AS Kembali Memperpanjang Status Darurat Nasional Terhadap Hongkong yang Membuat Beijing Marah

oleh Xia Yu

Pada Rabu (10 Juli), Gedung Putih mengeluarkan pengumuman yang menyebutkan bahwa Presiden Biden telah mengambil keputusan untuk tetap memperpanjang “status darurat” (emergency status) yang dinyatakan atas tanggapan AS terhadap situasi Hongkong. Termasuk membatalkan status perdagangan preferensial Hongkong. Ini adalah keempat kalinya pemerintah AS memperpanjang keadaan darurat nasional tersebut.

Pengumuman Gedung Putih menyebutkan bahwa surat Presiden Biden yang dikirim kepada Kongres menghendaki Kongres AS untuk tetap memperpanjang keadaan darurat nasional terkait Hongkong yang pernah diumumkan melalui Perintah Eksekutif 13936 pada 14 Juli 2020.

Pengumuman Gedung Putih menyebutkan bahwa situasi Hongkong, termasuk tindakan yang diambil oleh Partai Komunis Tiongkok baru-baru ini, telah secara fundamental melemahkan otonomi Hongkong dan terus menimbulkan ancaman yang tidak biasa dan signifikan terhadap keamanan nasional, kebijakan luar negeri, dan perekonomian Amerika Serikat. Ancaman ini sebagian besar berasal dari luar Amerika Serikat.

“Oleh karena itu, saya memutuskan perlunya terus menerapkan keadaan darurat nasional terkait situasi di Hongkong yang dinyatakan dalam Perintah Eksekutif 13936”, kata Biden.

Pengumuman ini akan dipublikasikan di jurnal resmi AS “Federal Register”.

Pada 14 Juli 2020, Presiden AS saat itu Donald Trump menandatangani “Undang-Undang Otonomi Hongkong” yang disahkan oleh kedua majelis Kongres menjadi undang-undang, dan mengeluarkan “Perintah Eksekutif Presiden tentang Normalisasi Hongkong” (The President’s Executive Order on Hong Kong Normalization) Perintah Eksekutif No. 13936 yang meminta pertanggungjawaban Partai Komunis Tiongkok karena menindas rakyat Hongkong dan bersiap untuk memberikan sanksi kepada pejabat Tiongkok dan Hongkong yang melemahkan otonomi Hongkong. Perintah eksekutif ini menetapkan bahwa tindakan Partai Komunis Tiongkok terhadap Hongkong menimbulkan ancaman bagi Amerika Serikat dan menyatakan keadaan darurat nasional sebagai tanggapan terhadap ancaman itu, selain itu juga menangguhkan atau membatalkan perlakuan khusus dan istimewa yang diberikan kepada Hongkong berdasarkan hukum Amerika Serikat.

Pada saat itu, Trump mengatakan kepada wartawan di Gedung Putih, bahwa “Hongkong kini akan menikmati perlakuan yang sama seperti Tiongkok daratan. Tidak ada hak istimewa, tidak ada perlakuan ekonomi khusus, tidak ada ekspor teknologi sensitif (ke Hongkong)”.

Menanggapi untuk keempat kalinya Gedung Putih memperpanjang “status darurat” sebagai tanggapan terhadap situasi di Hongkong, juru bicara Kantor Komisaris Kementerian Luar Negeri Tiongkok untuk Hongkong menyatakan sikap tidak puas dan sangat menentang keputusan tersebut. Sambil melakukan pembelaan terhadap “Undang-undang Keamanan Nasional untuk Wilayah Hongkong” (Hong Kong national security law yang dikeluarkan RRT pada 30 Juni 2020), dan menentang Amerika Serikat untuk terus menjatuhkan sanksi sepihak terhadap Hongkong berdasarkan hukum domestiknya.

Pada 30 Mei tahun ini, tiga orang hakim Pengadilan Tinggi Hongkong yang ditunjuk berdasarkan Undang-Undang Keamanan Nasional memvonis hukuman terhadap 14 orang anggota pan-demokrasi yang dituduh melakukan “konspirasi dengan tujuan untuk menumbangkan kekuasaan negara”. Hal ini memicu penolakan keras dari pemerintah Eropa dan Australia, Senator AS, dan kelompok hak asasi manusia. Pada 31 Mei tahun ini, Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat menanggapi hal ini dengan memberlakukan pembatasan visa baru terhadap para pejabat Partai Komunis Tiongkok dan Hongkong, selain juga mengutuk hukuman tersebut karena bermotif politik, dan mendesak pemerintah Hongkong untuk segera membebaskan keempatbelas orang tersebut.

Pada 22 Maret, undang-undang Pasal 23 dengan cepat disahkan dan diberlakukan oleh pemerintah Hongkong. Menteri Luar Negeri AS A. Blinken mengeluarkan pernyataan yang isinya menyebutkan bahwa Pasal 23 semakin merugikan hak dan kebebasan masyarakat Hongkong dan akan berdampak luas pada negara, warga negara Hongkong dan warga serta perusahaan AS yang beroperasi di Hongkong.

“Kami memiliki kekhawatiran yang sama dengan negara-negara lain, bahwa pemerintah Hongkong mungkin berupaya menerapkan undang-undang baru tersebut secara ekstrateritorial dalam tindakan keras transnasional yang sedang berlangsung, dan mengutuk tindakan mereka yang mengintimidasi, melecehkan, dan membatasi kebebasan berpendapat warga negara dan penduduk Amerika Serikat”, katanya.

Blinken mengatakan bahwa penerapan undang-undang baru dan ketentuannya yang tidak jelas akan merusak reputasi Hongkong sebagai pusat bisnis internasional. (sin)