Microsoft Tutup Jaringan Toko Fisik di Tiongkok

Aaron Pan – The Epoch Times

Bulan lalu, Microsoft mengatakan pihaknya meminta 700-800 karyawan untuk pindah dari Tiongkok dan mengurangi kehadiran teknik Microsoft di Tiongkok.

Microsoft menutup toko-toko fisik resmi di Tiongkok sebagai bagian perubahan strategisnya untuk merestrukturisasi saluran-saluran ritelnya di negara perekonomian terbesar kedua di dunia itu.

“Microsoft secara terus-menerus menilai strategi ritelnya untuk memenuhi kebutuhan yang terus berkembang yang dibutuhkan pelanggan kami yang berharga, dan kami telah membuat keputusan tersebut untuk memfokuskan pendekatan saluran kami di Tiongkok Daratan,” kata Microsoft dalam sebuah pernyataan.

Meskipun ada perubahan, produk Microsoft akan tetap tersedia di Tiongkok Daratan melalui mitra-mitra ritel tertentu dan situs web Microsoft. Microsoft tidak merinci jumlah toko resmi yang terkena dampak konsolidasi tersebut.

Menutup toko-toko fisik di Tiongkok adalah bagian strategi global Microsoft yang lebih luas ke arah itu. Pada  Juni 2020, berbulan-bulan setelah karantina akibat pandemi, misalnya, Microsoft mengumumkan perubahan strategisnya dalam operasi-operasi ritelnya, termasuk menutup beberapa lokasi fisik Microsoft Store.

Microsoft terus-menerus berinvestasi di toko-toko online miliknya untuk Windows dan Xbox. Microsoft mengelola Microsoft Experience Centers di London, New York City, Sydney, dan di kampus kantor-kantor pusatnya di Redmond, Washington. Penutupan toko fisik merugikan Microsoft sekitar U$D 450 juta pada saat itu. Biaya ini terutama mencakup hilangnya aset-aset dan biaya-biaya terkait lainnya.

Bulan lalu, saat sidang di hadapan Komite Keamanan Dalam Negeri DPR AS, Presiden Microsoft Brad Smith mengatakan Tiongkok  bukanlah sumber utama pendapatan Microsoft karena pasar tersebut mewakili sekitar 1,5 persen pendapatan global Microsoft.

Brad Smith juga mengatakan Microsoft telah meminta sekitar 700–800 karyawannya untuk pindah dari Tiongkok dan mengurangi kehadiran teknik Microsoft di Tiongkok.

Tanggapan Brad Smith membenarkan sebuah laporan Wall Street Journal pada  Mei, yang menyatakan bahwa raksasa teknologi itu menawarkan peluang kepada ratusan karyawan di bidang operasi komputasi awan dan kecerdasan buatan miliknya di Tiongkok untuk pindah dari Tiongkok di tengah ketegangan Amerika Serikat-Tiongkok. Para karyawan ini, sebagian besar insinyur berkebangsaan Tiongkok, ditawari opsi-opsi untuk pindah ke Amerika Serikat, Irlandia, Australia, dan Selandia Baru.

Pembuat Windows ini merupakan salah satu perusahaan Amerika Serikat yang memiliki kehadiran terbesar di Tiongkok. Microsoft memasuki pasar Tiongkok pada tahun 1992 dan menjalankan sebuah penelitian besar dan pusat pembangunan di Tiongkok.

Serangan Siber Tiongkok

Pada kesaksian bulan lalu di Kongres, anggota parlemen menginterogasi Brad Smith mengenai hubungan Microsoft dengan rezim Tiongkok dan “kekurangan” keamanan Microsoft sehingga memberi kesempatan kepada peretas Tiongkok untuk membobol sistem Microsoft tahun lalu.

Anggota parlemen mengutip temuan laporan Maret oleh Cyber Safety Review Board (CSRB) Amerika Serikat, menyalahkan kebudayaan perusahaan Microsoft atas peretasan tersebut. Laporan tersebut menyatakan bahwa “rangkaian” “kesalahan yang dapat dihindari” telah memungkinkan pelanggaran tersebut terjadi.

Microsoft mengatakan kelompok peretas yang berbasis di Tiongkok Storm-0558 berada di balik serangan tersebut, yang digambarkan oleh Microsoft sebagai “aktor ancaman yang berbasis di Tiongkok dengan kegiatan dan metode yang konsisten dengan tujuan spionase.”

Serangan siber Tiongkok meretas puluhan ribu email, termasuk email milik para pejabat tinggi Amerika Serikat.

Laporan tersebut menemukan bahwa kelompok peretas Tiongkok mencuri sekitar 60.000 email dari Departemen Luar Negeri. Para peretas juga mengakses sebuah daftar yang berisi seluruh email Departemen Luar Negeri dan rencana perjalanan pejabat sebelum kunjungan Menteri Luar Negeri Antony Blinken ke Beijing pada  Juni 2023. 

Laporan tersebut menyoroti bagaimana Microsoft awalnya meyakini peretasan tersebut terjadi dengan menggunakan kunci enkripsi curian, baik diambil dari perangkat curian atau akun yang disusupi.

Brad Smith tidak membantah kesimpulan itu saat sebelum ia bersaksi di hadapan Homeland Security. “Kami menerima tanggung jawab atas setiap temuan di dalam laporan CSRB,” ujarnya.

Brad Smith juga menyatakan bahwa Microsoft tidak akan mematuhi hukum Beijing yang mewajibkan entitas yang beroperasi di Tiongkok untuk bekerja sama dengan badan intelijen rezim tersebut.

Ketika ditanya apakah layak berbisnis di Tiongkok mengingat risiko undang-undang ini dan fakta bahwa Tiongkok hanya menyumbang lebih dari 1 persen pendapatan Microsoft, Brad Smith menjawab bahwa hal tersebut adalah layak:

“Saya pikir ada dua alasan berharga bagi kami untuk berada di Tiongkok, dan saya berpikir bahwa dua alasan berharga itu melayani kepentingan Amerika Serikat. Yang pertama adalah melindungi informasi Amerika dan rahasia dagang perusahaan Amerika yang melakukan bisnis di Tiongkok. Dan yang kedua adalah memastikan bahwa kita selalu belajar dari apa yang terjadi di seluruh dunia.”

Minggu lalu, Komisi Eropa menemukan bahwa Microsoft melanggar peraturan-peraturan anti-monopoli Uni Eropa. Sebagai pemimpin pasar global di bidang aplikasi produktivitas, Microsoft memberikan keuntungan distribusi yang tidak adil terhadap alat komunikasi dan kolaborasi berbasis-cloud, Teams. Praktik ini telah merugikan konsumen dan pesaing, kata keputusan tersebut. Jika Microsoft gagal mengatasi kekhawatiran yang diangkat oleh Komisi Eropa, maka Microsoft akan berpotensi menghadapi denda miliaran dolar. (Vv)