Gedung Putih :  Serangan Israel di Rafah Tidak Melanggar ‘Garis Merah’

WASHINGTON—Gedung Putih pada 28 Mei mengindikasikan bahwa serangan Israel di kota Rafah di selatan Gaza, yang mengakibatkan kematian sedikitnya 45 warga Palestina, belum melewati garis merah yang ditetapkan oleh Presiden Joe Biden untuk menghentikan pengiriman senjata ke Israel.

“Sebagai akibat pemogokan pada Minggu ini, tidak ada perubahan kebijakan yang perlu saya sampaikan,” juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih John Kirby mengatakan dalam sebuah pernyataan konferensi pers.

“Itu baru saja terjadi. Israel akan menyelidikinya. Kami akan menaruh perhatian besar pada apa yang Israel temukan dalam penyelidikan itu. Dan kami akan lihat ke mana arah penyelidikan itu.”

Serangan udara Israel pada  26 Mei menewaskan sedikitnya 45 orang, sebagian besar di antaranya orang-orang yang berlindung di tenda-tenda di Rafah setelah mengungsi akibat konflik yang sedang berlangsung. Militer Israel menyatakan bahwa dua teroris senior juga tewas dalam serangan tersebut.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menggambarkan serangan udara di Rafah sebagai “kesalahan tragis” dan berjanji bahwa pemerintahnya akan menyelidiki kejadian tersebut lebih lanjut.

“Meskipun kami berupaya semaksimal mungkin untuk tidak menyakiti warga sipil yang tidak bersalah, yang terjadi tadi malam adalah kesalahan yang tragis,” kata Benjamin Netanyahu kepada parlemen Israel pada 27 Mei.

“Kami sedang menyelidiki insiden tersebut dan akan mendapatkan sebuah kesimpulan karena memang demikian kebijakan kami.”

Selama konferensi pers, wartawan berulang kali menanyai John Kirby mengenai alasan mengapa kematian warga Palestina tidak dianggap sebagai pelanggaran garis merah.

“Kami tidak ingin melihat operasi darat besar-besaran [di Rafah]. Kami belum melihat operasi darat besar-besaran pada saat ini,” jawabnya.

Pada 28 Mei, Angkatan Pertahanan Israel merilis temuan awal mereka, yang menunjukkan bahwa kebakaran tersebut disebabkan oleh ledakan sekunder daripada serangan awal.

“Kami senang bahwa Angkatan Pertahanan Israel melakukan penyelidikan penuh, yang kami yakini akan sangat penting untuk mencegah kecelakaan serupa terjadi di masa depan,” kata John Kirby.

Presiden Joe Biden baru-baru ini menyatakan bahwa Amerika Serikat tidak akan “memasok senjata dan peluru artileri” kepada Israel jika Israel memutuskan untuk memasuki pusat-pusat populasi di Rafah untuk membersihkan sisa basis Hamas.

“Saya sudah menjelaskannya,” kata Joe Biden kepada CNN pada 8 Mei. “Jika Israel pergi ke Rafah, saya tidak akan memasok senjata.”

Joe Biden juga mengatakan pada saat itu bahwa Israel belum melewati garis merah yang ditetapkannya bahwa Israel belum memulai invasi besar-besaran di Rafah.

Serangan udara Israel terjadi dua hari setelah Pengadilan Kriminal Internasional memerintahkan militer Israel untuk menghentikan semua operasi militernya di Rafah.

Pada 27 Mei, Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa pemerintahannya tidak akan tunduk pada tekanan domestik atau internasional untuk mengabaikan tujuan pemerintahannya dalam meniadakan Hamas.

“Biar saya perjelas: Saya tidak akan menyerah atau melepas. Saya tidak akan mengakhiri perang sebelumnya mencapai semua tujuan kami. Pahlawan-pahlawan kami yang gugur tidak akan mati sia-sia,” ujarnya.

Presiden Joe Biden telah berulang kali menyatakan keprihatinannya terhadap operasi militer berskala-besar di Rafah dapat berisiko merugikan warga sipil.

Rafah menjadi tempat perlindungan terakhir di Jalur Gaza bagi hampir 1,4 juta pengungsi Palestina.

Namun, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, hampir 1 juta warga Palestina meninggalkan Rafah sejak operasi militer Israel dimulai pada 6 Mei. (viv)