Brasil Bergabung dengan Kubu Barat dalam Perang Logam Tanah Jarang Melawan Tiongkok

oleh Luo Ya

Rantai pasokan logam tanah jarang global sedang mengalami penyesuaian ulang. Menyusul penemuan deposit tanah jarang terbesar di Eropa baru-baru ini, dan raksasa pertambangan logam tanah jarang Brasil yang memilih bergabung dengan kubu Barat untuk mematahkan monopoli produksi tanah jarang Tiongkok.

Perkiraan media menunjukkan bahwa Tiongkok menyumbang 70% tambang tanah jarang global serta 90% pemrosesannya.

Negara-negara Barat berencana untuk membangun kembali rantai pasokan independen pada 2027 setelah pasokan tanah jarang terganggu akibat epidemi virus komunis Tiongkok (COVID-19).

Menurut laporan Reuters baru-baru ini, Brasil, yang memiliki cadangan deposit logam tanah jarang terbesar ketiga di dunia, tahun ini telah mulai melakukan produksi komersial dari tambang logam tanah jarang pertamanya Serre Verde. Kepala eksekutif perusahaan tersebut memperkirakan, bahwa produksi logam tanah jarang bisa mencapai 5.000 ton pada tahun ini, dan dapat menggandakan produksinya pada tahun 2030. Ia mengatakan, perusahaan dan Brasil memiliki keunggulan kompetitif yang signifikan dan dapat secara jangka panjang mendukung pengembangan industri logam tanah jarang global.

Faktanya, keunggulan Brasil mencakup biaya tenaga kerja yang rendah, energi ramah lingkungan, peraturan yang mapan, dan kedekatannya dengan pasar akhir, termasuk pabrik magnet pertama di Amerika Latin.

Sun Kuoh-Siang, profesor tetap di Departemen Badan Usaha Milik Negara, Universitas Nanhua di Taiwan mengatakan : “Ketika Brasil mampu bersaing dengan Tiongkok dalam kondisi tertentu, maka Brasil akan menjadi negara pertama yang dapat menggantikan pasokan tanah jarang Tiongkok sebagai sumber utama alat geostrategis. Yang kedua tentu saja untuk memasok kebutuhan produksi di Amerika Serikat, Kanada dan Meksiko, sehingga memiliki efek memperpendek jalur pasokan. Jadi kita dapat melihat bahwa logam tanah jarang Brasil ini berdampak pada keseluruhan geografi saat ini. Dalam hal persaingan, Brasil dapat memainkan peran sebagai pengganti Tiongkok”.

Su Tzu-Yun, Direktur Institut Strategi dan Sumber Daya Pertahanan di Akademi Pertahanan Nasional Taiwan, menunjukkan bahwa sejak tahun 2010, ketika konflik Kepulauan Diaoyu pecah antara Tiongkok dengan Jepang, dan PKT mulai membatasi ekspor tanah jarang. Bidang tanah jarang global mulai terbagi menjadi 2 kubu utama.

“Salah satunya adalah Tiongkok terus berharap untuk menjadikan tanah jarang sebagai alat strategis, sementara negara-negara lain dengan cepat mencari cadangan baru sebagai alternatif pengganti. Vietnam, telah menemukan cadangan tanah jarang pada beberapa tahun silam, kemudian penambangan tanah jarang di Australia telah dikembangkan bersama Amerika Serikat. Akhir-akhir ini cadangan tanah jarang juga ditemukan di Norwegia (Eropa), Dalam hal jumlah cadangan tanah jarang yang dimiliki Tiongkok, Beijing jadi berada di posisi yang kurang penting”.

Dilaporkan bahwa perusahaan Brazilian Rare Earths, pemilik deposit tanah jarang besar sudah berada dalam tahap awal penambangan. Tahun ini, Brasil juga akan mulai mengoperasikan pabrik magnet pembuktian konsep (proof of concept).

Pada bulan Februari tahun ini, pemerintah Brasil meluncurkan dana sebesar hampir USD.200 juta untuk menyediakan pembiayaan bagi proyek mineral strategis termasuk logam tanah jarang.

Para analis, eksekutif pertambangan dan investor mengatakan, bahwa produksi tambang logam tanah jarang di Brasil akan meningkat di tengah insentif pemerintah Barat yang mendorong percepatan industri di dunia dalam pemurnian dan pemrosesan logam tanah jarang.

Su Tzu-Yun mengatakan bahwa tanah jarang adalah “vitamin” dari industri presisi modern. Begitu sumber tanah jarang diputus, masalah ekonomi terkait akan berpengaruh terhadap politik negara.

“Sebuah jet tempur F-35 membutuhkan 122 kilogram tanah jarang. Tanah jarang digunakan dalam radar, komputer, mesin, dan bahan badan pesawat. Jika terjadi ketegangan politik dengan Beijing, Beijing akan dengan sengaja melarang ekspor (tanah jarang). Hal itu tentu berdampak terhadap produksi industri, yang jelas dapat mempengaruhi perekonomian, kemudian mempengaruhi politik. Oleh karena itu, negara-negara berusaha untuk menghindari rantai pasokan merah, jadi sekarang, mereka secara bertahap sedang menuju pencapaian sasaran strategis tersebut”, kata Sun Tzu-Yun.

Sun Kuoh-Siang menunjukkan bahwa sebagian besar persaingan strategis antara Amerika Serikat dengan Tiongkok saat ini terfokus pada tingkat teknis, dan tanah jarang merupakan bahan mentah yang paling penting.

Sun Kuoh-Siang mengatakan : “Tentu saja, tanah jarang ini memerlukan pengolahan oleh beberapa negara Barat, tanah jarang yang ditambang itu tidak akan memiliki nilai tambah juga tidak efektif kalau tidak dilakukan pengolahan. Dengan asumsi bahwa Amerika Serikat tidak ikut terseret (dalam masalah persaingan dengan Tiongkok), mitranya dan sekutunya seperti Jepang atau Korea Selatan di Asia Timur Laut bisa jadi tidak ikut terseret. Strategi Indo-Pasifik yang dilakukan Amerika Serikat dapat menjadi landasan paling mendasar bagi persaingan teknologi. Jika hal ini terus berlanjut, ia juga dapat mencapai keuntungan utamanya”.

Kabar baik datang di awal Juni dimana Norwegia mengumumkan penemuan deposit unsur tanah jarang bernilai tinggi dan terbukti terbesar di Eropa, yang dapat digunakan untuk memproduksi kendaraan listrik dan teknologi energi ramah lingkungan lainnya.

Menurut inventarisasi Reuters, beberapa perusahaan di Australia, Belgia, Jerman, Inggris, Norwegia, Korea Selatan, Jepang, Vietnam, Kanada, Amerika Serikat, dan Brasil memiliki atau sedang membangun fasilitas produksi senyawa tanah jarang, logam, dan magnet.

Dengan kata lain, rantai pasokan tanah jarang di Barat sudah sepenuhnya aktif dalam persaingan. (sin)