Norwegia, Spanyol dan Irlandia Mengakui Negara Palestina

Deklarasi tersebut mendorong Israel menarik duta besarnya dari tiga negara itu

 Bill Pan

Pada 22 Mei 2024, Norwegia, Spanyol, dan Irlandia mengumumkan bahwa mereka akan secara resmi mengakui negara Palestina, mendorong Israel untuk segera menarik duta besarnya di tiga negara itu.

Pengakuan resmi akan dilakukan pada  28 Mei 2024, menurut Perdana Menteri Norwegia Jonas Gahr Store.

“Di tengah perang, dengan puluhan ribu orang terbunuh dan terluka, kita harus tetap menghidupkan satu-satunya pilihan yang menawarkan solusi politik bagi Israel maupun bagi rakyat Palestina: Dua negara, hidup berdampingan, dalam damai dan aman,” kata Jonas Gahr Store dalam sebuah pernyataan.

Perdana Menteri Spanyol Pedro Sánchez mengatakan dalam pidatonya di Kongres Deputi bahwa rekannya dari Israel, Benjamin Netanyahu, tidak memiliki “sebuah proyek perdamaian untuk Palestina,” dan bahwa serangan Israel yang sedang berlangsung di Gaza memang sedemikian melemahkan kemungkinan solusi bagi dua negara itu.

“Melawan Hamas adalah sah setelah tanggal 7 Oktober, namun Benjamin Netanyahu menghasilkan begitu banyak kebencian. … Serangan hanya akan meningkatkan kebencian dan memperburuk harapan-harapan keamanan bagi Israel dan seluruh kawasan,” kata Pedro Sánchez.

“Satu-satunya solusi adalah keberadaan dua negara, Israel di satu sisi dan Palestina di sisi lain, dengan jaminan keamanan bersama,” kata Pedro Sánchez dengan alasan demikian sehingga perlu memberikan pengakuan kepada negara Palestina untuk “memberdayakan Otoritas Nasional Palestina melawan Hamas, sebuah kelompok teroris yang harus lenyap.”

Perdana Menteri Irlandia Simon Harris mengatakan ia berharap negara-negara lain akan mengikuti langkah tersebut untuk mengakui negara Palestina.

“Impian Irlandia adalah pada tanggal 28 Mei 2024 anak-anak Israel dan Palestina akan tumbuh menjadi tetangga yang damai,” kata Simon Harris dalam sebuah pernyataan. “Kami ingin berterima kasih dan merasa terhormat untuk mengakui Palestina bersama-sama dengan teman-teman kita di Spanyol dan Norwegia. Kami berharap negara lain akan melakukan hal yang sama di masa depan.”

Pemerintah Irlandia juga menyerukan pembebasan sandera tanpa syarat yang ditahan oleh Hamas dan akses kemanusiaan yang “menyeluruh, aman, dan tanpa hambatan” ke Gaza.

Israel Mengancam ‘Konsekuensi Berat’

Sebagai protes terhadap deklarasi tersebut, pada tanggal 22 Mei 2024, Israel mengatakan pihaknya  akan menarik duta besarnya untuk Norwegia, Irlandia, dan Spanyol.

“Saya mengirimkan pesan yang jelas dan tegas ke Irlandia dan Norwegia: Israel tidak akan tinggal diam menghadapi pihak-pihak yang merusak kedaulatan Israel dan membahayakan keamanan Israel,” tulis Menteri Luar Negeri Israel bernama Israel Katz dalam sebuah postingan di platform media sosial X sebelum pengumuman Spanyol dikeluarkan.

“Langkah terdistorsi yang dilakukan negara-negara ini merupakan ketidakadilan dalam ingatan  korban-korban [serangan 7 Oktober], pukulan terhadap upaya pemulangan 128 sandera, dan memberikan dorongan kepada Hamas dan kelompok jihadis Iran, sehingga melemahkan peluang untuk mencapai perdamaian dan mempertanyakan hak Israel untuk membela diri,” ujarnya. 

Israel Katz juga memperingatkan negara-negara lain untuk tidak mengikuti jejak ini.

“Israel tidak akan tinggal diam—–akan ada konsekuensi-konsekuensi yang lebih parah lagi,” kata Israel Katz. “Jika Spanyol mewujudkan niatnya untuk mengakui negara Palestina, langkah serupa akan diambil untuk melawan Spanyol.

“Kebodohan Irlandia-Norwegia tidak menghalangi kami; kami bertekad untuk mencapai tujuan kami: memulihkan keamanan warganegara kami, menghancurkan Hamas, dan membawa pulang para sandera. Tidak ada penyebab yang lebih adil daripada hal-hal ini.”

Pada Oktober 2014, Swedia menjadi anggota pertama Uni Eropa yang mengakui negara Palestina. Bulgaria, Siprus, Ceko, Hongaria, Malta, Polandia, Rumania, dan Slovakia menyusul pada dekade berikutnya.

Memikirkan Kembali Perjanjian Oslo

Norwegia, yang memimpin deklarasi 22 Mei, juga memainkan peran penting dalam perundingan perdamaian Israel-Palestina pada awal tahun 1990-an.

Pembicaraan damai tersebut, dipandu oleh apa yang digambarkan oleh Jonas Gahr Store sebagai sebuah strategi pengakuan negara Palestina akan mengikuti perjanjian damai, akhirnya menghasilkan Perjanjian Oslo, serangkaian perjanjian yang perlahan-lahan gagal.

Perjanjian Oslo membentuk Otoritas Nasional Palestina dan memberi Otoritas Nasional Palestina untuk mengendalikan bagian Tepi Barat dan Jalur Gaza. Badan pemerintah Palestina kemudian kehilangan kendali atas Jalur Gaza yang jatuh ke tangan Hamas setelah pertempuran pada tahun 2007 dan kini pemerintah Palestina hanya menguasai sekitar 40 persen wilayah Tepi Barat. Sisa Tepi Barat berada di tangan Israel.

Di Israel, momentum Perjanjian Oslo sebagian besar terhalang setelah perjanjian tersebut ditandatangani, Perdana Menteri Yitzhak Rabin, dicap sebagai pengkhianat dan dibunuh pada tahun 1995. Pengganti Yitzhak Rabin, yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri Shimon Peres, dikalahkan pada pemilihan umum tahun berikutnya dan digantikan oleh Benjamin Netanyahu, yang tidak terlalu tertarik dengan visi pendahulunya menjadikan negara Palestina sebagai negara tetangga Israel.

Mengakui kegagalan Perjanjian Oslo, Jonas Gahr Store berpendapat bahwa Norwegia dan negara-negara Eropa lainnya harus “berpikir dan bertindak secara berbeda” ketika mereka mendorong solusi dua negara itu terhadap konflik tersebut.

“Kita tidak dapat lagi menunggu konflik diselesaikan sebelum kita mengakui negara Palestina,” ujar Jonas Gahr Store.