Debat Pilpres 2024 Donald Trump-Joe Biden: Mengapa Mereka Tidak Ditanya Mengenai Tiongkok?

Anders Corr

Debat presidensial pertama 2024 antara Presiden Joe Biden dengan mantan Presiden Donald Trump adalah peristiwa yang menarik. Debat tersebut tidak hanya menarik perhatian Amerika tetapi juga menarik perhatian dunia. Debat presidensial mempertemukan kita sebagai sebuah demokrasi karena debat memperjelas perbedaan dan membantu kita membuat pilihan.

Debat ini, seperti semua perdebatan sesungguhnya, adalah berantakan. Terlepas dari kenyataan bahwa orang Amerika melihat komunis Tiongkok, lebih dari negara lain, sebagai ancaman utama kita, tidak ada satu pertanyaan pun yang diajukan mengenai Tiongkok. Para Host  bertanya mengenai Rusia, Ukraina, Israel, dan Hamas, namun mereka tidak bertanya mengenai Tiongkok.

Rezim Tiongkok adalah ancaman keamanan nasional terbesar bagi Amerika Serikat karena rezim Tiongkok adalah kediktatoran yang paling kuat dan curang di dunia. Dana Moneter Internasional mengharapkan Produk Domestik Bruto Tiongkok akan mencapai U$D 18,53 triliun pada tahun 2024, menjadikan Tiongkok sebagai negara perekonomian terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Hal ini dapat meremehkan kekuatan ekonomi Tiongkok, mengingat dolar melemah di Tiongkok dibandingkan di Amerika Serikat.

Sayangnya, Beijing tidak menggunakan semua uang itu untuk kebaikan. Daripada fokus dalam meningkatkan kehidupan konsumen-konsumennya, Partai Komunis Tiongkok mengalihkan sebanyak mungkin Produk Domestik Bruto tersebut untuk tujuan langsung militer Tiongkok menyerang Taiwan. Tiongkok juga berupaya melemahkan negara-negara di seluruh dunia—–termasuk Amerika Serikat, Israel, Jepang, dan Uni Eropa—–melalui dukungan licik dari negara-negara seperti Rusia, Iran, dan Korea Utara yang menyerang kita.

Anggaran militer Tiongkok secara resmi berjumlah 7,2 persen Produk Domestik Bruto, yaitu sekitar dua kali lipat dibandingkan Produk Domestik Bruto Amerika Serikat. Meskipun demikian, hal ini masih meremehkan ancaman tersebut. 

Badan-badan intelijen Amerika Serikat dan para analis di American Enterprise Institute memperkirakan bahwa anggaran militer riil Partai Komunis Tiongkok lebih dari U$D 700 miliar, atau tiga kali lipat dari yang diakuinya.

Sebagaimana dicatat oleh salah satu penulis American Enterprise Institute, Tiongkok “kini membual memiliki angkatan laut terbesar di dunia, serta memiliki penjaga pantai dan milisi maritim terbesar. Tiongkok memiliki tentara dan kekuatan rudal sub-strategis terbesar di dunia. Tiongkok terus-menerus membuat lompatan setingkat di bidang-bidang militer canggih dengan rudal hipersonik dan teknologi komputasi kuantum.”

Rezim Tiongkok secara bersamaan berusaha untuk mengalahkan kita dan sekutu-sekutu kita tanpa ancaman. Strategi “penangkapan elit” sebenarnya direferensikan oleh salah satu calon dalam debat tersebut. Bukan tujuannya di sini untuk menyebutkan nama-nama atau memihak–—hanya untuk memperingatkan bahwa rezim di Beijing, pada kenyataannya, berupaya untuk membeli politisi-politisi di semua tingkatan serta elit-elit Amerika lainnya, seperti para CEO korporasi. Partai Komunis Tiongkok dapat melakukan hal ini melalui banyak cara, mulai dari sumbangan kampanye sampai memeras, berdasarkan membuat pilihan yang salah. Partai Komunis Tiongkok berupaya untuk mengubah orang-orang menganut ideologi komunis dan membeli atau mempengaruhi outlet-outlet media Amerika Serikat, bahkan tanpa para pembaca menyadari apa yang terjadi.

Ada beberapa kabar baik mengenai Tiongkok dari debat tersebut. Presiden Joe Biden dengan tepat mencatat bahwa Amerika Serikat kini memiliki defisit perdagangan terendah dengan Tiongkok dibandingkan kapan pun sejak tahun 2010.

Mantan Presiden Donald Trump sering menyinggung Tiongkok. Dalam tanggapannya terhadap sebuah pertanyaan mengenai tarif-tarif umum 10 persen yang diusulkannya, yang akan berlaku di semua negara, Donald Trump mengatakan tarif tersebut tidak akan menaikkan harga melainkan “menyebabkan negara-negara yang telah menipu kita selama bertahun-tahun, seperti Tiongkok dan banyak negara lainnya… untuk membayar banyak uang kepada kita, mengurangi defisit kita secara bermakna, dan memberi kita banyak kekuasaan untuk hal-hal lain.”

Menurut Goldman Sachs dan Peterson Institute for International Economics, tarif-tarif yang diterapkan mantan Presiden Donald Trump pada tahun 2018 terhadap Tiongkok hanya semakin meningkatkan inflasi sekitar seperempat dari 1 persen, atau 25 sen untuk pembelian U$D 100.

Kini, mantan Presiden Donald Trump ingin menaikkan tarif umum terhadap Tiongkok menjadi 60 persen. Presiden Joe Biden telah menaikkan tarif-tarif kendaraan listrik Tiongkok menjadi 102,5 persen. Kedua calon itu menuju ke arah yang benar.

Kadang-kadang pembicaraan dalam sebuah debat memunculkan semua persoalan dan dapat mempersatukan Amerika jika kita fokus pada tema-tema utama dibandingkan bagian retorika yang paling panas. Presiden Joe Biden mengemukakan bahwa “satu-satunya yang ancaman eksistensial terhadap kemanusiaan adalah perubahan iklim,” misalnya, saat mantan Presiden Donald Trump menunjukkan bahwa kita harus pintar dalam hal ini, dengan mengatakan bahwa Perjanjian Paris “akan merugikan kita sebesar satu triliun dolar, dan tidak merugikan Tiongkok, serta Rusia tidak apa-apa, dan India tidak apa-apa. Itu adalah tiruan dari Amerika Serikat.” Inilah jenis percakapan yang harus kita lakukan sebagai sebuah bangsa dan bahwa, butuh banyak energi, seharusnya membawa kita lebih dekat bersama.

Dalam debat mengenai fentanyl ilegal, yang menyebabkan lebih dari 70.000 kematian di Amerika Serikat pada tahun 2023 saja, peran sentral Tiongkok sebagai pemasok prekursor belum dikembangkan. Namun, kedua calon di masa lalu telah mengemukakan perlunya peningkatan keamanan di perbatasan untuk menghentikan aliran obat-obatan terlarang. Mantan Presiden Donald Trump fokus pada perdagangan di perbatasan selama debat, termasuk perdagangan manusia, dan Presiden Joe Biden menyerukan lebih banyak agen-agen perbatasan dan lebih besar mesin-mesin pemindai untuk segala sesuatu yang ditemukan.

Kedua calon menyatakan keprihatinannya terhadap kemungkinan terjadinya Perang Dunia III karena masalah Tiongkok dan poros Tiongkok di negara-negara jahat–—Rusia, Iran, dan Korea Utara. Mengambil beberapa poin dari kedua calon, menghindari Perang Dunia III yang mengharuskan menunjukkan kekuatan agar negara-negara poros tersebut menghormati Amerika Serikat. Kita harus menetapkan batasan mengenai apa yang dapat dilakukan negara-negara ini dan menunjukkan komitmen kepada sekutu-sekutu kita.

Pada saat yang sama, Amerika Serikat harus menuntut agar sekutu-sekutunya membayar secara adil bagian biaya pertahanan. Banyak negara NATO—termasuk Kanada, Italia, Jerman, dan Perancis—tidak membelanjakan minimum 2 persen Produk Domestik Bruto yang telah disepakati untuk pertahanan. Amerika Serikat membelanjakan lebih banyak—kira-kira 3,5 persen, sebagian besar disalurkan untuk membela sekutu-sekutu. Bahkan jumlah ini bisa dibilang tidak cukup, mengingat tingkat suku bunga di Tiongkok mencapai dua atau tiga kali lipat, seperti disebutkan di atas, dan pengeluaran Rusia yang sama tingginya yaitu sebesar 6 persen Produk Domestik Bruto untuk pertahanan.

Ada banyak ancaman terhadap kita, termasuk ancaman polarisasi politik di negara kita sendiri. Persatuan kita adalah kekuatan kita. Sebaliknya, para pemimpin otoriter di negara-negara seperti Tiongkok dan Rusia hanya mempertahankan kesatuan yang dangkal melalui kekuatan–—itulah kelemahan mereka.

Di Amerika Serikat, kita menjaga persatuan melalui debat. Kadang, debat menjadi lebih panas dari yang seharusnya. Tetapi demokrasi adalah berantakan. Melalui debat yang berantakan itu, kita mengungkapkan kebenaran yang sulit diterima yang perlu kita ketahui untuk mewujudkan pilihan yang tepat dan maju terus sebagai sebuah bangsa. (Vv)

Anders Corr memiliki gelar sarjana/magister ilmu politik dari Universitas Yale (2001) dan gelar doktor di bidang pemerintahan dari Universitas Harvard (2008). Dia adalah seorang kepala di Corr Analytics Inc, penerbit Journal of Political Risk, dan telah melakukan penelitian ekstensif di Amerika Utara, Eropa, dan Asia. Buku terbarunya adalah “The Concentration of Power: Institutionalization, Hierarchy, and Hegemony” (2021) and “Great Powers, Grand Strategies: the New Game in the South China Sea)” (2018).