya bergantung pada dukungan Partai Komunis Tiongkok,” kata Tang Jingyuan.
“Dalam konteks ini, hubungan Tiongkok-Rusia telah berubah, dan posisi Vladimir Putin dan Xi Jinping telah berbalik.”
Du Wen, seorang sarjana hukum Tiongkok yang tinggal di Belgia, percaya bahwa kunjungan Vladimir Putin tersebut bertujuan untuk membujuk Xi Jinping agar terus memberikan bantuan militer dan ekonomi.
Du Wen mengatakan kepada The Epoch Times bahwa tim Vladimir Putin berusaha meringankan kekhawatiran Xi Jinping mengenai sanksi Barat dan meyakinkan Xi Jinping untuk tidak takut terhadap sanksi-sanksi tersebut sambil terus mendukung Rusia.
“Namun, tampaknya Partai Komunis Tiongkok belum sepenuhnya mendengarkan saran Vladimir Putin, dan ada perbedaan kepentingan yang bermakna antara Tiongkok dengan Rusia,” kata Du Wen. Ia mencatat bahwa dari pernyataan Xi Jinping, adalah jelas bahwa Partai Komunis Tiongkok dengan tegas mendukung Rusia tetapi tidak akan mengorbankan posisi Tiongkok dalam rantai industri global. Oleh karena itu, inti kerja sama Tiongkok-Rusia tidak mencakup kerja sama militer yang tidak dapat diterima oleh Barat. Lebih-lebih lagi, kerja sama Tiongkok dengan Rusia bukannya “tidak terbatas” dan harus selaras dengan kepentingan Partai Komunis Tiongkok.
Peringatan Amerika Serikat dan Uni Eropa terhadap Tiongkok
Sebelum kunjungan Vladimir Putin, Xi Jinping baru saja menyelesaikan kunjungannya ke Eropa. Pada tanggal 6 Mei, Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, atas undangan Presiden Prancis Emmanuel Macron, mengadakan pertemuan dengan Xi Jinping di Paris. Ursula Von der Leyen menyatakan bahwa ia dan Emmanuel Macron mengharapkan Tiongkok tidak akan memberikan senjata-senjata yang mematikan kepada Rusia, dan menegaskan kembali bahwa masalah ini adalah sedemikian pentingnya bagi hubungan Uni Eropa-Tiongkok. Sebelumnya, Amerika Serikat dan Uni Eropa mengkritik Tiongkok karena memasok material dan komponen senjata yang dapat digunakan secara ganda oleh Rusia.
Pada tanggal 26 April, Menteri Luar Negeri Antony Blinken baru-baru ini dalam kunjungannya ke Beijing menyatakan bahwa Tiongkok “membantu memicu ancaman terbesar” terhadap keamanan Eropa sejak Perang Dingin. Antony Blinken mengatakan jika Tiongkok ingin menjaga hubungan persahabatan dengan Eropa dan negara-negara lain, Tiongkok tidak dapat secara bersamaan mendukung ancaman terbesar bagi keamanan Eropa sejak Perang Dingin.
Du Wen berkomentar bahwa invasi Rusia ke Ukraina dan ancaman Rusia terhadap keamanan Eropa adalah garis merah bagi Amerika Serikat dan Eropa. Namun, Du Wen mengatakan bahwa Partai Komunis Tiongkok melakukan pembelian minyak Rusia dalam jumlah besar dan dukungan Tiongkok kepada Rusia tidak menyiratkan tidak adanya batasan.
“Setelah Barat merespons dengan tegas, Partai Komunis Tiongkok harus mundur,” kata Du Wen. (Vivi)