Vietnam Membangun Pulau dengan Sangat Cepat di Laut Tiongkok Selatan Saat Ketegangan dengan Tiongkok Meningkat

Alex Wu

Vietnam membangun pulau-pulau buatan dengan kecepatan yang mencapai rekor di Laut Tiongkok Selatan seiring dengan meningkatnya ketegangan dengan rezim komunis Tiongkok di perairan yang disengketakan tersebut, demikian menurut sebuah wadah pemikir Amerika Serikat (AS).

Vietnam telah membangun 692 hektar pulau baru melalui pengerukan dan penimbunan sejak November 2023, demikian ungkap Asia Maritime Transparency Initiative yang berbasis di Washington, Amerika Serikat, dalam sebuah laporan.

Jumlah lahan baru ini hampir sama dengan gabungan dua tahun sebelumnya-404 hektar yang dibuat dalam 11 bulan pertama 2023 dan 347 hektar 2022, demikian ungkap laporan pada 7 Juni tersebut.

Tiongkok telah membangun pulau-pulau di Laut Tiongkok Selatan sejak 2013 di perairan yang diklaimnya sebagai wilayah kedaulatannya, termasuk berbagai daerah di mana Vietnam juga telah membangun pulau dalam beberapa tahun terakhir.

Tiongkok menegaskan bahwa mereka memiliki hak eksklusif atas lebih dari 80 persen wilayah Laut Tiongkok Selatan – yang meliputi 1,4 juta mil persegi di Samudra Pasifik yang menyimpan hingga 22 miliar barel minyak dan 290 triliun kaki kubik gas alam.

Meskipun Tiongkok mengklaim kedaulatan atas perairan tersebut, dengan mengutip klaim historis sembilan garis putus-putus di Laut Tiongkok Selatan, Filipina, Brunei, Malaysia, Vietnam, dan Indonesia juga mengklaim kedaulatan atas zona ekonomi eksklusif di Laut Tiongkok Selatan. Beberapa di antaranya tumpang tindih satu sama lain dan dengan sembilan garis putus-putus milik partai komunis Tiongkok dan demarkasi 11 garis putus-putus milik Taiwan (Republik Tiongkok).

Dalam beberapa tahun terakhir, rezim Tiongkok telah meningkatkan agresinya di Laut  Tiongkok Selatan terhadap Vietnam dan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Pada tahun 2019, kedua negara mengalami kebuntuan selama berminggu-minggu di dekat blok minyak lepas pantai di perairan yang disengketakan.

perebutan Kepulauan Paracel Vietnam
Sebuah kapal penjaga pantai Tiongkok (kiri) diblokir oleh tiga kapal penjaga pantai Vietnam dekat rig pengeboran minyak Tiongkok di perairan yang disengketakan di Laut China Selatan pada 15 Mei 2014. (Hoang Dinh / Nam / AFP / Getty Images)

Pada tahun 2023, Vietnam memprotes larangan penangkapan ikan secara sepihak oleh Tiongkok di perairan Laut Tiongkok Selatan yang disengketakan.

Selain membangun pulau-pulau buatan untuk ekspansi militer, Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang berkuasa telah mengusir kapal-kapal nelayan asing dan menggunakan meriam air untuk menyerang negara lain sejak meningkatkan agresinya di Laut Tiongkok Selatan tahun lalu.

Peraturan baru Coast Guard yang mulai berlaku pada l 15 Juni memungkinkan Pasukan Penjaga Pantai rezim komunis untuk secara sewenang-wenang menangkap siapa saja yang dianggap berada di wilayah perairannya dan menembaki berbagai kapal asing. Pengumuman ini telah membuat negara-negara tetangga cemas.

Para menteri luar negeri ASEAN dalam sebuah pernyataan yang jarang terjadi pada  Desember 2023, menyerukan penyelesaian damai atas sengketa di Laut Tiongkok Selatan. Sementara itu, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia telah meningkatkan upaya untuk melaksanakan proye  minyak dan gas lepas pantai mereka sendiri di perairan tersebut, sembari memperkuat kerja sama keamanan maritim dengan Filipina.

Menanggapi agresi PKT, Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. telah memperluas pangkalan militer Amerika Serikat di Filipina dan menghadiri KTT A.S.-Jepang-Filipina yang pertama di Washington pada April. Pada bulan yang sama, ribuan tentara AS dan Filipina mengadakan latihan di Laut Tiongkok Selatan. Filipina juga berencana untuk menandatangani Perjanjian Akses Timbal Balik dengan Jepang pada akhir tahun ini, yang memungkinkan pasukan menggelar latihan di negara masing-masing.

Mengenai perkembangan terbaru di Laut Tiongkok Selatan, Ma Chun-wei, profesor di Institut Urusan Internasional dan Strategi di Universitas Tamkang di Taiwan, mengatakan kepada The Epoch Times bahwa PKT terutama menggunakan “Inisiatif Sabuk dan Jalan” untuk menyelesaikan perselisihan dengan beberapa negara Asia Tenggara seperti Malaysia dan Indonesia, yang relatif jauh dari Tiongkok.

“Tetapi lebih agresif terhadap Vietnam dan Filipina. Filipina dan Vietnam berharap bahwa ASEAN akan memiliki perjanjian Laut Tiongkok Selatan yang sama untuk melawan PKT, dan mereka mengandalkan intervensi negara-negara di luar kawasan itu, terutama Amerika Serikat,” kata Ma.

Garis 9 Putus-Putus , Garis 11 Putus-Putus, Vietnam

Klaim sembilan garis putus-putus Tiongkok didasarkan pada garis putus-putus asli 11 garis putus-putus di wilayah perairan Laut Tiongkok Selatan milik Republik Tiongkok (1911-sekarang). Setelah kekalahannya dalam Perang Dunia II pada tahun 1945, Jepang menyerahkan wilayah yang didudukinya selama perang, termasuk Kepulauan Spratly dan Paracel di Laut Cina Selatan, tempat Dinasti Qing Tiongkok dan Republik Tiongkok mendirikan garnisun dan memiliki kendali administratif.

11 garis putus-putus asli Republik Tiongkok, termasuk Teluk Tonkin, mulai Januari 1947. (Sekretariat Pemerintah Provinsi Guangdong, Republik Tiongkok/Domain publik)

Setelah kembalinya kedaulatan atas pulau-pulau tersebut, Yuan Eksekutif Republik Tiongkok pada tahun 1947 secara resmi merilis peta berjudul “Posisi Kepulauan Laut Tiongkok Selatan”, yang menunjukkan 11 garis putus-putus wilayah laut di sekitar gugusan pulau yang menjadi bagian dari Tiongkok.

Pada tahun 1948, pemerintah Republik Tiongkok menyatakan hak atas sumber daya maritim di pulau-pulau dan terumbu karang yang berada di dalam garis tersebut. Ketika rezim komunis mengambil alih daratan Tiongkok dan mendirikan Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1949, rezim tersebut mengakui garis tersebut.

Selama Perang Vietnam pada tahun 1957, dengan semangat “persahabatan dan persaudaraan,” pemimpin PKT saat itu, Mao Zedong dan Zhou Enlai, secara diam-diam menandatangani perjanjian dengan Vietnam Utara, negara komunis lainnya, dengan menghapus dua garis putus-putus untuk memberi Vietnam Teluk Tonkin dan Bach Long Vi – pulau yang paling penting secara strategis di Laut Tiongkok Selatan. Pada tahun 1975, Vietnam komunis mengambil alih Vietnam Selatan, di mana Prancis mengalihkan klaim kedaulatannya atas Kepulauan Spratly yang didudukinya selama penjajahan Indocina dan perairan serta pulau-pulau di sekitarnya setelah Perang Dunia II. Vietnam yang komunis mewarisi klaim kedaulatan atas Kepulauan Spratly yang disengketakan sejak saat itu.

Republik Rakyat TIongkok telah menggunakan sembilan garis putus-putus dari area berbentuk U di Laut Tiongkok Selatan untuk menandai wilayah maritimnya, termasuk semua pulau dan terumbu karang di dalamnya, sementara pemerintah Republik Tiongkok, yang mundur ke Taiwan, telah mempertahankan garis putus-putus 11.

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Republik Tiongkok di Taiwan telah menegaskan kembali kedaulatan teritorial di Laut Tiongkok Selatan sambil mengadopsi pendekatan yang lebih kooperatif dengan negara-negara lain untuk memastikan kebebasan navigasi dan mempromosikan kolaborasi.

Asia Tenggara Versus PKT

Mengenai sikap Vietnam, Ma mengatakan: “Vietnam sedikit lebih rumit. Vietnam selalu memiliki kebijakan luar negeri yang tidak memihak. Tetapi tanggapan Vietnam terhadap masalah-masalah sulit [perselisihan dengan Tiongkok], termasuk Teluk Tonkin, mirip dengan Filipina, yaitu mencari kerja sama dengan negara-negara besar di luar kawasan ini, termasuk Amerika Serikat dan Prancis.”

Chung Chih-tung, asisten peneliti di Institut Penelitian Pertahanan dan Keamanan Nasional Taiwan, mengatakan kepada The Epoch Times bahwa PKT telah mengangkat masalah kedaulatan Laut Tiongkok Selatan ke tingkat keamanan nasional.

“Hal ini tentu saja memiliki efek jera sampai batas tertentu. Namun di sisi lain, reaksi dari negara-negara lain juga akan menjadi lebih besar, sehingga menyulitkan [PKT] untuk keluar dari situasi tersebut.”

“Ini benar-benar menghasilkan efek negatif yang sangat besar. PKT secara terang-terangan menunjukkan hegemoni agresifnya dan cukup berhasil menyatukan negara-negara di seluruh wilayah Laut Tiongkok Selatan untuk bekerja sama dan melawan Tiongkok (PKT). Hal ini menegaskan bahwa Tiongkok (PKT) tidak bangkit secara damai dan merupakan sebuah ancaman.”

Song Tang dan Yi Ru berkontribusi dalam laporan ini.