Asia Tenggara Menjadi Pilihan Pertama Pergeseran Rantai Pasokan dari Tiongkok yang Semakin Cepat

oleh Wu Wei

Ketika ketegangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok terus meningkat, Asia Tenggara telah menjadi pilihan pertama bagi perusahaan-perusahaan asing dan Tiongkok yang ingin memindahkan jalur produksi dari Tiongkok ke wilayah lain.

Situs web keuangan CNBC melaporkan pada Minggu (23 Juni) bahwa Kuo-Yi Lim, salah seorang pendiri dan mitra pengelola “Monk’s Hill Ventures”, sebuah perusahaan modal ventura di Asia Tenggara, mengatakan bahwa ketika perusahaan asing dan Tiongkok melakukan diversifikasi rantai pasokan dan bisnis mereka, Asia Tenggara pasti bisa mendapatkan banyak manfaat dari strategi “China + 1”.

“Transfer ini dimulai selama masa lockdown dan kini dipercepat karena ketegangan geopolitik,” tambahnya.

Strategi “China + 1” bertujuan untuk mendiversifikasi operasi manufaktur dan memungkinkan perusahaan asing dan Tiongkok untuk mentransfer sebagian produksi mereka ke negara lain guna mengurangi risiko ketergantungan sepenuhnya pada pasar Tiongkok atau rantai pasokannya.

Strategi peralihan rantai pasokan ini telah mendorong lebih banyak investasi di negara-negara ASEAN. Ekonom OCBC mengatakan dalam sebuah laporan pada Mei, bahwa investasi langsung asing terutama dari Amerika Serikat, Jepang, Uni Eropa, serta Tiongkok dan Hongkong di negara-negara ASEAN termasuk Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura dan Vietnam telah meningkat menjadi USD.236 miliar pada tahun 2023, padahal nilai tahunan rata-rata dari tahun 2020 hingga 2022 adalah USD. 190 miliar.

Vietnam

Perusahaan “Apple” sedang berupaya mengalihkan perakitan produknya dari Tiongkok, dan Vietnam telah menjadi basis manufaktur utama perusahaan tersebut.

Selama masa lockdown ketat untuk mencegah penyebaran virus komunis Tiongkok (COVID-19), para pekerja di pabrik “Foxconn” di Zhengzhou melancarkan protes, yang secara serius mengganggu jalur produksi Apple. Menurut laporan, MacBook, iPad, dan Apple Watch kini sudah memiliki jalur produksi di Vietnam.

“Vietnam memiliki geografis tidak jauh berbeda dengan Tiongkok, dan dinilai dapat mengurangi biaya produksi secara signifikan, sehingga menjadi pilihan utama untuk rantai pasokan,” ujar Yinglan Tan, mitra pengelola pendiri “Insignia Ventures Partners” kepada CNBC.

Menurut laporan media lokal, Vietnam telah menjadi pusat penelitian dan pengembangan utama Samsung serta basis manufaktur dan ekspor ponsel Samsung.

“Vietnam memiliki keuntungan tambahan berupa biaya tenaga kerja yang kompetitif dan serangkaian perjanjian perdagangan bebas dengan banyak negara lain, sehingga mengekspor ke pasar lain seperti Uni Eropa jauh lebih mudah”, kata Kai Wei Ang, ekonom ASEAN di “BofA Securities” dalam sebuah wawancara di program “Squawk Box Asia” CNBC pada awal bulan ini.

Malaysia

Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan semikonduktor termasuk “Intel”, “Global Foundries”, dan “Infineon” telah mendirikan atau memperluas operasinya di Malaysia di tengah ketegangan antara Tiongkok dengan Amerika Serikat.

“Industri semikonduktor yang sudah lama berdiri di Malaysia telah mengalami kebangkitan, menarik investasi baru dari perusahaan seperti Intel”, kata Kuo-Yi Lim dari “Monk’s Hill Ventures”.

Pengamat industri mengatakan bahwa kekuatan Malaysia terletak pada tenaga kerjanya yang terampil dalam pengemasan, perakitan dan pengujian chip, serta biaya operasional yang relatif rendah.

Indonesia

Indonesia kaya akan tembaga, nikel, kobalt, dan bauksit, mineral yang penting untuk pembuatan baterai kendaraan listrik.

“Indonesia juga merupakan negara lain yang perlu diperhatikan. Mereka ingin menjadi pusat kendaraan listrik yang komprehensif”, kata Kai Wei Ang. “Ini mungkin masih dalam tahap awal, namun mereka berupaya memperluas kapasitas produksi untuk seluruh rantai pasokan.”

Pemerintah Indonesia juga terus memperkenalkan insentif untuk menarik perusahaan kendaraan listrik agar membangun basis manufaktur di Indonesia.

“Strategi ‘China + 1’ tidak hanya berlaku bagi perusahaan asing di Tiongkok. Perkembangan geopolitik dan perdagangan internasional juga mendorong produsen Tiongkok untuk mendiversifikasi produksi mereka secara geografis”. tulis Anders C. Johansson, Direktur Stockholm China Economic Research Institute (SCERI) di Linkedln minggu lalu.

Pada 17 April, CEO “Apple” Tim Cook dalam pertemuan dengan Presiden Indonesia Joko Widodo mengatakan bahwa perusahaan sedang mempertimbangkan untuk memindahkan lini produksinya ke Indonesia.

“Saya pikir peluang investasi di Indonesia tidak terbatas. Saya pikir ada banyak bidang yang layak untuk investasi, dan kami sedang berinvestasi di sini. Kami percaya pada negara ini”, kata Cook.

Associated Press melaporkan pada April tahun ini bahwa Chris Miller, seorang profesor di Universitas Tufts, mengatakan : “Mengingat perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan upaya terus-menerus dari pihak berwenang Tiongkok untuk mengusir perusahaan asing, Dengan meninggalkan Tiongkok dan menggantinya dengan perusahaan domestik mereka, perusahaan Apple berharap memiliki opsi lain di bidang manufaktur”.

“Apple telah meningkatkan investasi di India dan Vietnam, namun kemungkinan besar akan mencari mitra lain di Asia Tenggara untuk meningkatkan produksi dan operasi perakitan”, kata Chris Miller. (sin)