Harga Jual Rendah, Menurut IPI Bekas Galon Sekali Pakai Tak Menarik Lagi Bagi Pemulung

JAKARTA – Bekas galon sekali pakai sudah tidak menarik lagi bagi para pemulung. Hal itu disebabkan harga jualnya yang sangat rendah dibanding pertama kali kemasan air minum ini diluncurkan.


“Harganya saat ini sudah sangat jauh di bawah, yaitu Rp 6.100 per kilonya. Padahal dulu waktu pertama kali dibuat harga jual plastik galon sekali pakai ini sama dengan plastik PET lainnya yaitu Rp 7.200 per kilonya,” ujar Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) Ikatan Pemulung Indonesia (IPI), Pris Polly Lengkong baru-baru ini.


Dia juga menuturkan adanya permintaan dari para industri daur ulang agar pengepresan plastik bekas galon sekali pakai ini dipisahkan dengan plastik PET lainnya. “Padahal sebelumnya tidak ada permintaan seperti itu dari pabrik daur ulangnya,” ungkapnya.


Terkait alasan pabrik daur ulang meminta seperti itu, dia mengatakan tidak mengetahuinya. “Saya juga nggak tau, kan saya juga bukan pabrikan ya. Tapi, pabrikan ngomong begitu,” ujarnya.

Dia khawatir dengan kondisi ini para pemulung tidak tertarik lagi untuk mengumpulkan bekas galon-galon sekali pakai itu. “Mereka mungkin lebih tertarik untuk mengumpulkan botol-botol kecil yang tidak memakan tempat di karung-karung mereka dan harganya juga lebih tinggi dibanding galon sekali pakai ini,” ucapnya.

Pris Polly menyebutkan para pemulung ini memang bisa mendapatkan sekilo plastik bekas dari 4 galon sekali pakai, sedang botol-botol kecil harus 100. “Tapi, dengan 4 galon sekali pakai itu mungkin karungnya sudah terisi penuh, sementara kalau diisi botol-botol kecil, jumlah kiloan yang didapat bisa lebih banyak. Belum lagi harga galon sekali pakai yang saat ini jauh lebih rendah dari plastik PET lainnya,” tukasnya.


Dia khawatir jika para pemulung tidak mau lagi untuk mengumpulkan bekas dari galon-galon sekali pakai itu, bisa menambah masalah sampah terhadap lingkungan. “Apalagi wadahnya kan besar-besar, sulit untuk membuangkan ke tempat sampah,” katanya.


Dahrun, seorang pengepul sampah yang berada di Pulo Gadung juga mengakui harga plastik PET dari bekas galon sekali ini harganya sangat rendah. Menurutnya, itu juga mengurangi minat dari para pemulung untuk mengambilnya.

“Membawanya juga susah dibanding dengan botol-botol kecil. Paling hanya berapa biji saja yang bisa terbawa dibanding yang kecil-kecil. Apalagi harganya sangat murah sekarang. Ini membuat galon-galon sekali pakai ini menjadi kurang menarik bagi para pemulung,” tuturnya.

Dia juga khawatir kondisi ini bisa menyebabkan banyaknya sampah dari galon sekali pakai ini di tempat-tempat sampah. “Kalau para pemulung tidak mau lagi mengambil bekas galon-galon sekali pakai ini, saya khawatir akan menimbulkan masalah sampah terhadap lingkungan,” jelasnya.

Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) Ikatan Pemulung Indonesia (IPI), Pris Polly Lengkong


Sebelumnya, para mahasiswa dari Universitas Indonesia (UI) dan Institut Pertanian Bogor (IPB) menyampaikan kesulitan mereka untuk membuang bekas dari kemasan galon-galon sekali pakai yang mereka gunakan.


Ditemui di kampusnya, seorang mahasiswa UI bernama Vito, mengaku kesulitan untuk membuang bekas galon air minum sekali pakai ini. “Saya bingung membuang sampahnya. Saya terpaksa meletakkannya saja di samping tempat sampah. Meskipun hal itu akan membuat lingkungan kita menjadi kotor,” tutur mahasiswa jurusan Hukum yang ngekost di daerah Kukusan, Depok, ini.


Hal senada disampaikan Kansa, mahasiswi jurusan Bisnis Islam UI yang ngekost di daerah Kukusan Teknik UI (Kutek), Depok. “Sebelumnya saya menggunakan galon sekali pakai. Kemudian saya ganti dengan galon guna ulang karena saya bingung membuang bekas galonnya,” tukasnya.


Bayu, mahasiswa Kedokteran IPB, juga mengaku kesulitan membuang bekas galon air minum sekali pakai ke tempat-tempat sampah. “Tempat sampahnya tidak muat, dan anak-anak kost membuangnya saja di luar tong sampah. Itu membuat lingkungan kost menjadi kotor,” ujar mahasiswa yang ngekost di daerah Cibanteng, Dramaga, Bogor.


Demikian juga dengan Atika, mahasiswi jurusan Sumber Daya Pengelolaan Perairan IPB yang juga mengaku kesulitan membuang bekas galon sekali pakai. “Tempat sampahnya tidak cukup karena galonnya terlalu besar,” tukas mahasiswi yang juga ngekost di Cibanteng, Dramaga, Bogor ini.


Greenpeace Indonesia juga melihat produk galon sekali pakai bertolak belakang dengan semangat pengurangan sampah yang sebenarnya menjadi target Indonesia untuk bisa mengurangi 70% sampah di laut hingga tahun 2025 mendatang.


Juru kampanye Urban Greenpeace Indonesia, Muharram Atha Rasyadi, melihat keanehan, di mana pada saat pemerintah berusaha untuk menargetkan pengurangan sampah, khususnya sampah plastik, justru ada industri yang malah mengeluarkan produk-produk baru yang berpotensi menimbulkan sampah seperti produk air minum dalam kemasan (AMDK) galon sekali pakai. “Itu kan aneh namanya,” ucapnya.

Menurut Atha, industri yang memproduksi galon sekali pakai itu jangan hanya melihat dari sisi botolnya saja yang berbahan PET, yang kemudian diklaim bisa didaur ulang dan menjadi salah satu jenis plastik yang tinggi yang dicari oleh para pemulung, tapi mereka juga harus melihat label dan tutupnya yang ternyata berpotensi menjadi sampah. “Jadi, keberadaan produk AMDK galon sekal pakai ini bukan progres yang baik untuk pengurangan sampah di Indonesia,” ungkapnya.

Ia khawatir, jika masyarakat nantinya beralih dan menjadi terbiasa dengan kemasan galon sekali pakai ini, guna ulang yang ramah lingkungan malah ditinggalkan. “Saya membayangkan betapa tingginya potensi sampah di Indonesia. Belum ada galon sekali pakai saja kita sudah menghasilkan sampah yang tinggi, apalagi ditambah sampah dari galon sekali pakai ini,” kata Atha.