35 Tahun Hancur Tanpa Lebur:  Perubahan Drastis Tiongkok Pasca-4 Juni

Forum Elite

Bagi masyarakat Tiongkok masa kini, Insiden 4 Juni adalah sebuah rintangan yang tidak dapat diatasi. Pada 4 Juni, 35 tahun yang lalu, Partai Komunis Tiongkok (PKT) menggunakan pasukan pertahanan nasional reguler dan senjata berat seperti tank dan senapan mesin untuk melakukan pembantaian terhadap puluhan ribu warga Beijing yang menuntut demokrasi. Peristiwa ini menggemparkan dunia. Setelah tindakan keras di Lapangan Tiananmen, meskipun PKT terus mendorong reformasi dan keterbukaan serta perekonomian RRT (Republik Rakyat Tiongkok) terus bertumbuh dengan pesat, namun persepsi seluruh generasi terhadap PKT telah berubah total. 

Mengapa penindasan 4 Juni 1989 itu terjadi? Apakah konsekuensi insiden ini terhadap PKT sendiri dan masyarakat RRT? Dampak dan inspirasi apakah yang akan dihasilkannya terhadap pembentukan kembali tatanan internasional dan masa depan?

Pembantaian 4 Juni 1989 Berdampak pada Perubahan Dramatis di Uni Soviet dan Eropa Timur serta Membentuk Kembali Hubungan antara PKT dengan Warganya

Pemimpin Redaksi The Epoch Times, Guo Jun menyatakan dalam “Forum Elite” bahwa Pembantaian Tiananmen 4 Juni yang terjadi pada 1989 memiliki dampak terbesar terhadap Tiongkok, yakni hal tersebut telah mengubah hubungan antara PKT dengan rakyatnya sendiri, dan membentuk kembali hubungan antara intelektual Tiongkok dan PKT.

Sebelum Gerakan Demokrasi 1989, sebagian besar anak muda Tiongkok kala itu sebenarnya adalah kaum pembaharu, bahkan reformis. Artinya, mereka sebenarnya terus mencari mekanisme sosial yang lebih baik atas dasar identifikasi diri mereka dengan kekuasaan Partai Komunis Tiongkok. Namun setelah tindakan brutal pada 4 Juni, kebanyakan orang lantas menjadi kaum revolusioner. Artinya, mereka percaya bahwa selama PKT masih berkuasa, pembaharuan dan reformasi bagi Tiongkok tidak mungkin dilakukan. PKT harus sepenuhnya ditinggalkan sebelum Tiongkok dapat terus melaju, terutama dalam beberapa tahun terakhir ini, tren pemikiran semacam ini menjadi semakin gamblang.

Pembantaian “4 Juni” sebenarnya bukanlah sejarah di masa lalu, melainkan sedang berlangsung hingga saat ini. Cara PKT mengatur masyarakat dan cara PKT memandang dunia tidak berubah sama sekali dari sebelumnya. Sifat konflik antara rakyat Tiongkok dengan PKT juga tidak ada yang berubah. Jika dilihat dari sudut pandang lain, konflik antara PKT dengan elite intelektual justru semakin serius, yang akan berdampak sangat besar pada masa depan Tiongkok. Dalam dua puluh atau tiga puluh tahun terakhir, kelompok mahasiswa kala itu secara bertahap telah menguasai sumber daya sosial. Setiap kali kami melaporkan beberapa peristiwa penting dan mewawancarai beberapa tokoh penting, banyak dari mereka yang diwawancarai adalah mahasiswa pada 1980-an. Kelompok orang ini adalah kaum elite Tiongkok ‘zaman now’. Yang dimaksud elite di sini adalah elite dalam segala aspek. Ketika generasi Xi Jinping perlahan-lahan mulai surut, para elite inilah yang akan menentukan ke arah mana masa depan Tiongkok.

Guo Jun berkata bahwa Insiden 4 Juni berdampak sangat besar pada lanskap politik global dan secara langsung telah menyebabkan runtuhnya seluruh kelompok negara komunis. Pada paruh kedua 1989 pasca penindasan 4 Juni, rezim komunis di negara-negara Eropa Timur runtuh satu demi satu. Pada 1991, Uni Soviet dan Partai Komunis Uni Soviet runtuh, yang menyebabkan berakhirnya Perang Dingin. Negara-negara dengan sistem komunisme di seluruh dunia berjumlah tiga puluhan negara pada akhir 1980-an, menjadi hanya tersisa empat hingga sekarang. Oleh karena itu, “4 Juni” telah mengubah sebuah era.

Di sisi lain, peristiwa 4 Juni juga menjadi titik balik masa bulan madu antara Tiongkok dan Barat. PKT mulai melepaskan diri dari blok Soviet pada 1972, dan pada 1979 secara resmi bergabung dengan kubu Barat dan memulai konfrontasi langsung dengan mantan rekan-rekannya. Ini adalah peristiwa besar dalam Perang Dingin. Oleh karena itu, pada tahun 1980-an, Amerika Serikat dan negara-negara Barat melakukan segala upaya untuk sepenuhnya mendukung PKT, dan sepenuhnya mendukung Tiongkok dalam aspek ekonomi, militer, iptek dan lain sebagainya. Setelah 1989, negara-negara Barat pertama-tama berhenti mendukung PKT secara militer, dan disusul secara bertahap berseberangan dengan PKT mengenai masalah hak asasi manusia dan ideologi. Namun, kerja sama strategis internasional berskala besar sebenarnya tidak berubah. Perubahan strategi baru dan secara luas baru terjadi pasca 2018.

Tindakan Keras yang Dilakukan pada 4 Juni Tidak Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Tetapi telah Mengubah Metode Distribusi Kekayaan

Guo Jun menyatakan dalam “Forum Elite” bahwa pasca penindasan “4 Juni”, perekonomian Tiongkok mengalami perkembangan pesat. Oleh karena itu, Partai Komunis Tiongkok (PKT) mempropagandakan bahwa jika tidak ditindas pada 1989, maka Tiongkok akan jatuh ke dalam kekacauan dan tidak akan ada pertumbuhan ekonomi selanjutnya. Argumen PKT ini jelas tidak logis.

“Jika tidak ada penindasan maka tidak akan ada pertumbuhan ekonomi”, asumsi ini sendiri tidak sesuai dengan logika dasar dan sama sekali tidak dapat dipertahankan, karena sebelum sesuatu terjadi, sebenarnya terdapat kemungkinan yang tidak terbatas. Salah satu kemampuan terbesar sistem otokratis adalah mengandalkan propaganda menyesatkan semacam ini, yang juga digunakan dalam aspek lain, seperti penindasan terhadap Falun Gong. PKT akan menyebarkan berita, apa yang akan terjadi pada Tiongkok jika Falun Gong mengambil alih kekuasaan? Faktanya, premis dari pertanyaan ini tidak ada. Falun Gong tidak pernah menginginkan kekuasaan. Jika Anda menggunakan premis hipotetis untuk mengukur hasil hipotetis, kesimpulan yang Anda peroleh tentu saja adalah absurd.

Melihat kembali perekonomian RRT, perekonomian mereka memang telah mencapai prestasi besar dalam tiga puluh tahun terakhir, dan di antaranya terdapat dua faktor yang krusial. 

Yang pertama adalah orang Tiongkok mempunyai motivasi yang sangat kuat untuk menghasilkan uang, serta mereka rajin, berani, dan pekerja keras. Ini adalah sumber kekuatan terpenting bagi pembangunan ekonomi. Faktanya, tidak hanya di Daratan Tiongkok, tetapi juga wilayah dan negara yang didominasi oleh etnis Tionghoa seperti Taiwan, Hong Kong, dan Singapura, perekonomiannya berkembang sangat pesat. 

Faktor kedua adalah monetisasi perekonomian Tiongkok dan PDB dari kegiatan ekonomi merupakan dua konsepsi yang berbeda. Sebelum 1990-an, banyak aktivitas ekonomi di Tiongkok yang tidak diukur dalam mata uang, sehingga tidak dimasukkan dalam PDB. Misalnya, perumahan, layanan kesehatan, dan pendidikan semuanya sudah eksis sebelumnya, namun tidak dinyatakan dalam mata uang, sehingga tidak dimasukkan ke dalam PDB. Setelah 1990-an, apa yang disebut reformasi perumahan, reformasi kesehatan, dan reformasi pendidikan sebenarnya memperhitungkan hal-hal tersebut sebagai uang dan dimasukkan ke dalam statistik PDB. Ini merupakan sebuah faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi RRT. Modernisasi ekonomi sebenarnya adalah sebuah proses monetisasi. Monetisasi ekonomi Tiongkok direformasi oleh Zhu Rongji (Perdana Menteri RRT, 1998 – 2003) pada akhir 1990an. Hal ini merupakan suatu faktor besar lain dalam pertumbuhan substansial PDB Tiongkok pada saat itu.

Guo Jun mengatakan, sebenarnya Tiongkok pada awalnya adalah sebuah negara dengan ekonomi pasar. Setelah PKT mengambil alih seluruh negeri pada 1949, barulah mereka menerapkan nasionalisasi, serta mengubah perekonomian Tiongkok yang awalnya berorientasi pasar dan monetisasi menjadi perekonomian non-pasar dan non-moneter. Oleh karena itu, apa yang dilakukan PKT setelah reformasi dan keterbukaan hanyalah semacam pemulihan, bukan kemajuan. Jalur reformasi semacam ini direncanakan oleh Zhao Ziyang (mantan Perdana Menteri RRT dari 1980 hingga 1987, dan Sekretaris Jendral PKT dari 1987 hingga 1989) sebelum 1989, pada Kongres Nasional Partai Komunis Tiongkok ke-13 pada 1987. Hal ini pun tidak dapat dianggap sebagai pencapaian akibat penindasan “4 Juni”. Oleh karena itu, menurut Guo, klaim PKT bahwa penindasan “4 Juni” menjamin pembangunan ekonomi adalah omong kosong dan sengaja dibuat untuk menyesatkan.

Wang Juntao, ketua Partai Demokrat Tiongkok (pembelot dan aktivis demokrasi Tiongkok yang dituduh oleh PKT menjadi salah satu “tangan gelap” di balik Gerakan Mahasiswa Tiananmen. Red.), menyatakan dalam “Forum Elite” bahwa tindakan keras pada 4 Juni 1989 menyebabkan perubahan dalam model pertumbuhan ekonomi Tiongkok, yang utamanya tidak tercermin pada kecepatan pertumbuhan ekonomi, tetapi pada distribusi kekayaan dan peluang pengembangan. Dari sisi distribusi, apakah pembangunan ini malah akan membawa korupsi atau membawa pembangunan yang dinikmati seluruh rakyat? Dalam 40 tahun terakhir, merupakan 40 tahun perkembangan ekonomi yang pesat di Tiongkok.

Faktanya, sejak PKT mulai melakukan reformasi, kuota tanggung jawab rumah tangga pada akhir 1970-an, perekonomian Tiongkok sebelum 1989 terus berkembang dengan kecepatan tinggi. Menilik perkembangan setelah dan sebelum 1989, kecepatan pembangunan mereka sebenarnya sama, keduanya sekitar 10% per tahun. Lalu apa yang terjadi pada 1989? Sebelum 1989, kita dapat melihat bahwa pembangunan dimulai dengan peningkatan kelompok masyarakat termiskin, dimulai dengan peningkatan kuota rumah tangga petani, yaitu dimulainya perbaikan warga negara kelas dua, diikuti oleh kelompok perkotaan dan pedesaan, kelompok rumah tangga pertama berpenghasilan 10.000 yuan, semuanya adalah wiraswasta dan tidak memiliki pekerjaan.

Pada 1989, ketika kekayaan mencapai tingkat tertentu, masyarakat ingin mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam politik. Faktanya, dalam proses memimpin kerja pemerintah dan kerja partai, Zhao Ziyang (Perdana Menteri Tiongkok saat itu) menyadari bahwa jika tidak ada reformasi sistem politik, maka kelanjutan reformasi ekonomi kemungkinan dapat menimbulkan beberapa masalah. Baru pada saat itulah ia memasukkan reformasi politik ke dalam agendanya, namun Deng Xiaoping (Presiden Tiongkok saat itu) menetapkan batasan bagi Zhao, dengan mengatakan bahwa pemisahan kekuasaan (trias politica) tidak boleh diusung pada Kongres Nasional ke-13 (1987), dan bahwa praktik-praktik Barat tidak dapat diadopsi.

Namun, Zhao Ziyang membentuk mekanisme konsultasi dan dialog sosial. Padahal, pada 1989, menurut Wang Juntao, setelah mendapat kepercayaan diri dari pembangunan ekonomi sebelumnya, kekuatan sosial baru berharap Partai Komunis juga berbagi kekuasaan politik agar masyarakat bisa bersama-sama membicarakan pembangunan nasional.

Wang Juntao berkata, “Saya percaya bahwa jika tidak ada penindasan 4 Juni 1989 dan model dialog dan konsultasi sebelum 1989 terus dilanjutkan, maka perekonomian Tiongkok tidak hanya akan tetap mampu mempertahankan perkembangan pesatnya, masyarakatnya pun akan mampu untuk membagi hasil pembangunan dan peluang secara adil. Dengan demikian masyarakat tetap bisa menjaga suasana hati yang nyaman dan semua orang bisa leluasa berbicara.” Namun apa yang telah berubah sejak penindasan pada 1989? Kecepatan perekonomian mungkin masih sama seperti sebelumnya, namun menjadi perkembangan yang mendapat tekanan tinggi demi menjaga stabilitas. Perubahannya ialah kaum minoritas elite penguasa telah memonopoli hasil dan peluang pembangunan, sementara mayoritas masyarakat menanggung biaya pembangunan ekonomi. Terlebih lagi, seluruh masyarakat sangat korup. Inilah dampak penindasan 1989 terhadap pembangunan ekonomi. Dengan kata lain, tiga puluh tahun setelah penindasan pada 4 Juni 1989 merupakan semacam perkembangan yang tidak normal dan akut, serta telah menimbulkan bahaya laten bagi gejolak politik dan kemunduran pembangunan di masa depan.

Kepentingan Para Politisi Mendorong Transformasi, dan Kehancuran Otokrasi Tak Terelakkan

Shi Shan, editor senior dan kepala penulis The Epoch Times, menyatakan dalam “Forum Elite” bahwa mereka telah membahas suatu masalah, yaitu sistem otoriter di Asia sering kali disebabkan oleh represi internal, yang mengakibatkan beberapa perubahan dalam rezim, termasuk insiden Pulau Formosa di Taiwan (1979), peristiwa Gwangju di Korea Selatan (1980), dan pembunuhan Aquino di Filipina (1983), yang merupakan peluang terjadinya perubahan rezim di negara yang bersangkutan. Tentu, penindasan “4 Juni” yang dilakukan oleh PKT menjadi sebuah contoh tandingan, namun kejadian 4 Juni menjadi utang, gunung besar, dan ekuitas negatif yang senantiasa dipikul oleh PKT.

Shishan berkata, “Saya pernah membaca sebuah cerita tentang seseorang yang bertaruh dengan seorang little pink (simpatisan muda PKT di media sosial) di Tiongkok: Jika Anda mengatakan bahwa Tiongkok itu menganut kebebasan berpendapat, maka saya akan memberi Anda sebuah foto dan jika Anda berani mengunggahnya, saya akui bahwa memang ada kebebasan berpendapat di RRT.” Orang itu pun mengirimkan foto tank Tiananmen ke little pink tersebut. Little pink itu tidak mengerti maksud dari foto itu, sehingga dia tidak ragu untuk mengunggahnya, dan segera melakukannya. Akibatnya, seluruh akunnya dalam sekejap langsung dibekukan.

Guo Jun menyatakan dalam “Forum Elite” bahwa pemerintahan Partai Komunis aslinya merupakan model pemerintahan yang sangat otoriter. Sesampainya ajaran itu di Tiongkok, ia telah ditambahkan mentalitas otokrasi kuno, yang mungkin pada dasarnya telah memutus munculnya mekanisme konsultasi politik yang nyata. Peristiwa 4 Juni memberi tahu semua orang akan satu hal, yaitu, ketika terjadi perselisihan antara pemerintah dan rakyat di bawah kekuasaan PKT, ketika setiap orang mempunyai pendapat yang berbeda, satu-satunya cara PKT adalah menggunakan kekerasan.

Beijing, kata Guio Jun, tidak hanya melakukan hal ini, namun kekerasan telah diturunkan ke pemerintahan bawah secara bertahap selama beberapa tahun terakhir ini, dan sekarang pemerintah daerah pun memiliki hak untuk memutuskan penggunaan kekerasan terhadap masyarakat. Kita telah melihat berbagai perselisihan ekonomi selama beberapa tahun terakhir, seperti jika masyarakat tidak puas dengan tindakan pemerintah daerah, dan menuntut kompensasi pembongkaran, dan lain sebagainya, maka pemda akan langsung menggunakan kekerasan serta mengirimkan polisi dan polisi khusus untuk menyelesaikan masalah tanpa mekanisme negosiasi. Beijing beranggapan bahwa metode ini sangat efektif dan telah menjadi apa yang mereka sebut sebagai keunggulan konstitusional. Mereka percaya, hal ini merupakan penyebab kelembagaan utama bagi kebangkitan Tiongkok. Oleh karena itu, setelah 4 Juni 1989, kita tidak melihat adanya kemungkinan bahwa tirani Partai Komunis Tiongkok akan berubah.

Wang Juntao menyatakan dalam “Forum Elite” bahwa ketika ia mempelajari berbagai transformasi negara-negara di seluruh dunia, ia menemukan bahwa sebenarnya teori transformasi tidak mengharuskan orang untuk memiliki moral yang mulia, tetapi dalam perebutan kekuasaan, mereka yang berkuasa merasa bahwa melakukan hal tersebut adalah demi keuntungannya sendiri. Misalnya, Gorbachev bersiap membubarkan Partai Komunis Uni Soviet karena kudeta 19 Agustus. Jika Partai Komunis Uni Soviet dibiarkan eksis kembali, tentunya akan terjadi kudeta dan Gorbachev akan kehilangan nyawanya. Setelah Gorbachev membubarkan Partai Komunis Uni Soviet, Yeltsin tidak membunuhnya. Ada banyak contoh di dalam kehidupan nyata. Misalnya, orang yang memegang komando kedua berpikir bahwa jika saya melakukan reformasi, rakyat akan memilih saya sebagai pemimpin, jadi saya akan menyingkirkan orang yang memegang komando pertama. Selain itu pemimpin militer seperti di Mesir dan Indonesia ketika berpihak pada rakyat, sebetulnya mereka tidak benar-benar mencintai rakyatnya dan rakyat juga tidak terlalu suka dengan Mubarak atau Soeharto. Kedua petinggi militer tersebut percaya bahwa setidaknya secara moral dan dalam sejarah masa depan, lebih baik sekarang berdiri di sisi rakyat, dan kelak berkat tindakan mereka, rakyat mungkin akan menjadikan mereka sebagai pemimpin agung.

Wang Juntao mengatakan bahwa politisi memberikan perhatian paling besar pada pertukaran yang realistis. Ketika masyarakat mengejar kepentingannya sendiri dengan akal sehat dan rasionalitas, serta sejalan dengan kepentingan hati nuraninya, maka dengan sendirinya masyarakat akan memilih sistem demokrasi. Otokrasi pasti gagal di masa depan. Seperti yang dikatakan seorang politisi Tiongkok, Hu Ping (1930-2020), “Mereka bisa menang seribu kali, tapi asalkan mereka kalah sekali, maka mereka kalah. Kita bisa gagal ribuan kali, tetapi selama kita menang sekali, maka kita benar-benar menang.”

Wang Juntao berkata, “Saya pikir Partai Komunis akan runtuh karena sistem Partai Komunis tidak masuk akal. Ketika hari itu tiba, mereka yang menggulingkan Partai Komunis, yaitu para penggali kuburnya, kemungkinan adalah para ‘kader ambisius’ di dalam partai. Mereka tidak akan segan-segan menghancurkan partai ini untuk kemudian mengejar kepentingan politiknya sendiri. Oleh karena itu, transformasi politik tidak mengharuskan semua orang bersikap mulia. Selama sejumlah minoritas mengangkat obornya tinggi-tinggi, dan ketika semua orang mabuk kepayang, asalkan sang pembawa obor yang mengangkatnya tinggi-tinggi itu mulia, sudah cukup.” (osc/whs)