Mahkamah Agung AS Putuskan Trump Kebal Hukum  Dalam Kasus Pemilu Federal

Para presiden menikmati kekebalan hukum dari tuntutan atas tindakan-tindakan resmi, mayoritas memerintah

 Sam Dorman

Mahkamah Agung memutuskan 6–3 bahwa presiden menikmati kekebalan hukum dari tuntutan pidana atas tindakan yang resmi, namun bukannya tindakan yang tidak resmi–—dalam sebuah keputusan yang diharapkan untuk menunda persidangan mantan Presiden Donald Trump dalam kasus pemilihan umum federal di Washington.

Mahkamah Agung menyatakan bahwa: “Berdasarkan struktur konstitusi kekuasaan kita yang terpisah, sifat kekuasaan presiden memberikan hak kepada seorang mantan presiden mendapat kekebalan hukum yang mutlak dari tuntutan pidana atas tindakan-tindakan beserta kewenangan konstitusional yang konklusif dan preklusif dari seorang mantan presiden. Dan ia berhak atas kekebalan dugaan paling tidak dari penuntutan atas semua tindakan-tindakannya yang resmi. Tidak ada kekebalan terhadap tindakan yang tidak resmi.”

Keputusan  1 Juli menyerahkan kasus ini ke pengadilan distrik untuk dipertimbangkan lebih lanjut.

Ketua Hakim John Roberts menulis opini mayoritas, yang juga diikuti oleh Hakim Clarence Thomas, Samuel Alito, Neil Gorsuch, dan Brett Kavanaugh. Hakim Amy Coney Barrett ikut serta dalam pendapat tersebut yang mengeluarkan persetujuannya sendiri.

Hakim Sonia Sotomayor menulis perbedaan pendapat, yang diikuti oleh Hakim Ketanji Brown Jackson dan Hakim Elena Kagan. Hakim Jackson juga mengeluarkan perbedaan pendapat.

Mantan Presiden Trump menanggapi keputusan di TruthSocial: “KEMENANGan BESAR UNTUK KONSTITUSI DAN DEMOKRASI KITA. BANGGA MENJADI ORANG AMERIKA!”

Keputusan tersebut merupakan kemenangan parsial bagi mantan Presiden Donald Trump, yang meminta suatu bentuk kekebalan hukum yang lebih luas daripada yang diberikan oleh para hakim. Mantan Presiden Trump meminta pengadilan untuk memutuskan bahwa ia menikmati kekebalan hukum terhadap tuntutan pidana atas tindakannya yang resmi kecuali Kongres telah melakukan pemakzulan dan menghukumnya atas tindakan tersebut.

Hakim Distrik D.C. Tanya Chutkan menolak gagasan bahwa para presiden menikmati kekebalan hukum terhadap tuntutan pidana seperti yang dilakukan Pengadilan Banding Amerika Serikat untuk Wilayah Distrik Columbia.

Selama argumen lisan pada  April, para hakim konservatif tampaknya siap untuk mengembalikan kasus tersebut ke pengadilan distrik di Washington dengan instruksi mengenai apa yang dimaksud dengan tindakan resmi dan pribadi untuk proses pencarian fakta lebih lanjut.

“Kami sedang menulis satu peraturan untuk selamanya,” kata Hakim Neil Gorsuch saat argumen secara lisan. Ia dan Hakim Ketanji Brown Jackson sama-sama menegaskan mereka prihatin dengan kasus-kasus di luar kasus mantan Presiden Trump, yang telah memaksa pengadilan untuk menangani apa yang termasuk dalam perilaku resmi presiden.

Pengacara D. John Sauer mendukung mantan Presiden Donald Trump, dan mantan Wakil Jaksa Agung Michael Dreeben berdebat dengan Penasihat Khusus Jack Smith.

Terakhir kali Mahkamah Agung mengeluarkan keputusan besar mengenai kekebalan hukum seorang presiden yang terjadi pada tahun 1982, yaitu Nixon v. Fitzgerald. Pengadilan memutuskan bahwa para presiden menikmati kekebalan hukum yang mutlak dari tanggung jawab perdata atas tindakan yang berada di batas luar tugas resmi mereka.

Apa Berikutnya

Mahkamah Agung mengembalikan kasus tersebut, mengirimkan kasus tersebut kembali ke pengadilan distrik D.C dengan arahan “untuk menilai pada tingkat pertama apakah suatu tuntutan yang melibatkan dugaan upaya Donald Trump untuk mempengaruhi pengawasan proses sertifikasi oleh Wakil Presiden akan menimbulkan bahaya intrusi pada kewenangan dan fungsi-fungsi Cabang Eksekutif.”

Aspek lain dari keputusan tersebut mengarahkan pengadilan distrik untuk mempertimbangkan apakah  berbagai aspek dakwaan Jack Smith bersifat tindakan yang resmi atau yang tidak resmi. Hal ini termasuk tuduhan di mana mantan Presiden Donald Trump berupaya mempengaruhi para pejabat negara, menggunakan daftar pemilih yang curang, dan komunikasi-komunikasi mantan Presiden Donald Trump pada  6 Januari 2021.

Silabus pengadilan, atau ikhtisar putusan tersebut, menyatakan: “Presiden memiliki ‘kekuatan luar biasa untuk berbicara dengan sesama warganegaranya dan atas nama sesama warganegaranya,’” mengutip pendapat lain dalam Donald Trump v. Hawaii.

“Jadi sebagian besar komunikasi publik seorang presiden cenderung tidak berjalan dengan baik di batas luar tanggung jawabnya yang resmi,” tambah pendapat itu.

Tidak jelas berapa banyak dakwaan oleh Jack Smith yang akan tetap ada setelah proses pengadilan tingkat rendah selesai.

“Dalam penahanan, Pengadilan Negeri harus secara cermat menganalisis dakwaan-dakwaan yang menyisakan tuduhan untuk menentukan apakah tuduhan tersebut juga melibatkan perilaku yang mana seorang presiden harus kebal hukum dari tuntutan,” kata Mahkamah Agung.

“Dan para pihak serta Pengadilan Negeri harus memastikan bahwa tuduhan itu cukup mendukung dakwaan tanpa melakukan hal tersebut. Kesaksian atau catatan-catatan pribadi Presiden atau para penasihatnya yang menyelidiki tindakan tersebut mungkin tidak diakui sebagai bukti di persidangan.”

Keputusan tersebut diambil hanya dalam beberapa hari setelah keputusan Mahkamah Agung dalam kasus Fischer v.Amerika Serikat, yang mengosongkan interpretasi undang-undang Wilayah Distrik Columbia—statute—18 U.S. Code Section 1512(c)—Departemen Kehakiman biasanya memburu para terdakwa dan Presiden Donald Trump mengenai kasus pada  6 Januari. Dalam catatan kaki, Hakim Roberts mengatakan bahwa “bila perlu, Pengadilan Negeri harus menentukan pada tingkat pertama apakah tuntutan Pasal 1512(c)(2) dapat dilanjutkan berdasarkan keputusan kami di Fischer.

Opinion 

Para hakim memberikan banyak persetujuan dan perbedaan pendapat. Hakim Clarence Thomas menulis secara terpisah untuk mempertanyakan legalitas penasihat khusus.

Ia mengatakan Jaksa Agung “bermaksud menunjuk seorang warganegara sebagai Penasihat Khusus… Tetapi, saya tidak yakin ada kantor untuk Penasihat Khusus telah ‘ditetapkan oleh Undang-undang’, sebagaimana disyaratkan oleh Konstitusi.”

Hakim Barrett mengikuti sebagian besar pendapat mayoritas kecuali sebagian di mana ia mengkritik gagasan bahwa seorang juri dapat mempertimbangkan bukti mengenai tindakan-tindakan presiden yang resmi.

“Usulan itu mengancam akan menghilangkan kekebalan hukum yang telah kita akui,” tulis mayoritas hakim. “Hal ini akan memungkinkan seorang jaksa untuk melakukan secara tidak langsung apa yang tidak bisa ia  lakukan secara langsung–—undang juri untuk memeriksa tindakan yang membuat seorang presiden kebal hukum dari tuntutan hingga membuktikan tanggung jawab sang presiden atas tuduhan apa pun.”

Hakim Barrett, sementara itu, berpendapat bahwa “Konstitusi tidak mewajibkan untuk membutakan juri terhadap keadaan seputar tindakan yang dilakukan Presiden dapat dimintai pertanggungjawaban.”

Perbedaan pendapat Hakim Sotomayor berpendapat bahwa mayoritas “mengolok-olok prinsip, yang mendasari Konstitusi dan sistem Pemerintahan kita, di mana tidak ada seorang pun yang kebal hukum.”

Ia selanjutnya menggambarkan dakwaan Jack Smith sebagai lukisan “sebuah potret yang gamblang mengenai seorang Presiden yang sangat ingin tetap berkuasa.”

Hakim Roberts menolak pendapat mayoritas dengan menyatakan bahwa perbedaan pendapat “menimbulkan nada malapetaka yang sangat tidak proporsional terhadap apa yang sebenarnya dilakukan Pengadilan saat ini.” (Vv)

Lihat Artikel Supreme Court Rules Trump Has Some Immunity in Federal Election Case