Epoch Times
Amerika Serikat berupaya mencegah eskalasi konflik di Timur Tengah dan mengeluarkan peringatan kepada Israel dan Iran. Namun, penunjukan pemimpin terbaru oleh Hamas kembali memprovokasi Israel.
Organisasi militan Hamas pada 7 Agustus menunjuk Yahya Sinwar sebagai pemimpin mereka, menggantikan Ismail Haniyeh yang baru-baru ini dibunuh di Teheran, Iran. Sinwar dianggap sebagai otak di balik serangan teror terhadap Israel pada 7 Oktober tahun lalu, terkenal dengan cara-cara yang brutal dan kejam.
Kepala Staf Umum Pasukan Pertahanan Israel, Herzi Halevi, menyebut Sinwar sebagai “pembunuh” dan menyatakan bahwa Israel tidak akan berhenti membunuh para pemimpin musuhnya. Halevi juga memperingatkan bahwa Israel siap melancarkan serangan cepat terhadap musuh di mana saja di Timur Tengah.
Pemimpin politik Hamas, Ismail Haniyeh, dibunuh pada 31 Juli, sehari setelah komandan militer Hizbullah, Fuad Shukr, tewas dalam serangan udara Israel. Iran dan para sekutunya mengancam akan membalas.
Amerika Serikat, selain melakukan mediasi diplomatik, juga memperkuat penempatan militer di Timur Tengah. Menteri Luar Negeri Antony Blinken pada 6 Agustus mengatakan bahwa negosiasi gencatan senjata “telah memasuki tahap akhir.”
Meskipun juru bicara Hamas, Osama Hamdan, mengatakan bahwa Sinwar akan melanjutkan negosiasi gencatan senjata, banyak analis berpendapat bahwa Sinwar tidak setuju dengan perjanjian gencatan senjata di Gaza.
Menurut laporan intelijen Amerika Serikat kepada Presiden Joe Biden, Iran akan membalas dalam dua gelombang: satu dari Hizbullah, dan satu lagi dari Iran dan sekutunya. Namun, siapa yang akan memulai serangan dan bagaimana serangannya masih belum jelas karena Iran belum memutuskan tindakan apa yang akan diambil.
Selain itu, Iran telah memindahkan beberapa aset militer ketika menyerang Israel pada April lalu, yang dianggap menambah kesulitan bagi penilaian intelijen Amerika Serikat.
Mantan jurnalis perang Timur Tengah dan ahli militer, Pinhas Inbari, berpendapat bahwa tindakan Iran kali ini akan jauh lebih besar dari pada pembalasan April lalu, namun mereka ingin menghindari perang skala besar. Oleh karena itu, konflik militer di Timur Tengah akan mengalami “eskalasi terbatas.”
Mengenai cara balasan yang akan diambil oleh Iran, menurut Inbari, bahwa selain analisis dari intelijen Amerika Serikat, Iran kemungkinan akan menggunakan rudal hipersonik.
Blinken pada Minggu lalu (4 Agustus) telah memperingatkan bahwa dalam 48 jam ke depan Iran dan sekutunya mungkin akan melancarkan serangan, namun hingga saat ini serangan balasan belum terjadi.
Organisasi Kerjasama Islam (OKI) mengadakan pertemuan darurat di Jeddah pada hari yang sama. Perwakilan dari 57 negara anggota OKI hadir pada pertemuan tersebut, termasuk Iran, yang diyakini sedang mempersiapkan serangan balasan terhadap Israel atas kematian Haniyeh.
Pelaksana tugas (Plt) Menteri Luar Negeri (Menlu) Iran Ali Bagheri-Kani mengatakan kepada para anggota bahwa negaranya tidak punya pilihan lain selain menggunakan haknya untuk membela diri secara sah.
Bagheri menambahkan bahwa tindakan tersebut diperlukan untuk mencegah pelanggaran lebih lanjut terhadap kedaulatannya.
Serangan terhadap Israel akan dilakukan secara tepat waktu dan tepat, ujarnya.
Inggris dan Mesir telah menginstruksikan semua maskapai penerbangan dalam negeri untuk menghindari wilayah udara Iran dan Lebanon pada 8 Agustus. (Jhon)