EtIndonesia. Namaku Li Xiulan, tahun ini aku berusia 40 tahun. Keluargaku tinggal di kota kecil, dan meskipun hidup kami tidak kaya, kami tetap bisa hidup dengan baik.
Suamiku jatuh sakit dan meninggal 6 tahun yang lalu, meninggalkan aku, mertua, dan putra tunggalku.
Mertuaku tidak dalam keadaan sehat dan harus minum obat sepanjang tahun.
Nama putraku Xiaojun, prestasi akademisnya tidak bagus dan dia tidak kuliah. Jadi dia bekerja di supermarket kecil di kota.
Awal tahun lalu, Xiaojun membawa pulang seorang pacar bernama Xiaoling, yang seumuran dengannya. Keluarganya berasal dari daerah pedesaan di provinsi lain dan dia juga bekerja di kota tersebut.
Terlihat Xiaoling memiliki perut yang besar. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa putraku akan memberiku seorang cucu secepat ini.
Karena baik Xiaojun maupun Xiaoling baru berusia 19 tahun dan belum matang, jadi aku sedikit khawatir.
Saat anak itu lahir, dia adalah seorang anak laki-laki gemuk berbadan besar bernama Lele.
Awalnya aku sangat bahagia. Bagaimanapun, memiliki seorang cucu adalah suatu kebahagiaan bagi banyak orang.
Dan rasanya istimewa bagiku menjadi seorang nenek di usia yang begitu muda. Aku dianggap sebagai nenek termuda di kota.
Tapi kebahagiaan datang terlalu cepat, seperti angin puting beliung, menyapu hidupku yang semula damai.
Ketika Lele berusia 7 bulan, putra dan menantunya berkata bahwa mereka ingin pergi ke selatan untuk bekerja di kota besar guna mencari uang untuk membeli susu untuk Lele.
Aku tidak terlalu memikirkannya saat itu dan setuju.
Namun siapa sangka ketika mereka pergi, mereka seperti layang-layang yang talinya putus dan tidak pernah kembali.
“Bu, kami sibuk bekerja. Lele, tolong jaga dia” Xiaojun selalu mengatakan ini di telepon.
“Lalu kapan kamu akan kembali menemui anakmu?” Aku selalu menanyakan hal ini, tetapi tidak selalu ada jawaban yang jelas.
Seiring berlalunya hari, Lele bisa merangkak, berdiri, dan memanggil “nenek”, tapi mereka tidak pernah kembali.
Parahnya lagi, mereka bahkan tidak memberikan biaya hidup kepada anak tersebut.
Aku harus merawat mertua yang sudah lanjut usia dan cucuku yang masih kecil. Aku tidak bisa pergi bekerja untuk mencari uang, dan tabungan keluarga hampir habis.
Aku sangat khawatir sampai tidak bisa tidur, dan memikirkannya saja sudah membuatku ingin menangis.
“Nenek, di mana ibu dan ayah?” Lele selalu bertanya padaku sambil mengedipkan matanya yang besar.
“Mereka… mereka sedang bekerja di luar kota dan akan segera kembali.” Aku hanya bisa berbohong seperti ini setiap saat, tapi aku merasa berdosa karenanya.
Hingga suatu hari, telepon Xiaojun berdering lagi: “Bu, Xiaoling dan aku putus. Tolong… tolong terus rawat anak itu.”
Di ujung lain telepon, aku patah hati. Apakah ini harga yang harus aku bayar untuk memiliki seorang cucu? Aku menelepon Xiaoling, tetapi teleponnya tidak diangkat.
Ketika kehidupan menjadi semakin sulit, aku mulai melakukan beberapa pekerjaan di kota untuk mencukupi kebutuhan.
Lele juga menjadi semakin bijaksana. Dia tahu bahwa neneknya bekerja keras dan tidak pernah berteriak-teriak minta dibelikan mainan.
Namun setiap kali ia melihat anak-anak lain ditemani orangtuanya, matanya selalu menampakkan rasa rindu.
Hari itu, aku sedang mencuci pakaian di halaman, dan Lele berlari menghampiri dan memelukku: “Nenek, aku tidak ingin mainan, aku tidak ingin baju baru, aku hanya ingin orangtuaku pulang.”
Air mataku tiba-tiba jatuh. Aku memeluk Lele erat-erat, merasakan emosi campur aduk di hatiku.
“Nenek akan selalu bersamamu,” aku mengelus kepalanya dan berkata dengan lembut.
Sejak itu, aku bekerja lebih keras di bidang kerajinan tangan hanya untuk memberi Lele kehidupan yang lebih baik.
Orang-orang di kota juga mulai memberikan bantuan, ada yang mengirimkan makanan, dan ada pula yang membantu merawat Lele, yang membuatku merasakan hangatnya dunia.
Waktu berlalu hari demi hari, dan Lele pun mencapai usia taman kanak-kanak.
Tapi aku tidak punya uang untuk mendaftarkannya. Aku membulatkan tekat dan menelepon putraku berkali-kali, dan akhirnya berhasil.
Aku memberi tahu putraku tentang dilemaku dan berharap dia akan mengambil tanggung jawab menjadi seorang ayah dan kembali mencari pekerjaan di dekat rumah.
“Xiaojun, kembalilah. Mari bekerja sama sebagai sebuah keluarga dan segalanya akan menjadi lebih baik.”
Xiaojun ragu-ragu dan diam untuk waktu yang lama, dan akhirnya setuju. Dia kembali ke rumah, mencari pekerjaan, dan mulai memikul tanggung jawab keluarga.
Lele juga berangsur-angsur tumbuh dan menjadi bijaksana. Setiap kali aku melihat Xiaojun dan Lele bermain bersama, hatiku terasa hangat.
“Nenek, kalau aku besar nanti, aku akan menjagamu seperti ayahku.” Kata-kata Lele membuatku menangis.
Setelah melalui sekian banyak hal, akhirnya aku paham bahwa rumah bukan sekedar rumah, tapi juga tanggung jawab dan cinta.
Apa pun kesulitan yang kita hadapi, selama keluarga bersatu, tidak akan ada kendala yang tidak bisa diatasi.
Semoga setiap keluarga tetap bersama melalui suka dan duka dan saling mencintai. Aku berharap setiap anak dapat berkembang dalam cinta dan tanggung jawab.
Semoga hidup kita, meski ada air mata, penuh harapan dan tawa.
Semoga setiap orang yang bekerja keras diperlakukan dengan lembut di tahun-tahun mendatang dan berkembang dengan kecemerlangan mereka sendiri di hari-hari mendatang! (yn)
Sumber: uos