Hasil Studi  Menjelaskan Mengapa Beberapa Orang Tidak Tertular COVID-19

Bahkan ketika terpapar virus SARS-CoV-2 secara intranasal, orang-orang dengan respons kekebalan tubuh yang lebih cepat atau tidak ketara menjadi tidak terinfeksi

Marina Zhang

Para peneliti telah menemukan mengapa beberapa orang tetap tidak terinfeksi virus COVID-19—–bahkan setelah rongga hidungnya terpapar virus tersebut.

Menurut penelitian terbaru, orang-orang ini mengalami respons kekebalan tubuh yang lebih cepat dan tidak ketara dibandingkan orang-orang yang menderita gejala COVID-19.

“Temuan ini memberikan pencerahan baru mengenai peristiwa awal yang penting yang memungkinkan virus tersebut untuk bertahan atau menghilang dengan cepat sebelum gejala-gejala muncul,” kata Dr. Marko Nikolić, penulis senior studi tersebut dan konsultan kehormatan di bidang kedokteran pernapasan di University College London, dalam siaran pers.

Studi yang dipublikasikan di Nature pada  Rabu ini, merupakan studi tantangan manusia yang dilakukan oleh para peneliti dari Inggris dan Belanda. Ini adalah studi first-of-its-kind di mana para peserta secara disengaja terpapar SARS-CoV-2, yaitu virus penyebab COVID-19.

Para peneliti merekrut 16 peserta muda dan sehat yang berusia di bawah 30 tahun untuk studi ini.

Tidak ada yang menderita penyakit penyerta, dan tidak ada yang pernah terinfeksi COVID-19 atau divaksinasi COVID-19 sebelumnya.

Sebelum studi ini menerima tinjauan sejawat, pracetak studi ini telah disediakan daring pada April 2023.

3 Respons Kekebalan Tubuh yang Berbeda

Ke-16 orang tersebut merespons paparan virus tersebut secara berbeda dan dikelompokkan secara sesuai.

Kelompok pertama berisi enam orang yang bergejala. Para penulis studi mengkategorikan mereka sebagai orang yang menderita infeksi berkelanjutan.

Orang-orang di kelompok kedua tidak menunjukkan gejala tetapi masih dinyatakan positif COVID-19 dengan uji PCR. Para peserta ini dikategorikan menderita infeksi-infeksi sementara.

Orang-orang di kelompok ketiga tidak menunjukkan gejala dan terus-menerus menerima hasil uji PCR COVID-19 negatif. Para penulis memastikan para peserta ini terinfeksi tetapi sembuh dari infeksi-infeksi yang dideritanya dengan sangat cepat sehingga infeksi-infeksi itu disebut “gagal.”

Kelompok kedua dan ketiga, yang tidak menunjukkan gejala COVID-19, sembuh lebih cepat atau kekebalan tubuh yang lebih tidak ketara, menurut para penulis.

Pada Hari ke-1, para penulis mendeteksi sel-sel kekebalan yang bermigrasi ke hidung–—tempat infeksi–—pada kelompok-kelompok tanpa gejala.

Namun, orang-orang dengan hasil uji COVID-19 negatif memiliki jenis-jenis sel kekebalan yang lebih sedikit, sedangkan orang-orang dengan hasil uji COVID-19 positif merekrut semua jenis sel kekebalan.

Orang-orang yang memiliki gejala dan mengalami infeksi-infeksi COVID-19 yang berkelanjutan mengalami respons kekebalan tubuh yang lebih lambat dan lebih sistematis. Para peserta ini memiliki semua jenis sel kekebalan yang masuk ke hidung pada Hari ke-5, bukannya Hari ke-1.

Faktor-Faktor genetik

Orang-orang dengan ekspresi gen-gen spesifik yang tinggi, seperti HLA-DQA2, “adalah lebih baik dalam mencegah timbulnya infeksi virus yang berkelanjutan,” tulis para penulis.

Studi-studi lain menunjukkan adanya peningkatan aktivitas HLA-DQA2 dalam darah yang dikaitkan dengan perkembangan COVID-19 yang lebih ringan.

HLA-DQA2 adalah salah satu dari banyak gen antigen leukosit manusia (HLA). Gen-gen HLA membuat protein-protein ditampilkan pada permukaan sel. Ketika patogen-patogen menginfeksi sel-sel, protein-protein HLA memberi sinyal kepada sel-sel kekebalan bahwa sel-sel itu telah terinfeksi.

Para penulis mengatakan data mereka memastikan bahwa aktivitas HLA-DQA2 melindungi produksi lebih lanjut virus SARS-CoV-2 dalam sel-sel yang terinfeksi.

Orang-Orang yang Bergejala Memiliki Respons yang Sistematis

Hanya orang-orang dengan gejala COVID-19 yang menunjukkan respons interferon sistematis. Interferon adalah pembawa pesan sistem kekebalan yang membantu mengurangi atau memperburuk aktivitas kekebalan dan peradangan.

Para penulis terkejut menemukan adanya interferon-interferon dalam darah yang diaktifkan sebelum interferon-interferon berada di lokasi infeksi. Aktivitas interferon dalam darah mencapai puncaknya pada Hari ke-3 infeksi; namun, aktivitas interferon pada lokasi infeksi–—hidung—–tidak terdeteksi hingga Hari ke-5.

Dalam siaran persnya, para penulis mengatakan bahwa memperlambat respons kekebalan tubuh di hidung dapat membiarkan infeksi terjadi dengan cepat.

Orang-orang tanpa gejala tidak mengalami reaksi-reaksi interferon sistemik dan jarang memiliki sel-sel yang terinfeksi.

Tidak mengherankan, “sel-sel yang terinfeksi hampir secara eksklusif ditemukan” di rongga hidung pada orang-orang yang memiliki gejala, tulis para penulis. Lapisan sel-sel pada rongga hidung peserta-peserta studi mulai memproduksi virus SARS-CoV-2, yang berkontribusi terhadap peningkatan beban virus.

“Kami sekarang memiliki pemahaman yang jauh lebih besar mengenai keseluruhan respons kekebalan tubuh, yang dapat memberikan sebuah dasar untuk mengembangkan pengobatan-pengobatan yang potensial dan vaksin-vaksin yang meniru respons perlindungan alami ini,” kata Dr. Marko Nikolić. (vv)