Masalah Ketahanan Pangan Kembali Terjadi di Tiongkok

James Gorie

Seperti yang saya bahas di postingan sebelumnya, “The Hollowing of China,” faktor-faktor  makroekonomi yang penting di Tiongkok  berubah menjadi negatif dengan suatu cara yang sangat berubah-ubah.

Beberapa di antaranya adalah hal-hal seperti Produk Domestik Bruto yang melambat, dan hal-hal lain yang menyertainya turunnya produktivitas per kapita, populasi menua yang semakin membebani perekonomian, dan generasi muda dengan angka pengangguran yang mungkin yang akan mendekati 50 persen.

Selain itu, banyak negara di dunia yang ingin memindahkan produksinya di luar Tiongkok menuju iklim-iklim bisnis yang lebih bersahabat, seperti di India dan Vietnam.

Sementara itu, para jutawan Tiongkok meninggalkan Tiongkok menuju Amerika Serikat dalam jumlah yang lebih besar daripada sebelumnya. Hal ini adalah perubahan besar dalam lanskap perekonomian yang tidak akan hilang dengan segera.

Krisis Ketahanan Pangan Kembali Terjadi

Namun, ada satu faktor makroekonomi penting lainnya yang dihadapi Tiongkok, yaitu: sedang membangkitkan hal-hal buruk yang terjadi di masa lalu. Dengan meningkatnya ketegangan-ketegangan antara Tiongkok dengan negara pemasok biji-bijian utama di Barat, perang di Ukraina, dan meningkatnya gangguan rantai pasokan, Tiongkok sedang menghadapi potensi krisis ketahanan pangan yang lebih parah dibandingkan dengan krisis tersebut di masa lalu. Pada tahun 2022, untuk pertama kalinya sejak tahun 1989, Tiongkok menyaksikan protes-protes masyarakat melawan kelangkaan pangan.

Kekurangan pangan, kelaparan, dan bencana kelaparan telah menjadi mimpi buruk yang berulang kali terjadi di bawah kekuasaan Partai Komunis Tiongkok dan telah menjadi sumber utama ketidakstabilan politik dan sipil di masa lalu. Pemimpin Partai Komunis Tiongkok Xi Jinping sangat tajam menyadari bahaya politik yang dapat ditimbulkan dan diakibatkan oleh kekurangan  ketahanan pangan dan membuat kekurangan ketahanan pangan menjadi prioritas utama rezimnya. Antara 2000 hingga 2020, rasio swasembada pangan di Tiongkok menurun dari 93,6 persen menjadi 65,8 persen.

Ada beberapa alasan yang menyebabkan kerawanan pangan di Tiongkok. Sebagian besar pada dasarnya secara struktural—–atau dipengaruhi oleh kebijakan. Misalnya, bencana kelaparan telah memainkan peran yang bermakna dan berulang di dalam kekayaan Tiongkok sepanjang sejarah dan bahkan di era modern. 

Salah satu faktor struktural utama untuk hal tersebut adalah geografi yang sederhana. Tiongkok harus menyediakan pangan untuk sekitar 20 persen populasi dunia dengan di mana Tiongkok hanya memiliki sekitar 10 persen lahan subur dunia dan hanya memiliki 6 persen sumber daya air dunia–—hal-hal tersebut merupakan faktor-faktor yang abadi dan berat.

Kebodohan Ideologis dan Bencana Alam Memainkan Peran-Perannya

Namun, ada juga faktor-faktor kebijakan, yang dapat dianggap struktural, tergantung bagaimana anda ingin melihatnya, tetapi tentu saja bersejarah di dalam dampak-dampak jangka panjangnya. 

Selama periode Lompatan Jauh ke Depan dari tahun 1958 hingga 1962, Partai Komunis Tiongkok menerapkan praktik pertanian yang tidak efisien pada para petani yang sukses, yang mencakup kolektivisasi secara paksa, menyingkirkan atau bahkan melenyapkan petani “borjuis” yang tahu bagaimana memanfaatkan lahan secara maksimal, dan kesalahan alokasi lahan dan sumber daya secara keseluruhan. Kekurangan pangan adalah akibat kebijakan bodoh Partai Komunis Tiongkok.

Produksi pangan semakin terkena akibat dampak banjir dan kekeringan pada tahun 1960 hingga 1961, yang menyebabkan Kelaparan Besar, yang menyebabkan puluhan juta kematian akibat kelaparan. Ini adalah kelaparan terburuk di zaman modern.

Kembalinya Kepemilikan Tanah Pribadi dan Perubahan Selera

Pada akhir tahun 1970-an, pemimpin Partai Komunis Tiongkok Deng Xiaoping mulai melonggarkan mandat-mandat pertanian kolektif. Ia memulihkan kepemilikan tanah pribadi dan bahkan mengizinkan petani-petani menjual kelebihan hasil panen. Membiarkan motif keuntungan kembali ke pertanian yang menyebabkan efisiensi yang lebih besar, produksi pangan yang lebih banyak, dan perluasan-perluasan pertanian.

Namun, upaya tersebut belum mampu mengatasi faktor negatif di dalam tantangan-tantangan produksi pangan Tiongkok.

Saat ini, Tiongkok bergantung pada sumber eksternal untuk memberi makan penduduknya. Salah satu alasannya adalah bahwa kelas menengah lebih menyukai pola makan yang lebih banyak daging, gula, dan olahan biji-bijian daripada pola makan tradisional yang mengutamakan sayuran. Padahal, sejak tahun 1990, konsumsi daging meningkat tiga kali lipat di Tiongkok. Alasan lainnya adalah basis pertanian Tiongkok menjadi kurang produktif.

Kehilangan Lahan Garapan, Petani-Petani, dan Kepercayaan Terhadap Pangan Dalam Negeri

Tiongkok sedang kehilangan banyak lahan subur akibat polusi dan terlalu sering digunakan. Pada tahun 2021, sebuah penelitian menunjukkan bahwa pada akhir tahun 2019, total luas lahan subur di Tiongkok sekitar 490.000 mil persegi, turun hampir 6 persen total luas lahan subur pada dekade sebelumnya, menurut data resmi.

Selain itu, keamanan pangan merupakan kekhawatiran utama di kalangan masyarakat Tiongkok. Banyak yang tidak percaya pada makanan yang diproduksi di dalam negeri karena banyaknya skandal makanan beracun yang tersedia di masyarakat. Konsumen Tiongkok sebagian besar lebih menyukai makanan luar negeri karena mereka percaya produk luar negeri adalah lebih aman.

Terlebih lagi, generasi muda Tiongkok, khususnya lulusan baru, juga memilih kehidupan perkotaan yang lebih menguntungkan dan menarik serta pekerjaan dengan gaji yang lebih baik jika bisa mereka dapatkan, sementara Beijing berusaha mendorong mereka untuk bekerja di pedesaan.

Sementara itu, para petani yang lebih tua sudah pensiun. Artinya, terjadi kekurangan tenaga kerja di bidang pertanian, angkutan truk, dan industri terkait lainnya dari dua populasi itu. Hal itu adalah perubahan yang tidak akan mudah berbalik dengan sendirinya dan akan secara langsung berdampak pada produktivitas dan distribusi pertanian.

Importir Pangan Terbesar di Dunia

Karena alasan ini dan alasan lainnya, Tiongkok kini sangat bergantung pada sumber-sumber pangan asing. Tiongkok adalah importir jagung terbesar di dunia, yang mengimpor lebih dari 28 juta metrik ton jagung pada  2021, meningkat 152 persen dibandingkan tahun 2020, menurut data resmi. Tiongkok juga mengimpor produk-produk pertanian senilai U$D 42 miliar dari Amerika Serikat saja pada 2022. 

Namun selain menjadi importir produk pertanian terbesar di dunia, Tiongkok juga membeli lahan pertanian di luar negeri, termasuk di Amerika Serikat dan negara-negara di Amerika Selatan, Asia, dan Afrika.

Partai Komunis Tiongkok sangat menyadari sifat alam dunia yang berubah-ubah serta bagaimana peristiwa dan ketegangan internasional dapat berdampak langsung terhadap ketahanan pangan Tiongkok. Awalnya, perang Rusia-Ukraina menyebabkan perubahan naik turun harga dan pasokan pangan secara cepat dalam periode waktu pendek di Tiongkok dan menyebabkan ketahanan pangan menjadi fokus yang lebih tajam bagi para perencana Partai Komunis Tiongkok.

Laporan Gandum Palsu dan Pejabat yang Korup

Untuk menambah permasalahannya, para pejabat provinsi, dan bahkan pejabat yang berada di tingkat yang lebih tinggi, diketahui sangat korup. Para petani melaporkan produksi biji-bijian secara berlebihan untuk menghindari hukuman. Angka-angka palsu itu kemudian menjadi dokumen perencanaan yang resmi, yang meremehkan perencanaan kebijakan dan efektivitas pelaksanaan. Hal ini menjadi masalah endemik di Partai Komunis Tiongkok yang berbasis korupsi. Dalam beberapa tahun terakhir, upaya pemberantasan korupsi telah mengakibatkan penangkapan ratusan pejabat di dalam sistem cadangan biji-bijian Tiongkok baik di tingkat lokal maupun pusat.

Untuk mengatasi kerentanan dalam ketahanan pangan Tiongkok, Badan Pangan Nasional dan Administrasi Cadangan Strategis telah dengan tekun mengembangkan cadangan biji-bijian Tiongkok, yang kini diduga berada pada tingkat rekor. Ini merupakan indikasi betapa seriusnya keamanan pangan bagi Tiongkok dan Partai Komunis Tiongkok. Para pejabat Tiongkok sepenuhnya memahami bahwa posisi kekuasaan dan hak istimewa mereka pada akhirnya bergantung pada makanan yang tersimpan di dalam perut 1,4 miliar orang yang mereka kuasai. (vv)

James R. Gorrie adalah penulis “The China Crisis” (Wiley, 2013) dan menulis di blognya, TheBananaRepublican.com. Ia tinggal di California Selatan.