Autumn Spredemann
Kekacauan mendominasi jalanan di kota-kota Venezuela sejak 29 Juli setelah diumumkan bahwa pemimpin saat ini, Nicolás Maduro memenangkan masa jabatan ketiga dalam pemilihan presiden, sebuah hasil pemilu yang disambut dengan beragam penolakan.
Ada laporan 11 kematian akibat bentrokan polisi dengan para demonstran dan sedikitnya 700 penangkapan di tengah-tengah meluasnya klaim kecurangan pemilu.
Para pengunjuk rasa bukanlah satu-satunya pihak yang menentang hasil pemilu Venezuela. Carter Center yang berbasis di Atlanta mengumumkan pada 30 Juli bahwa mereka tidak dapat “memverifikasi atau menguatkan” hasil dari Dewan Pemilihan Nasional (CNE). Carter Center menandatangani nota kesepahaman dengan CNE Venezuela pada Maret, yang menyatakan bahwa kelompok ini akan diizinkan untuk mengamati proses pemilu secara bebas. 17 ahli dan pengamat Carter Center dikerahkan dan berbasis di Caracas, Barinas, Maracaibo, dan Valencia.
“Proses pemilu Venezuela tidak memenuhi standar internasional mengenai integritas pemilu pada setiap tahapannya dan melanggar berbagai ketentuan hukum nasionalnya sendiri,” kata Carter Center dalam sebuah pernyataan.
“Pemilu berlangsung dalam lingkungan yang membatasi kebebasan para aktor politik, organisasi masyarakat sipil, dan media. Selama proses pemilihan, CNE menunjukkan bias yang jelas dalam mendukung petahana.”
Organisasi Negara-Negara Amerika juga mempermasalahkan hasil pemilu CNE, dengan menyatakan, “Sepanjang proses pemilu ini, kami melihat penerapan skema represif rezim Venezuela yang dilengkapi dengan tindakan yang bertujuan mendistorsi hasil pemilu secara menyeluruh, sehingga hasil pemilu dapat dimanipulasi dengan cara-cara yang paling tidak wajar.”
Sebuah laporan dari Departemen Kerjasama dan Observasi Pemilu mencatat bahwa CNE mengumumkan bahwa mereka telah memproses 80 persen hasil dalam beberapa jam setelah jajak pendapat ditutup dan menyatakan Maduro sebagai pemenang tanpa memberikan rincian dari tempat pemungutan suara atau mempublikasikan lembar penghitungan resmi. Lembaga ini juga mengamati adanya kesalahan perhitungan dalam hasil yang dipublikasikan di saluran resmi CNE.
Pendukung partai oposisi dan pemimpinnya, Maria Corina Machado, menyatakan bahwa partainya memiliki bukti bahwa Maduro dan Partai Sosialis Bersatu Venezuela kalah dalam pemilihan umum pada 28 Juli. Machado mengatakan bahwa 73 persen suara yang dapat diakses menunjukkan kandidat oposisi Edmundo Gonzalez sebagai pemenang pemilu, dengan perolehan suara dua kali lipat lebih banyak dari Maduro.
Dalam sebuah pidato yang disiarkan di televisi, Maduro mengutuk protes pasca-pemilu dan tuduhan kecurangan pemungutan suara. Ia menyalahkan kekacauan yang terjadi pada partai oposisi dan menuduh mereka menghasut kekerasan.
Gedung Putih juga menanggapi hasil pemilu Venezuela.
“Kami terus menyerukan kepada otoritas pemilu Venezuela agar merilis hasil pemungutan suara secara lengkap, transparan, dan terperinci, termasuk berdasarkan tempat pemungutan suara,” ujar juru bicara Dewan Keamanan Nasional, Adrienne Watson, dalam sebuah pernyataan resmi. “Ini sangat penting mengingat ada tanda-tanda yang jelas bahwa hasil pemilu yang diumumkan oleh Dewan Pemilu Nasional Venezuela tidak mencerminkan kehendak rakyat Venezuela seperti yang diekspresikan di kotak suara pada 28 Juli lalu.”
Bagaimana Venezuela Bisa Sampai di Sini
Spiral ekonomi yang terjadi di negara ini selama lebih dari satu dekade dapat ditelusuri pada sebuah langkah politik yang memicu kesuksesan awal di bawah rezim yang berbeda. Partai yang berkuasa saat ini didirikan oleh Hugo Chavez, yang terpilih sebagai presiden pada tahun 1998. Mengikuti janjinya untuk menggunakan cadangan minyak yang kaya di negara ini untuk mengurangi kemiskinan, pemerintahannya mengambil alih kendali perusahaan minyak negara pada tahun 2004 setelah pemogokan pekerja yang melumpuhkan meletus pada 2002 hingga 2003.
Hasil awal dari partai Chavez mengambil alih kendali adalah positif. Kemiskinan dan pengangguran menurun drastis antara tahun 2004 dan 2007, menurut Pusat Kebijakan dan Penelitian Ekonomi.
Namun, analisis Council on Foreign Relations menemukan bahwa keputusan Chavez untuk memecat para pekerja industri minyak yang berpengalaman setelah pemogokan tahun 2002-2003 “membuat perusahaan kehilangan keahlian teknis yang penting.”
Sebuah studi yang diterbitkan dalam Resources Policy mencatat bahwa produksi minyak Venezuela mulai menurun secara stabil sejak tahun 2006. Pada saat yang sama, Chavez mulai menawarkan minyak bersubsidi ke negara-negara lain yang sejalan secara politik di kawasan tersebut. Selama masa kepresidenan Chavez, utang pemerintah lebih dari dua kali lipat di tengah cadangan minyak yang berkurang.
Maduro berkuasa pada 2013 setelah pemilihan khusus untuk menentukan pemimpin baru setelah kematian Chavez. Sejak saat itu, ekonomi Venezuela terus anjlok, mengakibatkan devaluasi mata uang secara tajam, kekurangan mata uang asing, kekurangan pangan, dan meroketnya angka kemiskinan..
Venezuela sangat bergantung pada ekspor minyak untuk pendapatan dan mata uang asing. Sebuah analisis oleh Natural Resource Governance Institute menyatakan bahwa sektor minyak bertanggung jawab hingga 70 persen pendapatan pemerintah. Jadi ketika penurunan harga minyak global terjadi pada tahun 2014, ekonomi negara kaya minyak ini terus merosot di bawah kepemimpinan Maduro.
Sanksi AS terhadap ekspor minyak, yang dimulai di bawah Presiden Donald Trump pada tahun 2017, juga diberlakukan kembali oleh Presiden Joe Biden pada April tahun ini.
Dampak Regional
Penurunan ekonomi yang tajam di bawah kepemimpinan Maduro telah berdampak buruk pada kehidupan warga Venezuela. Sejak 2017, rumah tangga yang hidup dalam kemiskinan mencapai lebih dari 90 persen, menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB.
Pada tahun 2023, lebih dari 7 juta warga Venezuela telah melarikan diri ke negara-negara tetangga di bawah rezim saat ini karena ekonomi yang hancur. Banyak dari mereka tiba sebagai pengungsi di perbatasan barat daya Amerika Serikat.
Pada tahun fiskal (FY) 2023, Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS menangani 266.071 warga Venezuela di perbatasan darat selatan dengan Meksiko. Ini menunjukkan peningkatan yang signifikan dibandingkan dua tahun sebelumnya. Hingga saat ini, jumlah pertemuan dengan warga Venezuela di perbatasan darat barat daya untuk FY 2024 mencapai 262.739.
Pada November 2023, Pusat Kajian Strategis dan Internasional menyebut eksodus warga Venezuela yang sedang berlangsung sebagai “krisis pengungsian terbesar di dunia,” dengan jumlah pengungsi melebihi jumlah di Suriah dan Ukraina. (asr)
Autumn adalah reporter yang berbasis di Amerika Selatan yang meliput isu-isu Amerika Latin untuk The Epoch Times.